Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Beban Kado Dewan Syura

Aliran duit korupsi megaproyek pembangunan pusat olahraga Hambalang kian jelas. Untuk pemenangan Anas Urbaningrum di kongres Partai Demokrat.

3 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Selasa dua pekan lalu, jaksa menuntut Deddy Kusdinar sembilan tahun bui. Kepala Biro Keuangan Kementerian Pemuda dan Olahraga itu didakwa menyalahgunakan wewenang dan menerima Rp 300 juta dalam proyek pembangunan pusat olahraga di bukit Hambalang, Bogor, pada 2010-2012.

Dalam pembelaannya sepekan kemudian, Deddy menceritakan kegalauan pikirannya. "Saya seperti mendengar bunyi petir di siang bolong," katanya—ketika mendengar tuntutan itu. Deddy lantas menyebut nama-nama lain yang menurut dia paling bertanggung jawab dalam proyek yang melahirkan korupsi besar itu.

Selain menyebut nama pejabat level teknis pelaksana proyek semacam pembuat komitmen, Deddy menyebutkan Menteri Keuangan Agus Martowardojo—kini Gubernur Bank Indonesia—dan wakilnya, Anny Ratnawati, sebagai pejabat yang punya peran paling penting. Menteri Olahraga Andi Mallarangeng, yang kini mendekam di jeruji Komisi Pemberantasan Korupsi, tak luput disentilnya.

Nama lain adalah mereka yang sudah sering disebut tapi belum menjadi tersangka, yakni Sylvia Soleha alias Bu Pur, yang diduga sebagai pelobi proyek, Choel Mallarangeng, serta Deputi Menteri Badan Usaha Milik Negara 2006-2010, Muchayat, dan anaknya, Munadi Herlambang—pemilik PT Dutasari Citralaras, yang menjadi rekanan kontraktor pelaksana proyek PT Adhi Karya.

Beberapa nama yang disebut Deddy sudah menjadi tersangka, yakni Teuku Bagus Muhammad Noor dari Adhi Karya; Mahfud Suroso, pemegang saham lain PT Dutasari; dan Anas Urbaningrum, yang saat itu merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrat. "Mereka itulah yang seharusnya bertanggung jawab atas proyek ini," kata Dorel Almir, pengacara Deddy.

Menurut Almir, peran orang yang disebut Deddy itu beragam. Ada yang melobi Kementerian Keuangan agar anggaran Hambalang beralih dari tahun tunggal ke tahun jamak. Lobi ini membuat anggaran membengkak dari Rp 125 miliar menjadi Rp 2,5 triliun. Tokoh lain berperan sebagai pengatur pemenang tender.

Anas Urbaningrum, orang terakhir yang disebut Deddy, disangka menerima suap Hambalang ketika mencalonkan diri dalam bursa ketua umum pada Kongres Partai Demokrat di Bandung, 2010. "Dengan melihat tuduhan kepada Anas, terlihat jelas peran Munadi dan Muchayat," ujar Almir.

Munculnya nama anak dan ayah ini pertama kali diungkap Muhammad Nazaruddin, Bendahara Umum Demokrat dan anggota Badan Anggaran. Dialah yang melobi pejabat Kementerian Olahraga dan Kementerian Keuangan agar mengubah tahun anggaran tunggal menjadi jamak. Nazaruddin, misalnya, menyebut pertemuan September 2009 antara ia, Munadi, Mahfud, Anas, dan Teuku Bagus di restoran Cina, Pacific Place.

Pertemuan itu membahas lelang Hambalang di Kementerian. "Hambalang sudah oke, Adhi Karya yang menang," kata Mahfud Suroso—seperti dikutip Nazaruddin saat bersaksi dalam sidang untuk Deddy Kusdinar pada Januari lalu. Pertemuan tersebut, kata Nazaruddin, berlangsung dua bulan sebelum pemenang tender diumumkan secara resmi.

1 1 1

LAMA tak terdengar kabarnya, penyidik KPK tiba-tiba memeriksa lagi M. Arif Taufiqurrahman, Manajer Pemasaran PT Adhi Karya, akhir Januari lalu. Arif diminta kesaksiannya secara diam-diam untuk bahan pemeriksaan Anas Urbaningrum. "Penyidik mendalami peran Munadi dan Muchayat," kata seorang sumber yang tahu pemeriksaan itu.

Dari bunyi pertanyaannya, agaknya penyidik hendak mendalami hubungan anak dan ayah itu dengan Anas. Kepada Arif, Munadi bertanya tentang proyek Hambalang melalui surat elektronik pada 12 Desember 2009 saat ia berada di Koln, Jerman. Dalam balasannya, Arif menjelaskan bahwa Hambalang akan serupa dengan pusat olahraga di Singapura.

Kepada penyidik, Arif mengkonfirmasi bahwa Munadi dan Mahfud sejak awal mengincar proyek Hambalang. Keduanya pemilik PT Dutasari Citralaras, yang belakangan menjadi subkontraktor Adhi Karya di Hambalang. Athiyyah Laila, istri Anas, salah satu pemilik perusahaan tersebut (lihat "Dana Talangan di Hambalang").

Dari percakapan Arif dan Munadi, juga terungkap proyek Hambalang itu sudah direncanakan pada 2006, ketika Menteri Olahraga dijabat Adhyaksa Dault. Pada zaman Andi Mallarangeng itulah, kata Arif, ide menyamakan Hambalang seperti Singapura terjadi. Keinginan Andi disampaikannya kepada Arif dan Teuku Bagus, yang hadir dalam hajatan di rumahnya, pada Oktober 2009.

Munadi menolak mengkonfirmasi cerita Arif kepada penyidik. Ketika disambangi di rumahnya di Tanjung Barat Indah, Jakarta Selatan, ia mengirim pesan lewat penjaga rumahnya yang mengantar surat permohonan wawancara dari Tempo. "Surat sudah diterima. Bapak tak mau ditemui," ujar Novi, penjaga itu. Adapun Andi Mallarangeng menyangkal pertemuan itu dalam persidangan Deddy pada 7 Januari lalu.

Peran Munadi kian jelas dari keterangan tambahan Nazaruddin. Menurut dia, Munadi berjanji menghubungi ayahnya, Muchayat, yang menjabat Deputi Menteri BUMN bidang konstruksi, untuk menekan Adhi Karya. Tujuannya? Agar segera mencairkan komisi untuk mereka sebagai imbalan dipilih menjadi pemenang proyek. Janji Munadi diutarakannya dalam pertemuan di restoran Chatterbox di Plaza Senayan pada November 2009.

Tuah Muchayat terbukti ketika membantu memuluskan Adhi Karya sebagai pemenang tender pembangunan gedung Bio Farma senilai Rp 200 miliar. Ternyata proyek konstruksi itu hanya Rp 30 miliar. Sisanya pengadaan barang, yang bukan bidang Adhi Karya. Maka komisi untuk Munadi dan Muchayat diambil oleh Adhi Karya ketika anggaran Hambalang cair, tak lama setelah tender Bio Farma. Besarnya Rp 1,3 miliar.

Pengeluaran Adhi Karya itu terekam dalam catatan "kasbon sementara" perusahaan. Pada 23 April 2010, Muchayat menerima Rp 250 juta. Di bon tertulis "RJA Cadangan Beban Dewan Syura". "Dewan Syura itu mengacu kepada Muchayat," kata Arif Taufiqurrahman.

Kepala Seksi Adhi Karya, Henny Susanti, kepada penyidik KPK mengatakan uang tersebut dicairkan atas perintah Teuku Bagus. Henny lalu menyerahkan uang itu kepada Acep Deden, orang suruhan Muchayat.

Muchayat sempat menerima panggilan telepon Tempo ketika dikontak pada Kamis pekan lalu. Wartawan majalah ini pernah mewawancarainya di nomor yang sama. Melalui pesan pendek, ia mengatakan permohonan wawancara itu salah sambung. Ditunggui di rumahnya, Muchayat tak terlihat sepanjang hari itu.

Adapun Munadi diduga menerima komisi atas jasanya mengurus proyek Bio Farma sebesar Rp 1,05 miliar. Uang tersebut diberikan bertahap tiga kali selama 30 Maret-April 2010. Berbeda dengan ayahnya, Munadi datang langsung ke kantor Adhi Karya di Pasar Minggu. Dalam catatan keuangan Adhi Karya, uang tersebut pada bon ditulis "Pry Biofarma/Andi". Andi adalah panggilan Munadi.

Selain untuk Muchayat dan Munadi, Adhi Karya mengalirkan uangnya buat Anas sebesar Rp 500 juta. Seorang anggota staf Adhi Karya kepada Tempo mengatakan pencairan uang tersebut lagi-lagi atas perintah Teuku Bagus. Ini juga sejalan dengan kesaksian Arif bahwa uang diserahkan kepada Anas melalui Munadi, yang berperan sebagai anggota tim sukses Anas dalam Kongres Partai Demokrat.

Dalam catatan pengeluaran Adhi Karya yang dimiliki Tempo, total uang untuk memenangkan Anas di Kongres sebesar Rp 2,2 miliar. Selain lewat Munadi, seperti tertuang dalam dakwaan untuk Deddy Kusdinar, uang tersebut dialirkan melalui Direktur Operasi Adhi Karya Indrajaya Manopol.

Anas berkali-kali menyangkal menerima komisi proyek Hambalang. Setelah diperiksa penyidik pada Jumat pekan lalu, ia mengatakan tak tahu ada proyek Bio Farma. Bantahan Anas tak menyurutkan penyidik KPK mengungkap sengkarut aliran uang suap Hambalang ini dari sisi lain. Pekan lalu, KPK memanggil Attabik Ali, mertua Anas. Pemimpin Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, ini diduga mengetahui pembelian pelbagai aset oleh menantunya.

Salah satunya sebidang tanah yang dibeli Anas di Yogyakarta. Ini di luar mobil, emas, dan tanah lain di Jakarta. KPK menduga Attabik mengetahui pembelian dan sumber uangnya. "Pemanggilan itu upaya kami mencari bukti untuk sangkaan pencucian uang kepada Anas," ujar Ketua KPK Abraham Samad.

Attabik tak memenuhi panggilan penyidik dengan alasan sakit. Hingga kini, belum jelas bagaimana Anas membelanjakan uangnya—yang diduga komisi atas bantuannya memuluskan Adhi Karya sebagai kontraktor Hambalang. "Kami juga tak tahu apa hubungan Pak Attabik dengan kasus Anas," kata Firman Wijaya, pengacara Anas.

Rusman Paraqbueq, Singgih Soares


Dana Talangan Hambalang

Jejak Muchayat dan Munadi Herlambang tercium dalam skandal megaproyek pembangunan gedung olahraga Hambalang senilai Rp 2,5 triliun. Ayah dan anak ini diduga menjadi perantara dan memuluskan PT Adhi Karya menjadi kontraktor proyek Kementerian Pemuda dan Olahraga. Selain melalui dua orang ini, ada komisi dari perusahaan negara itu—dikucurkan jauh sebelum proyek dikerjakan—sebesar Rp 2,2 miliar. Bertujuan membiayai kongres Partai Demokrat pada 2010 di Bandung, komisi uang tersebut ditengarai dialirkan kepada Anas Urbaningrum.

"Setahu saya, Athiyyah keluar dari Dutasari sejak awal 2009."
—Munadi Herlambang

Subkontraktor dengan nilai saham:

  • Athiyyah Laila (Rp 1,1 miliar)
  • Mahfud Suroso (Rp 2,2 miliar)
  • Roni Wijaya (Rp 1,1 miliar)
  • Munadi Herlambang (Rp 1,1 miliar)
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus