Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Anggota Pramuka Tewas Terseret Arus
KPK Stop Penyelidikan 36 Perkara
Kritik Jokowi, Dosen Terancam Sanksi Pemecatan
RUU Ketahanan Keluarga Diprotes
RANCANGAN Undang-Undang Ketahanan Keluarga menuai kontroversi. RUU inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat ini dinilai bermasalah lantaran terlalu jauh masuk ke ranah privat dan mendomestifikasi peran perempuan dalam urusan rumah tangga. “Kami tidak menyetujui RUU ini,” ujar anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Diah Pitaloka, Kamis, 20 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rancangan peraturan itu bermasalah antara lain terlihat dari pembagian peran yang mengharuskan suami bekerja dan istri mengurus rumah tangga. Ketentuan ini salah kaprah karena setiap keluarga memiliki latar belakang berbeda, dari sisi agama, ekonomi, sosial, hingga budaya. “Pembagian peran itu sangat personal dan tidak lagi kaku. Suami dan istri bisa bertukar peran,” kata Diah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUU Ketahanan Keluarga diusulkan lima anggota Dewan dari empat fraksi. Para pengusul itu adalah Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari Partai Keadilan Sejahtera, Sodik Mudjahid dari Partai Gerakan Indonesia Raya, Endang Maria Astuti dari Partai Golkar, dan Ali Taher dari Partai Amanat Nasional. Partai Golkar belakangan mencabut dukungan setelah RUU ini ramai diprotes.
Menurut Ali Taher, RUU ini merupakan upaya menekan angka perceraian yang terus meningkat. Setiap bulan, rata-rata tercatat 300 kasus perceraian di tiap kabupaten/kota. Kasus perceraian, dia menambahkan, menimbulkan persoalan hak asuh dan dampak ekonomi serta mengancam masa depan anak. “Saya juga resah dengan perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang kian merebak,” ucapnya.
Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan Mariana Amiruddin menilai masalah ketahanan keluarga sejatinya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. “Jadi, kalau mau bicara soal keluarga, kita lihat akarnya. Akar aturannya dari mana. Dari pernikahan dan itu sudah ada undang-undangnya,” ujarnya.
Mariana juga mempersoalkan rumusan pasal-pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga yang menganggap LGBT, sadisme, dan sadomasokisme sebagai bentuk penyimpangan perilaku seksual yang perlu mendapat rehabilitasi oleh negara ataupun masyarakat. “Pasal-pasal ini menuai banyak kritik lantaran terlalu jauh mencampuri ranah privat warga negara.”
Pasal-Pasal Kontroversial
Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga diusulkan lima politikus Dewan Perwakilan Rakyat dari empat fraksi, yakni Gerindra, Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional. Rumusan pasal dalam rancangan ini menuai kontroversi lantaran mengandung sejumlah masalah.
• Pasal 25 ayat 2
Mengatur kewajiban suami dan istri dalam rumah tangga yang mendomestifikasi peran perempuan untuk urusan rumah tangga.
• Pasal 31 dan 32
Mengatur larangan setiap orang memperjualbelikan, mendonorkan, atau meminta donor sperma atau ovum untuk memperoleh keturunan.
• Pasal 33 ayat 2 tentang Pemisahan Kamar Anak
Kewajiban memisahkan kamar tidur antara orang tua dan anak serta anak laki-laki dan perempuan.
• Pasal 85
Identitas seksual di luar heteroseksual, seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender, dianggap sebagai penyimpangan dan masalah sosial.
• Pasal 87
Orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada lembaga rehabilitasi untuk mendapat pengobatan.
• Pasal 88
Lembaga rehabilitasi terhadap penyimpangan perilaku seksual diselenggarakan pemerintah atau masyarakat.
Gugatan Warga Bukit Duri Kandas
MAHKAMAH Agung mengabulkan permohonan kasasi Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) atas gugatan class action warga Bukit Duri, Jakarta, yang menjadi korban penggusuran. Putusan itu diambil lantaran hakim di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi salah menerapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang pedoman penanganan class action.
Gugatan class action diajukan 93 warga Bukit Duri untuk memprotes penggusuran rumah mereka pada 2017. Gugatan menyasar BBWSCC, Badan Pertanahan Nasional, dan pemerintah Jakarta, yang tengah melancarkan program normalisasi sungai. Pengadilan negeri dan tinggi mengabulkan gugatan itu dan memerintahkan ketiga tergugat membayar ganti rugi Rp 18,6 miliar atau Rp 200 juta per penggugat.
Kepala BBWSCC Bambang Hidayah mengatakan dikabulkannya kasasi itu menunjukkan normalisasi Sungai Ciliwung yang dilakukan pemerintah sudah sesuai dengan aturan. “Kalau kami enggak mengajukan kasasi, nanti warga yang sudah digusur karena normalisasi dan tidak memiliki bukti kepemilikan ramai-ramai minta ganti rugi,” ujarnya.
Kuasa hukum warga Bukit Duri, Vera Wenny Soemarwi, belum bersedia menanggapi putusan kasasi atas gugatan class action yang mereka ajukan. “Kami belum menerima salinan putusannya,” katanya.
Anggota Pramuka Tewas Terseret Arus
RATUSAN siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Turi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, terseret arus Sungai Sempor saat mengikuti kegiatan pramuka. Insiden menyebabkan tujuh siswa tewas. Puluhan lainnya belum ditemukan. “Masih ada 88 siswa yang belum ditemukan,” tutur juru bicara Kepolisian Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Komisaris Besar Yulianto, Jumat, 21 Februari lalu.
Insiden bermula ketika 257 siswa SMPN 1 Turi tengah mengikuti kegiatan pramuka berupa susur sungai. Ratusan siswa yang tengah berjalan di tepi sungai mendadak terseret arus ketika air bah datang dari hulu. Sebagian di antara mereka berhasil menyelamatkan diri. Sebagian ditemukan meninggal akibat terseret arus. Air bah sungai tidak terdeteksi karena cuaca saat itu dikabarkan cerah.
“Pada saat turun ke sungai tidak hujan, tapi di hulu sudah hujan,” kata Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sleman Makwan. Menurut dia, tim pencarian dan penyelamatan gabungan masih menyisir aliran sungai. Semua siswa yang mengalami luka-luka telah mendapat pengobatan di klinik terdekat. “Proses pencarian masih kami lakukan,” ucapnya.
TEMPO/Imam Sukamto
KPK Stop Penyelidikan 36 Perkara
KOMISI Pemberantasan Korupsi menghentikan penyelidikan terhadap 36 kasus korupsi. Sebagian besar perkara itu terkait dengan dugaan suap, pengadaan barang, dan jual-beli jabatan di lembaga kementerian, badan usaha milik negara, serta pemerintah daerah. “Perkara itu masuk kategori penyelidikan tertutup,” ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Jumat, 21 Februari lalu.
Alexander menjelaskan, penyelidikan tertutup adalah penanganan perkara yang berawal dari laporan masyarakat. Selama ini, laporan tersebut ditindaklanjuti pemimpin KPK dengan menerbitkan perintah penyadapan dan pengumpulan informasi. Tapi tak semua penanganan kasus berakhir dengan operasi tangkap tangan. “Jadi, kalau tidak ditemukan bukti, buat apa diteruskan,” ucapnya.
Alexander enggan menjelaskan penyelidikan perkara apa saja yang dihentikan. Sebab, kasus-kasus tersebut bisa dibuka kembali jika kelak ditemukan bukti permulaan. Perkara yang mandek bakal dilimpahkan ke inspektorat lembaga masing-masing untuk keperluan pencegahan. “Yang bersangkutan bisa diberi sanksi administrasi,” katanya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan kebijakan pemimpin KPK periode ini menjadi sinyal buruk bagi pemberantasan korupsi ke depan.
Kritik Jokowi, Dosen Terancam Dipecat
UNIVERSITAS Negeri Semarang (Unnes) menonaktifkan dosen Fakultas Budaya dan Seni, Sucipto Hadi Purnomo, atas tuduhan ujaran kebencian. Sanksi diberikan lantaran keluhan Sucipto yang dikemas dalam bentuk sindiran terhadap Presiden Joko Widodo. “Pemeriksaan masih berjalan,” ujar Kepala Unit Pelaksana Teknis Humas Unnes Muhammad Burhanudin lewat keterangan tertulis.
Pemeriksaan Sucipto didasari permintaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 23 Januari lalu. Permintaan itu menyikapi laporan anggota staf tata usaha kampus, Benny Soerono, ke Kementerian Pendidikan yang menuduh Sucipto tidak netral. Laporan ini berbeda dengan alasan Unnes menonaktifkan Sucipto, yakni membuat ujaran kebencian.
Sucipto menganggap tuduhan itu janggal. Sebab, tulisannya di media sosial pada 10 Juni tahun lalu yang dipermasalahkan tidak dalam konteks pemilihan umum. Dalam akun Facebook-nya, ia menulis, “Penghasilan anak-anak saya menurun drastis pada Lebaran kali ini. Apakah ini efek Jokowi yang terlalu asyik dengan Jan Ethes?” Menurut Sucipto, “Tulisan itu justru mempertanyakan kenapa banyak orang menyalahkan Jokowi.”
Ia menduga pencopotan ini dilakukan karena ia aktif menyuarakan dugaan plagiarisme disertasi Rektor Unnes Fathur Rokhman. Sucipto juga tercatat pernah menjadi saksi kasus pencemaran nama Fathur yang menyeret jurnalis Serat.id, Zakki Amali. Zakki menulis tentang kasus dugaan plagiarisme Fathur yang malah berujung pada pemidanaan dirinya akibat laporan Fathur ke polisi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo