Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berebut Kuasa di Jalur Halal

Majelis Ulama Indonesia ingin mempertahankan kewenangan menerbitkan label halal. Ada uang besar yang seharusnya masuk kas negara.

15 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBAHASAN akhir Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal membuat cemas sejumlah petinggi Majelis Ulama Indonesia. Mereka khawatir kewenangannya memberi label halal bagi produk makanan, minuman, dan obat-obatan terpangkas akibat aturan ini. Maka, pada Kamis pekan lalu, Ketua Umum Majelis Din Syamsuddin menyurati Panitia Kerja Dewan Perwakilan Rakyat yang sedang menggodok aturan itu.

Jika tak sigap, MUI bisa kehilangan kewenangan yang selama 25 tahun melekat dan menjadi sumber uang organisasi para ahli agama Islam di Indonesia ini. Dari empat poin isi surat Din, intinya penolakan Majelis atas niat Dewan menghapus otoritas itu. "Kami akan berjuang hingga menit terakhir," kata Ketua Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI Akhmad Baidun pekan lalu.

Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal Ledia Hanifa Amaliah mengatakan sudah membaca surat Majelis itu. Berbeda dengan penjelasan Baidun, menurut Leida, surat itu tak berisi penolakan atas rencana pencabutan kewenangan label halal dari Majelis. "Justru mereka meminta rancangan ini segera diundangkan," ujar Ledia, politikus Partai Keadilan Sejahtera.

RUU Jaminan Produk Halal menempuh perjalanan panjang sejak 2006. Tak selesai dirumuskan pada periode 2004-2009, pembahasan dilanjutkan oleh Dewan periode ini. Sejak awal, selain soal kelembagaan, poin krusial aturan ini adalah sifat pendaftaran produk halal. Hingga Januari 2013, sikap fraksi terbelah antara pendapat mewajibkan pendaftaran produk sebagai syarat mendapat label halal dan bersifat sukarela saja.

Perbedaan ini mencair di ujung pembahasan. Menurut Ledia, fraksi-fraksi telah bersepakat pendaftaran produk halal sifatnya wajib, dengan catatan keharusan ini bertahap selama lima tahun. Pemerintah wajib mensosialisasi syarat ini jika rancangan sudah disetujui semua anggota Dewan.

Poin yang alot dibahas justru status kelembagaan penerbit sertifikat halal. Ketar-ketirlah Majelis Ulama. Selama ini lembaga itu menjadi agen tunggal penerbit label halal bagi produk di dalam negeri dan sertifikat bagi perusahaan pemberi label halal produk impor di luar negeri. Kesepakatan akhir Panitia Kerja bakal membuyarkan peran ini. Dalam rancangan, peran Majelis sedikit didegradasi. Maka para petinggi lembaga ini bergerilya melobi anggota Dewan sejak dulu untuk menggagalkannya.

Selain ikut rapat Panitia Kerja, mereka mendekati fraksi-fraksi. Pada Februari 2013, Ketua MUI Amidhan Shaberah mendatangi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Pimpinan lembaga ini juga menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kepada Presiden, mereka meminta dukungan agar kewenangan memberikan sertifikasi halal tak dipereteli.

Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Hasrul Azwar pernah ditelepon Amidhan agar kewenangan MUI tak diganggu gugat. Alasan Amidhan kepada Hasrul, Majelis memiliki sejarah panjang mengurusi sertifikasi halal serta memiliki laboratorium pendukung yang dikelola LPPOM dengan 600 ahli pangan dan obat-obatan. "Kami sudah menjalin kerja sama dengan berbagai negara," kata Hasrul mengutip ucapan Amidhan kala itu.

Dimintai konfirmasi mengenai hal ini, Amidhan tak bersedia menjelaskan. "Tanya Pak Lukmanul," ucap Amidhan merujuk pada Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim. Lukmanul enggan menjawab pertanyaan Tempo dengan alasan sedang berada di luar kota. "Hubungi Pak Amidhan saja," ujarnya.

Pada Kamis awal September lalu, rombongan MUI kembali mendatangi gedung DPR memantau perkembangan pembahasan rancangan ini. Penjelasan Panitia Kerja RUU Jaminan Produk Halal rupanya tak memuaskan mereka. Inilah yang memicu surat Din Syamsuddin. Mereka juga menggelar jumpa pers pada Kamis pekan lalu.

Panitia Kerja bersepakat membentuk Badan Halal, yang bertanggung jawab kepada pemerintah. Menurut Ledia, lembaga ini berperan sebagai regulator dan pengawas dalam penerbitan sertifikat halal yang dibuat oleh Lembaga Pemeriksa Halal. Lembaga-lembaga ini harus mendaftar ke Badan Halal untuk mendapatkan akreditasi, seperti syarat memiliki auditor dan laboratorium pengujian kandungan produk yang akan diberi label halal.

Dengan aturan ini, posisi MUI menjadi sejajar dengan pemeriksa lain, seperti universitas serta Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dua organisasi umat Islam terbesar di Indonesia. Meski sejajar, kata Ledia, MUI tetap ikut menilai kelayakan Lembaga Pemeriksa. Pasal ini ditolak MUI.

Baidun mengatakan Dewan seharusnya tak mengabaikan pengalaman MUI mengurusi sertifikasi halal. Menurut dia, sertifikasi halal merupakan satu kesatuan sejak penetapan standar, audit produk, dan fatwa ulama. "Seharusnya ini diakomodasi secara penuh," ujar Baidun. Dalam draf paling baru, peran MUI jauh berkurang. Menurut Baidun, fungsi yang selama ini dipegang MUI akan dijalankan bersama pemerintah.

Ledia membantah jika Dewan disebut mengabaikan pengalaman Majelis dalam urusan halal. Di luar akreditasi, kata dia, semua lembaga pemeriksa halal tetap melaporkan hasil kajian untuk dibahas ke Komisi Fatwa MUI. Jika lolos, MUI akan mengeluarkan fatwa tertulis. "Nanti Badan Halal yang mengeluarkan sertifikat," ucap Ledia.

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa, Ali Maschan Moesa, mengingatkan MUI agar melihat organisasi umat Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang kini punya infrastruktur sama dalam mengurus sertifikasi halal. "Jika profesional, mudah prosesnya, dan murah, MUI tak akan kehilangan pelanggan," katanya.

Keinginan MUI dibela Fraksi Partai Amanat Nasional. Menurut Achmad Rubei, tak ada lembaga selain MUI yang punya kompetensi mengurus sertifikasi halal. Karena itu, PAN akan mengusulkan kewenangan itu tak dihilangkan dengan menempatkan pemerintah sebagai pengawas.

Sejumlah anggota Panitia Kerja RUU Halal menuturkan, pangkal kengototan MUI sebenarnya bermuara pada hilangnya sumber pendapatan dari sertifikasi. Menurut mereka, selama ini negara kehilangan potensi pemasukan dari sektor tersebut karena tak masuk ke kas negara. MUI juga dinilai tak transparan melaporkan pengelolaan dana yang mereka terima dari penerbitan label halal.

Tubagus Ace Hasan Syadzily dari Golkar, misalnya, mengatakan polemik sertifikasi halal tak bisa lepas dari urusan duit. Inilah salah satu alasan mengapa sebagian besar fraksi berkukuh membentuk Badan Halal guna menghindari kebocoran penerimaan negara. "Uang pendaftaran masuk kategori penerimaan negara bukan pajak," ujarnya.

Ace mengingatkan status MUI sebagai organisasi kemasyarakatan yang tak mewakili negara dalam mengelola label halal. Akibatnya, tak ada kewajiban bagi organisasi ini melaporkan penerimaan dari label halal ke publik. "Saya kira wajar saja MUI tidak mau melepas karena pengalaman puluhan tahun," kata Ace.

Ledia Hanifa mengatakan pembahasan di Panitia Kerja belum menyepakati lembaga mana yang akan menampung uang hasil penerbitan label halal: Badan Halal atau Lembaga Pemeriksa Halal. Soal potensi penerimaan negara akan dibahas Tim Perumus untuk diserahkan ke Panitia Kerja pekan ini. "Tapi potensi penerimaan negara itu rasa-rasanya juga tak terlalu besar," ucap Ledia.

Wayan Agus Purnomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus