Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NASIB Jenderal Polisi Surojo Bimantoro kini menjadi bahan guyonan politisi Senayan. Dalam rapat Komisi II DPR yang menghadirkan Dirjen Perundang-undangan pekan lalu, namanya dikaitkan dengan Rancangan Undang-Undang Kepolisian, yang tengah digodok para wakil rakyat. Saat itu sang dirjen kebingungan memilih antara rapat perubahan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan RUU Kepolisian, yang bentrok jadwalnya. Umumnya peserta rapat menyarankan agar ia memilih hadir dalam rapat RUU Korupsi. ''RUU Kepolisian itu nanti saja. Itu kan cuma demi Pak Bimantoro," ujar seorang politisi. Dan semua yang hadir tertawa.
Nasib seorang Bimantoro memang terikat dalam RUU Kepolisian itu. Dalam pasal 19 rancangan itu, usia pensiun bagi anggota Polri diperbaharui menjadi 60 tahun, dari semula 55 tahun. Jika RUU itu segera lolos, Bimantoro, yang pada 3 November nanti berusia 55 tahun, masih akan bisa tetap menjadi Kapolri. Andai saja.
Tak hanya berharap dari para politisi di Senayan, sekitar 12 kepala kepolisian daerahpara pendukung Bimantorotelah mengirim surat kepada Presiden Megawati Sukarnoputri yang berisi harapan agar jabatan Bimantoro bisa diperpanjang setahun lagi. Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Sofjan Jacoeb tak membantah disebut sebagai salah satu dari mereka. ''Bukan mendukung, itu kewajiban bawahan," katanya kepada TEMPO.
''Kebulatan tekad" itu mencerminkan pergulatan dalam tubuh kepolisian yang belum reda. Polri memang masih terbelah menyusul pengangkatan kontroversial Jenderal Chaerudin Ismail oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
Bimantoro melakukan ''balas dendam" setelah posisinya dipulihkan, menyusul naiknya Megawati. Ia menggeser sebanyak 50 perwira yang diyakini sebagai pendukung Chaerudin, akhir September lalu. Salah satunya adalah Brigjen Edi Danardi, yang ditarik ke Jakarta menjadi Staf Ahli Kapolri, dari jabatan se-belumnya Kapolda Maluku. Sebaliknya, Bimantoro mempromosikan 30 perwira pendukung setianya. Inspektur Jenderal Didi Widayadi, misalnya, yang sebelumnya Kepala Badan Hubungan Masyarakat, diangkat menjadi Kapolda Sumatra Selatan.
Pergeseran itu kian menguatkan barisan penyokong Bimantoro. Sebelum mutasi pun, lulusan Akademi Kepolisian tahun 1970 ini memang sudah mempunyai banyak pendukung setia. Teman-teman seangkatannya telah menguasai kursi-kursi strategis, suatu hal yang diabaikan oleh Abdurrahman Wahid.
Meski bertahan, Bimantoro mencemplung dalam intrik politik kian dalam. Dan dalam politik, tiada kawan atau lawan abadi. Kendati Bimantoro ikut berjasa melempangkan jalan Megawati ke Istana Presiden, belakang posisinya terancam. Menurut sumber-sumber TEMPO di kalangan PDI Perjuangan ataupun Istana, dipastikan masa dinas Bimantoro tidak akan diperpanjang. Padahal, dengan Undang-Undang Kepolisian yang berlaku sekarang (Undang-Undang No. 28 Tahun 1997), sebetulnya perpanjangan bisa saja dilakukan jika presiden menghendaki.
Apa dosa Bimantoro? Menurut Rodjil Guffron, anggota Komisi II DPR, ia telah gagal menangkap Tommy Soeharto. Akibatnya, kepercayaan masyarakat kepada polisi anjlok ke titik yang paling rendah. Dosa lainnya, Bimantoro sudah telanjur terlibat konflik yang membawa keretakan di tubuh Polri. Jika ia dipertahankan, kata Rodjil, dikhawatirkan pertikaian antara kelompok Bimantoro dan kelompok Chaerudin tidak segera padam.
Awal September lalu, Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) Polri sudah mengajukan enam calon pengganti Bimantoro kepada Presiden Megawati. Siapa saja mereka? Sampai sekarang masih simpang-siur. Dari sumber-sumber TEMPO di Mabes Polri, paling tidak ada sembilan nama yang sempat disebut, yakni Ahwil Luthan, Yun Mulyana, Noegroho Djayoesman, Sjachroeddin Pagaralam, Kadaryanto, Da'i Bachtiar, Sutanto, Sofjan Jacoeb, dan Nurfaizi (lihat tabel Biodata Para Calon).
Sebagian besar kandidat itu berasal dari angkatan 1970, teman-teman Bimantoro sendiri. Inilah yang membuat kelompok Chaerudin Ismail (angkatan 1971) berang. Mereka menganggap Wanjakti yang dipimpin Yun Mulyana sebetulnya cuma stempel karet kelompok Bimantoro. Tapi Kepala Badan Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Polisi Saleh Saaf, tidak sependapat. ''Itu omongan orang yang tidak puas saja," ujarnya kepada TEMPO.
Perang isu belum berlalu sampai pekan lalu. Dan imbasnya sampai ke kalangan politisi PDI-P. Sempat terdengar kabar bahwa nama Ahwil Luthan, Yun Mulyana, dan Sjachroeddin Pagaralam sudah ditolak oleh Presiden Megawati. Tapi isu ini buru-buru ditepis oleh Tjahjo Kumolo, Wakil Sekretaris Fraksi PDI-P. Menurut Tjahjo, Presiden belum mem-berikan keputusan dan masih menerima masukan dari berbagai kalangan. Bagi mantan Ketua KNPI itu, figur seperti Ahwil dan Yun justru berpeluang menggantikan Bimantoro.
Di kalangan PDI-P, tak sedikit pula yang lebih condong pada figur angkatan muda seperti Nurfaizi (1971), Da'i Bachtiar (1972), dan Sutanto (1973). Ketiga figur ini memang cukup komplet pengalamannya. Selain pernah menjadi Kapolda, mereka juga berpengalaman sebagai reserse. ''Kalau tujuannya untuk regenerasi, memang sebaiknya ditampilkan kader yang lebih muda," kata Muhammad Thamrin, seorang anggota PDI-P.
Menghadapi tarik-menarik kepentingan, Presiden Megawati sulit mengambil ke-putusan. Rencananya, sebelum Presiden melawat ke Amerika Serikat pertengahan September lalu, nama-nama calon Kapolri sudah diserahkan ke DPR. Tapi, sampai pekan lalu, Sekretaris Negara Bambang Kesowo belum mengirim nama-nama calon ke Senayan.
Sebetulnya Presiden bisa saja langsung mengajukan nama-nama ke DPR tanpa memperhatikan usulan dari Mabes Polri. Dalam Ketetapan MPR No. VII Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, hanya diatur bahwa ''pengangkatan Kapolri harus dengan persetujuan DPR". Prosedur pencalonan dan mekanisme pemilihan belum diatur. Cuma, menurut Muhammad Thamrin, Presiden tetap berkeinginan calon yang disodorkan ke DPR berasal dari usulan kepolisian. ''Jadi, di tubuh Polri sendiri kalau bisa sudah tidak ada perdebatan lagi," katanya.
Jika sang juru damai yang dicari, figur yang tidak larut dalam pertikaian kubu Bimantoro dan Chaerudin berpeluang besar untuk tampil. Ini bisa diambil dari luar angkatan 1970 dan angkatan 1971. Ahwil Luthan, yang lulusan Akademi Kepolisian tahun 1968, pun bisa di-jagokan. Satu saja kelemahannya, ia belum pernah menjadi Kapolda. Dari angkatan muda, Da'i Bachtiar dan Sutanto juga punya kemungkinan dicomot Megawati. Demikian pula Nurfaizi. Walaupun berasal dari angkatan 1971, kata sumber TEMPO, Gubenur Per-guruan Tinggi Ilmu Kepolisian itu tidak tercebur dalam perseteruan di tubuh Polri.
Lalu, bagaimana soal integritas? Ini yang sulit. Sekarang susah mencari figur yang benar-benar bersih dari korupsi di kalangan petinggi Polri. Tapi sosok yang relatif jujur mestinya bisa ditemukan. Dan mudah-mudahan karena kendala ini, dan bukan yang lain-lain, Megawati lamban menentukan calon.
Gendur Sudarsono, Edy Budiyarso, dan Hadriani Pudjiarti
Biodata Para Calon | |||||
---|---|---|---|---|---|
Nama | Pangkat | Umur | Angkatan | Jabatan Sebelumnya | Jabatan Sekarang |
Ahwil Luthan | Komisaris Jenderal | 54 | 1968 | Kepala Badan Koordinasi Narkotik Nasional | Inspektur Jenderal Polri |
Yun Mulyana | Komisaris Jenderal | 54 | 1970 | Kapolda Jawa Barat | Sekretaris Jenderal Polri |
Noegroho Djayoesman | Komisaris Jenderal | 54 | 1970 | Kepala Lembaga Pendidikan dan Latihan Polri | Deputi Pendidikan dan Latihan |
Sjachroeddin Pagaralam | Komisaris Jenderal | 54 | 1970 | Kapolda Jawa Barat | Deputi Operasi |
Sofjan Jacoeb | Inspektur Jenderal | 54 | 1970 | Kapolda Sulawesi Selatan | Kapolda Metro Jaya |
Kadaryanto | Komisaris Jenderal | 52 | 1971 | Kapolda Jawa Tengah | Deputi Sumber Daya Manusia |
Nurfaizi | Inspektur Jenderal | 53 | 1971 | Kapolda Metro Jaya | Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian |
Da'i Bachtiar | Komisaris Jenderal | 52 | 1972 | Gubernur Akademi Kepolisian | Kepala Badan Koordinasi Narkotik Nasional |
Sutanto | Inspektur Jenderal | 51 | 1973 | Kapolda Sumatera Utara | Kapolda Jawa Timur |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo