PERGURUAN tinggi swasta (PTS) ke mana harus berkiblat? Soal ini
muncul pekan lalu. Di dcpan Komis IX DPR, Seklen Majelis Rektor
Universitas dan Institut Swasta, Drs. M.0. Tambunan, mengatakan
sebaiknya PTS tidak berorientasi ke PTN (perguruan tinggi
negeri) bila ingin maju.
Baiklah. Tapi dalam soal tenaga pengajar saja PTS agaknya belum
bisa lepas sama sekali dari PTN. Memang ada bantuan dosen negeri
langsung dari Dep. P & K kepada PTS. Namun jumlahnya belum
memadai benar untuk sedikitnya 300 PTS di seluruh Indonesia.
Hingga Sabtu lalu, dengan tambahan dosen yang diserahkan Dep. P
& K kepada PTS di Kopertis Wilayah III, baru ada 1.807 jumlahnya
yang diperbantukan di PTS seluruh Indonesia.
Dan kenyataannya, PTS masih mengharap kerelaan PTN untuk
mengizinkan dosennya merangkap di PTS. Di Unair, menurut Purek I
Dr. Lucas Widyanto, sekitar 75% dosennya mengajar di PTS. Dan di
UGM, lebih dari 60% dosennya pun merangkap memberi kuliah di
PTS.
Awal November ini, sedianya ditandatangani kerjasama 41 PTS di
Jawa Barat dengan Unpad dalam hal bantuan tenaga dosen. Tapi
karena Unpad mengharuskan PTS juga membayar ekstra untuk
administrasi selain honorarium dosen, rencana ini disetop oleh
Ketua Kopertis Wilayah IV. Hal memungut uang administrasi itu
dianggap menyalahi peraturan.
Sebagian dosen PTN mengajar di PTS bukan mewakili PTN-nya.
Pribadi sifatnya. Karena itu bantuan bisa, seperti yang
dikatakan Dr. Gerard Bonang, Rektor Universitas Atmajaya,
"terbatas padahal mengajarnya Di luar itu, misalnya, soal
pembinaan universitas atau mahasiswa, bukanlah urusan dosen PTN
yang merangkap kerja itu. "Mereka 'kan hanya dikontrak untuk
mengajar," sambung Rektor itu. PTS-nya banyak memanfaatkan dosen
UI dan IKIP Jakarta.
Orientasi PTS pada PTN justru bisa menghambat kemajuan PTS, kata
M.O. Tambunan. Apa benar? Mungkin itu benar bila berarti
perekrutan tenaga dosen PTN untuk mengajar rangkap saja. Tapi
ada contoh kerjasarna UGM dan UII (Universitas Islam Indonesia)
di Yogyakarta. Dan hasilnya boleh dibanggakan.
Kerjasama keduanya diteken pada 1967, sewaktu Prof. Dr. Sardjito
masih menjadi Rektor UII dan Drg. Nazir Alwi sebagai Rektor UGM.
Kini "kami merasakan dari tahun ke tahun mutu sarjana UII
meningkat dan laku di pasaran," tutur Drs. Asyari Anwar, Purek
II UII. Dari semua tujuh fakultasnya, Ekonomi dan Hukum telah
disamakan dengan negeri.
"Bahkan dengan kerjasama itu tahun lalu kami membuka pendidikan
komputer," tambah Asyari Anwar. Dan dosen-dosen UGM "tidak
menganaktirikan UII." Berkat kerjasama itu pula sejumlah dosen
UII dapat mengikuti pendidikan S2 (pasca sarjana) di UGM.
Tak hanya itu. Dengan meninggalnya Rektor BPH Prabuningrat,
September lalu, kini orang UGM juga, Prof. Ace Partadireja,
menjabat rektor di UII. Tanpa kerjasama formal, hal itu tak
dimungkinkan sekali. Sebab, menurut peraturan, dosen negeri yang
mengajar juga di swasta tidak diizinkan memegang jabatan apa pun
di PTS.
Bagi UGM sendiri, kerjasama itu pun bermanfaat. Para dosennya
yang merangkap itu mendapat tambahan penghasilan yang lumayan
besarnya. Dosen UGM yang mengajar di UII konon bisa mendapat
imbalan Rp 100 ribu tiap bulannya. Maka di Fak. Ekonomi UGM,
misalnya, hanya 10 dari 79 dosen tetapyang tidak mengajar
rangkap, tutur Dr. Sulistyo MBA, Pudek I fakultas tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini