Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gelombang setinggi kira-kira lima meter tiba-tiba menghantam lambung kapal. Guncang-an-nya membikin limbung. Kapal meliuk-liuk miring sekitar 45 derajat, bergoyang ke kiri dan ke ka-nan. Air muncrat masuk ke dek terbawah, tempat menampung kendaraan. Motor-motor roda dua copot dari tali pengikat. Rontok, lalu jatuh bergelimpangan ke sana kemari.
Kapal itu bernama Citra Mandala Bahari. Pada Selasa malam, dua pekan lalu, kapal milik PT Prima Executive Surabaya ini tengah melakukan pelayaran dari Kupang menuju Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Di Selat Rote, badai yang disusul dengan gelombang besar menghadangnya.
Naiknya air ke dek membuat Yosua Sodak, salah seorang penumpang, gundah. Ia tahu petaka bakal datang. Para anak buah kapal berseragam biru tua berusaha memompa air dan membuangnya ke laut. Tapi upaya ini tidak terlalu- membantu. Air yang masuk ke kapal jauh lebih deras. ”Semua orang jadi pa-nik,” ujar Yosua yang sehari-hari bekerja- di Dinas Perhubungan Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur.
Puncaknya pukul setengah sembilan malam Waktu Indonesia Tengah. Ombak menghantam lagi lambung kanan si kapal tua buatan Jepang 1982. Kali ini paling dahsyat. Mobil pribadi, mobil boks, truk muatan material dan semen bergeser tempat. Kapal dengan berat kotor 849 gross tonnage itu doyong ke kiri. Dari pengeras suara, penum-pang diperintahkan pindah ke sisi kanan- agar kapal seimbang. Tapi percuma. kapal sepanjang 43 meter dan lebar 11 meter itu makin tenggelam.
Para penumpang pun akhirnya berhamburan terjun ke laut menyelamatkan diri. Ketika Citra Mandala Bahari pelan-pelan karam, Yosua Sodak hanya bisa menyaksikan dari sebuah pelampung yang menyelamatkan dirinya. Setelah berenang selama berjam-jam, ia akhirnya ditolong oleh kapal penolong KRI Tongkol.
Yosua termasuk dalam 126 penumpang yang selamat. Tim penyelamat baru menemukan 36 penumpang tewas. Sebanyak 87 orang belum ditemukan hingga pencarian terakhir, Kamis pekan lalu.
Di antara korban yang tertolong, ada bocah berusia tiga tahun bernama Devi Soru. Cuma dua bocah yang tercatat di mani-festo penumpang, yakni Devi dan kakaknya, Adi Soru, 5 tahun, yang tidak ditemukan. Ditemui Tempo pekan lalu di Rumah Sakit W.Z. Yohannes, Kupang, si kecil masih menyisakan trauma berat. Devi mendadak jadi pendiam. Pada-hal, ”Dulunya dia periang,” kata Mia Besi, ibunya.
Devi dan kakaknya diajak ayah-nya, Yakob Soru, naik kapal Citra Mandala Bahari untuk melayat sanak keluarga di Rote Ndao. Ketika kapal mulai tenggelam, sang ayah yang menggendong Devi ikut panik dan buru-buru me-narik tangan Adi. Mereka lalu mencebur ke laut.
Malang tidak bisa ditolak. Ketika sedang berenang menyelamatkan diri, tiba-tiba seorang penumpang menubruk mereka dari atas kapal. Kakak Devi terempas dari genggaman sang ayah dan tidak ditemukan sampai sekarang.
Dalam kege-lapan malam, Yakob terus berenang de-ngan- menggendong Devi. Si kecil hanya membisu dan sempat terlelap tidur meski ombak berkali-kali menamparnya. Dia baru sadar dan mena-ngis saat pagi mulai terang. Selain perut keroncongan, Devi kaget menyaksikan hamparan laut luas penuh manusia. ” Saat itu semua masih hidup, tapi banyak yang lemas,” kata Yakob.
Pagi itu di tengah laut amat sepi. Keheningan baru terpecah oleh deru pesawat yang melintas. Para korban melambaikan tangan minta bantuan. Tapi sia-sia. Devi tiba-tiba menyeletuk, ”Kak Adi di mana?” Mendengar pertanyaan itu, Yakob menangis ingat anak sulungnya. Satu jam kemudian, mere-ka diselamatkan kapal penolong KRI Tongkol.
Di titik lain perairan Rote, pagi itu Nyonya Juwita Cendana Pandie, 32 tahun, baru siuman. Korban yang ditemukan terakhir ini pingsan setelah mencebur laut. Sinar matahari mencubit kulitnya yang mengkerut kedinginan. Matanya terbuka berat karena lelah. Tak terdengar rintihan, teriakan, dan rengekan meminta tolong. Suasana sunyi. Sosok-sosok manusia tampak kecil dari kejauhan, sekecil kuku. ”Saya tak tahu mereka hidup atau mati,” katanya.
Hujan pun turun. Perjuangan Juwita masih panjang. Sayup-sayup deru pesawat terbang juga terdengar melintas di atasnya. Dia sedikit riang, lalu melambaikan tangan. Tapi percuma. Pertolong-an tak segera tiba. Yang terlihat ratusan nazar pemakan bangkai berkeliaran hingga hari petang. Wanita ini lalu terlelap, tak sadar lagi.
Ketika Juwita terbangun, hari sudah berganti. Kawanan ikan segede orang menari-nari dalam jarak pandang Juwita. Tapi justru ikan-ikan kecil berani mendekati perempuan malang ini. Mereka mengira Juwita adalah mangsa. Kaki, tangan, dan tubuhnya dipatuk berkali-kali. Sakit tak dirasakannya. Karena lapar, dia lalu rengkuh ikan-ikan lantas dimakannya hidup-hidup. Asin, amis, dan menjijikkan. Minum pun, dia menadah air hujan.
Hari ketiga terombang-ambing di te-ngah laut, Juwita kian lemas. Tangan- dan kaki sulit digerakkan. Tubuhnya- memucat jadi sasaran empuk nazar pemangsa bangkai. Mereka hinggap dan mematuki kepalanya hingga berdarah-. Dengan sekuat tenaga dia menepis si burung supaya kabur. ”Saya pasrah, tak ada tenaga,” katanya.
Gelombang menyeret Juwita tak menentu. Dia berangsur ke tepian. Matanya samar-samar melihat sebuah pulau. Entah Pulau Kambing, Semau, Rote, atau ujung Timor. Seorang nelayan melintas dengan sampan kecil. Meski sudah diteriaki, si nelayan tetap mengeloyor pergi. Ombak yang tinggi menghalangi pandangan.
Keberuntungan datang siang hari, ketika laut tenang. Tim penyelamat datang dengan kapal motor Ile Ape. Juwita mencipratkan air sampai membentuk kilauan pantulan matahari. Tanda itu diterima kapal penolong. Juwita terselamatkan.
Menurut petugas Pelabuhan Kupang, F.X. Bambang Julianto, tenggelamnya Citra Mandala Bahari akibat cuaca buruk. Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Kupang juga melaporkan, gelombang laut malam itu setinggi lima meter dengan kecepatan angin 35 knot per jam.
Bambang juga mengatakan, muat-an kapal tersebut sebenarnya masih nor-mal. Kapal Citra Mandala Bahari berkapasitas 350 penumpang, dan sa-at itu hanya mengangkut sekitar 247 orang ditambah delapan truk besar, dua unit minibus, dan 20 sepeda motor.
Dugaan lain datang dari Komandan Pangkalan Utama AL Kupang, Laksamana Pertama Syahrin Abdurachman. Dia mengaku telah menerima lapor-an yang menyebutkan penyebab kecelakaan adalah kemudi yang patah. Ini yang membuat kapal sulit terkendali. ”Kami masih akan menyelidikinya,” katanya.
Eduardus Karel Dewanto, Jems De Fortuna (Kupang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo