KETIKA bel berbunyi, siswi-siswi berjilbab justru masuk perpustakaan. Mereka tak lagi masuk kelas seperti teman-temannya. Memang ada ketentuan di SMA Negeri I dan IV Bekasi, Jawa Barat, bahwa siswi berjilbab diharuskan mengikuti pelajaran di ruang perpustakaan saja. Perlakuan pemisahan murid yang berjilbab dan tak berjilbab ini sempat mengundang protes Pemuda dan Mahasiswa Islam Bandung (PMIB). Sabtu dua pekan lalu, mereka, melalui empat orang wakilnya, mendatangi gedung SMA itu. "Kami menuntut supaya siswi berjilbab boleh bersama-sama ikut belajar di kelas," kata Imam Mustofa, ketua rombongan itu, kepada Heddy Susanto dari TEMPO. Namun, rupanya, tuntutan mereka tak langsung berbuah. Pihak kepala sekolah memintanya menghadap Memet Rachmat, Kepala Kantor Departemen P dan K Bekasi. Memet Rachmat, ketika menerima delegasi itu, menyerahkan persoalannya ke Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Namun, ia sempat berjanji, "Insya Allah, soal itu tuntas pada Ramadan nanti." Suasana pemisahan itu dimulai sekitar akhir Januari lalu. Musyawarah antara Drs. Maman, Kepala Sekolah SMAN I dan IV yang terletak dalam satu kompleks -- yang kebetulan dirangkapnya -- orangtua murid, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Departemen Agama, Kepala BP3, dan beberapa staf pengajar, memang tak membuahkan hasil. Tak ada kesepakatan untuk memperlakukan siswi berjilbab sebagaimana anak biasa. Akhirnya, siswi berjilbab dari SMAN IV, sebanyak 12 orang, diharuskan belajar di ruang guru. Hal ini diikuti oleh SMA I yang bersebelahan. Mereka belajar tanpa ada pembimbing. Dan sejak 6 Februari lalu, mereka dipindahkan ke perpustakaan oleh Drs. Sudarsono, penjabat kepala sekolah yang baru. "Kalau mereka tetap belajar di ruang guru, tak dapat konsentrasi dengan baik," katanya. Keputusan kepala sekolah itu, dengan berat hati, harus dilaksanakan. "Sebetulnya, saya juga prihatin dengan mereka. Saya kan juga muslim. Tapi harus bagaimana lagi. Ini peraturan," kata Sudarsono. Mereka belajar bersama di ruang perpustakaan, mengikuti jadwal temannya di kelas. Misalnya, Senin pukul 9.00, di kelas IIA ada pelajaran bahasa Indonesia, maka siswi berjilbab di perpustakaan itu juga harus membaca buku pelajaran bahasa Indonesia di perpustakaan. Begitu juga dengan ulangan. Mereka mengerjakan ulangan di perpustakaan, sementara teman-temannya tetap di kelas. Perlakuan ini tentu saja mengundang keluhan dari para siswi sendiri. Misalnya Vini Mawar, 17 tahun, siswi kelas II jurusan fisika. "Terus terang saja, saya merasa terganggu dengan cara belajar di perpustakaan itu," kata Vini, yang mengenakan jilbab sejak beberapa bulan lalu. Selain mengisi daftar hadir di kelas, siswi berjilbab juga harus mengisi absen di perpustakaan. "Cuma olahraga kami tak ikut," katanya. Dan tak jelas bagaimana mereka memperoleh nilai mata pelajaran tersebut. Sementara itu, untuk pelajaran agama, mereka diperbolehkan masuk kelas. "Usaha saya sekarang hanya tinggal bertahan dengan keadaan seperti ini, nggak tahu sampai kapan," tambah Vini. Lulu Leli, 16 tahun, juga senasib dengan Vini. Siswi kelas II itu sudah memakai jilbab sejak kelas I. Ketika itu masih bongkar pasang sehingga belum terkena aturan itu. Dan sekarang dia termasuk salah satu yang terkena isolasi. "Bagaimana bisa baik, kalau belajar tanpa guru. Namanya belajar. Itu butuh bimbingan," tutur Lulu, siswi jurusan biologi. Sudah sering, bagi Sudarsono, mengadakan pendekatan dengan para siswi yang mengenakan jilbab, supaya mereka menanggalkan kerudungnya ketika masuk kelas. Pendekatannya itu memang ada hasilnya. Dari 26 siswi berkerudung, kini tinggal 18 siswi, yaitu 10 orang dari SMAN I dan sisanya dari SMAN IV. Dalam surat edaran Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 1984, tentang penjelasan pakaian seragam sekolah, disebutkan bahwa bila ada siswi yang melakukan penyimpangan mengenai pakaian seragam, supaya diperlakukan secara persuasif, edukatif, dan manusiawi. Tak urung Sudarsono mengakui juga bahwa cara belajar para siswi berkerudung itu terganggu. "Saya sendiri masih belum tahu, akan sampai kapan seperti ini. Yang jelas, saya hanya melaksanan peraturan," katanya. Pihak Kantor Departemen P dan K juga menghadapi problem. "Di satu pihak kami ingin mengembangkan pelajaran agama, tapi di pihak lain kami juga harus memperhatikan kebersamaan," kata Memet Rachmat. Setidak-tidaknya, sampai saat ini, menurut Prof. Hasan Walinono, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, belum ada niat untuk mengubah atau meninjau peraturan tentang seragam sekolah itu. Kalau ada penyimpangan? "Ya, diusahakan mereka menaati peraturan itu," katanya. Alasannya, setiap murid, ketika mendaftarkan diri dan mulai belajar di sekolah negeri, telah sepakat untuk menaati peraturan dan disiplin sekolah, termasuk hal pakaian seragam. Tindakan persuasif, menurut Hasan Walinono, selalu dicanangkan. "Jika memang ingin lain, ya, silakan pindah ke sekolah yang memungkinkan pakaian seragam itu," katanya. Sehubungan dengan ini, diakui Lulu, bahwa mereka memang pernah diminta menandatangani pernyataan akan mengikuti aturan tentang seragam sekolah. "Tapi belakangan ini pada kami tumbuh kesadaran untuk memakai jilbab. Ketika menandatangani peraturan tersebut, kesadaran itu belum membesar seperti sekarang ini," alasan Lulu. Kalau pindah? "Kalau soal pindah, gampang. Tapi kami masuk sini kan sulit, harus lewat persaingan yang ketat," katanya. Ketua Umum MUI, K.H. Hasan Basri, menilai bahwa penanganan soal jilbab selama ini sporadis dan berlarut-larut. Karena itu, ia mengimbau agar Pemerintah membuat keputusan yang pasti," katanya. Mempertahankan peraturan itu, atau apa lagi? Gatot Triyanto, Tri Budiono, Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini