Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bubur Asin Biji Asam

Sebagian masyarakat NTT yang mengalami krisis pangan mulai mengkonsumsi pakan ternak. Pemerintah belum menyatakan khawatir.

28 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tangan Yunep Nomsea, 38 tahun, terampil menelanjangi biji-biji asam yang gosong seusai dibakar. Penduduk Desa Tua Pakas, Koalin, Timur Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur itu duduk ditemani dua anaknya, Orlin, 2 tahun, dan Defrit, 4 tahun. Sesekali kedua balita itu menyambar dan mencoba meniru melepas biji-bijian itu dari kulitnya.

Biji asam yang sudah telanjang itu mereka kumpulkan dalam ember yang sebagian telah koyak. Yunep kemudian membawanya ke dalam rumah dikuntit dua anaknya. Di dalam rumah, istri Yunep, Njeme Taupan, 24 tahun, sedang menyusui anak bungsu mereka, Jifran Namsoe, yang baru berumur 45 hari. Sang istri mencomot sebagian biji asam lalu menggorengnya tanpa minyak. Gorengan itu kemudian ditumbuk halus. Tepung biji asam itu kemudian diseduh air panas dan diberi sedikit garam untuk menambah rasa.

Biji asam bukanlah benda asing di rumah itu. Biasanya biji asam bersama putak (batang lontar yang diambil bagian tengahnya) mereka gunakan untuk makanan ayam, kambing, atau babi ternak. Tetapi, sejak sebulan lalu, anak-pinak itu yang melahap makanan ternak ini. Orang tua memakan biji yang masih utuh, sementara anak-anak makan bubur biji asam yang digarami. "Kami tak punya yang lain, jatah makanan ternak ini kita makan sendiri," kata Yunep, ketika dikunjungi Tempo, Rabu pekan lalu.

Dua anak Yunep menjejalkan bubur asin itu ke dalam mulut. Sesekali tersedak di kerongkongan sehingga harus didorong dengan air putih. Tubuh mereka sudah tiada berlemak. Bahkan guratan daging pun sulit ditemukan. Hanya perut mereka yang membuncit, sementara rambut mereka kumal kemerah-merahan.

Pemandangan itu bukan hanya terjadi pada keluarga Yunep. Saat ini, sepuluh dari 15 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur mengalami gagal panen yang berujung pada krisis pangan. Salah satu wilayah yang paling menderita adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Lembata. Kecamatan yang mengalami krisis terparah di Timor Tengah Selatan yaitu Kecamatan Kolbano, Kecamatan Koalin, dan Kecamatan Kuanfatu. Tercatat sekitar 9.000 kepala keluarga di tiga kecamatan itu kini telah mengkonsumsi biji asam dan putak.

Diperkirakan, 85 persen warga Kecamatan Koalin mengkonsumsi biji asam dan putak sejak pertengahan bulan ini. Meningkatnya kebutuhan biji asam membuat harganya di pasar melonjak. Biasanya pakan ternak itu hanya dijual Rp 250 setiap kilogramnya. Namun sejak dua bulan lalu harganya naik empat kali lipat.

Beras memang menjadi barang istimewa. Tetapi, bagi Yunep yang memiliki bayi, dia tetap membeli beberapa ons beras untuk bayinya. Dia tak tega memberikan bubur asam kepada bayinya. "Saya tidak tahu, kok tidak dapat jatah raskin (beras untuk rakyat miskin)," kata pria tamatan sekolah dasar ini. Beras murah untuk rakyat miskin yang dijual Rp 1.000 setiap kilogram itu memang sesekali ada. Namun jatah 20 kilogram untuk setiap keluarga per dua bulan sekali sudah makin jarang.

Malangnya, kondisi ini masih akan berlangsung panjang. Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun El Tari, Kupang, memperkirakan curah hujan di provinsi ini akan semakin berkurang. Kecuali hujan lokal dengan intensitas rendah di beberapa daerah ketinggian. Tetapi secara keseluruhan kemarau masih akan terjadi hingga memasuki musim hujan berikutnya, akhir November mendatang.

Menunggu sokongan pemerintah terlalu lama. Masyarakat mulai mencoba beberapa jalan keluar agar asap dapur tetap mengepul. Mereka menanam tanaman keras jenis buah-buahan seperti mangga, nangka, dan sukun. Tanaman ini memang dianggap cocok dengan jenis tanah berbatu kapur dan kerikil putih di wilayah tersebut.

Menurut Simon Petrus Manu, salah seorang Kepala Lembaga Pemberdayaan Desa (LPM) di Kecamatan Kaolin, mangga pernah menjadi primadona wilayah tersebut. Mereka menjadi pemasok utama mangga ke Kota Soe dan Kupang. Namun bencana banjir bandang telah menghancurkan kebun dan rumah warga di Kecamatan Kolbano, Koalin, dan Kuanfatu, lima tahun lalu.

Saat ini mereka hanya mengandalkan peternakan sapi, ayam, kambing, dan babi. Sayangnya, dalam kondisi krisis saat ini mereka tak bisa mengambil keuntungan dari hewan ternak. Mereka sering merelakan ternak ditukar dengan beras atau jagung dalam jumlah yang tidak seimbang.

Pedagang kaya di Kabupaten Timor Tengah Selatan sering mendatangi rumah mereka dan menukar anak sapi yang baru berumur satu tahun dengan beras 100 kilogram atau jagung 150 kilogram. "Mereka menukar sapi dengan beras karena kondisi terjepit," kata Arnelus Selan, salah satu Kepala Dusun di Desa Tuafano. Tradisi barter ini telah berlangsung sejak 25 tahun lalu, terutama saat musim kering atau ancaman rawan pangan melanda.

Krisis pangan ini ternyata tak cukup merisaukan Gubernur Nusa Tenggara Timur, Piet A. Tallo. Dia bahkan menyebut masalah kekeringan dan gagal panen ini terlalu dibesar-besarkan. Gubernur yakin penduduknya tak bakal kelaparan. Mereka dengan sendirinya akan kembali pada pola hidup sebelumnya, yakni mengkonsumsi makanan nonberas. "Saya sendiri pernah makan biji asam saat terjadi krisis pangan," katanya mengenang masa kecilnya di Desa Tepas, yang berjarak 110 kilometer dari Kota Kupang.

Ketenangan Gubernur ini jelas berseberangan dengan para ahli kesehatan. Dokter Irmanto dari Rumah Sakit Advent Kupang mengamati sejumlah pasiennya yang berasal dari wilayah krisis pangan ini. Dia melihat kesehatan anak-anak dan balita akibat rawan pangan ini sangat buruk. Perubahan pola makan yang tidak teratur membuat anak-anak sangat rentan terhadap penyakit busung lapar, diare, penyakit kulit, dan berbagai penyakit lainnya.

Anak-anak di masa pertumbuhan memerlukan makanan dengan kandungan kalori dan protein yang memadai. Kadar gizi yang cukup juga berpengaruh pada pembentukan otak. "Sangat berbahaya. Kalau mereka hanya makan bubur encer, pertumbuhannya tidak akan normal," kata Irmanto prihatin. Dia juga melihat kebiasaan mengkonsumsi makanan berserat tinggi seperti putak atau kacang hutan yang belum diketahui kadar gizinya bisa berakibat fatal mengganggu kinerja organ pencernaan.

Menurut Direktur Utama Perum Bulog, Widjanarko Puspoyo, krisis pangan di Nusa Tenggara Timur belum cukup mengkhawatirkan. Widjanarko menyampaikan hal ini seusai berkunjung ke wilayah tersebut, Ahad pekan lalu. "Memang ada kekeringan, ada gagal panen, ada orang kesulitan mendapatkan pangan, kalau tidak diantisipasi dalam beberapa bulan ke depan bisa rawan pangan, nah begitu kira-kira," kata Widjanarko tenang.

Widjanarko sudah menghitung, stok akhir beras di provinsi tersebut ada 27 ribu ton. Bulog mengaku telah mengirim lagi 9.000 ton, dan sekarang masih dalam perjalanan. Menurut Widjanarko, tugas Bulog adalah bagian terakhir, saat tidak ada lagi yang bisa dimakan. "Kalau masih ke depan-depan sini, sebenarnya bukan urusan kita," katanya enteng.

Agung Rulianto, Rini Kustiani, Sujatmiko, dan Jems de Fortuna (NTT)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus