KE mana sasaran Opstib berikutnya? Pertanyaan ini mungkin
membingungkan, karena menengok ke arah mana pun pada bidang
pelayanan masyarakat, terjadi pungutan liar. Bisa dimaklumi
kalau timbul suara menyindir. Sampai-sampai seorang pengusaha di
Semarang berceloteh Pungli baru bisa hapus kalau ada
revolusi....
Ucapan itu agaknya setengah bergurau. Sebab dengan gebrakan
tuntas, tanpa pandang bulu, pungli akan bisa dibatasi,
setidaknya direm.
Tapi sampai saat ini, di jalan raya pun, masih ada surat
dispensasi dari pejabat untuk menakut-nakuti petugas DLLAJR
(lihat Kisab Tony Daulat). Demikian juga di banyak bidang lain.
Pengama tan TEMPO di Jakarta dan berbagai daerah menunjukkan si
pungli masih ramai.
Di Dinas Tata Kota DKI Jakarta, para petugasnya masih termasuk
sopan. Bapak bayar pakai amplop saja, nggak enak dilihat orang,
tutur seorang petugas setelah tawar-menawar tarif selesai.
Amplop itu pun hanya mau diterimanya di luar ruangan. Mata
seluruh karyawan di ruangan itu mengikuti rekannya mengiringi
tamunya keluar. Beberapa orang terang-terangan menyapa, bagi,
dong.
Di Kantor Perdagangan Pati, Jawa Tengah, seorang petugas pekan
lalu terang-terangan menjelaskan Untuk mengurus izin usaha,
bayar dulu Rp 30.000 baru bisa beres . Tarif resminya Rp 17.500.
Seorang petugas Imigrasi Yogyakarta dikenal suka membagikan
kartu namanya pada orang-orang yang berdesakan di kantor
Imigrasi. Datang saja ke rumah, urusan pasti cepat selesai,
katanya. Tarif yang ditentukan di rumahnya juga resmi, cuma ada
embel-embel uang lelah. Saya tidak menentukan, pokoknya sukarela
saja, ujarnya pada seorang wartawan yang mau mengurus paspor.
Dan seorang lain yang merasa gembira mendengar tarif pemasangan
telepon kini hanya Rp 200.000, terpaksa gigit jari. Si petugas
bilang, itu harga resmi. Tapi dalam praktek, sudah murah kalau
bersedia memberi setengah juta rupiah."
YANG selama ini kurang banyak diungkap agaknya pungli di bidang
perpajakan. Dalam rangka usaha peningkatan penerimaan pajak
tindakan tegas mulai dilakukan pemerintah. Beberapa kasus
penyelundupan pajak, antara lain dua perusahaan asing Jepang,
telah diajukan ke pengadilan.
Peluang petugas memungli wajib pajak sebagian karena ulah wajib
pajak yang ingin menghindari pajak. Seorang pengusaha muda, Iwan
Syamsudin (bukan nama sebenarnya) di Jakarta Timur berkisah
tentang pengalamannya dengan kantor pajak.
Direktur dari 3 perusahaan itu menjadi pengusaha sejak 1976.
Baru berjalan 2 bulan, sudah datang panggilan pajak.
Padahal waktu itu perusahaan saya kan belum apa-apa. Sejak itu
timbul ide membuat tiga neraca: satu untuk bank kedua untuk
pajak dan ketiga untuk diri sendiri, ceritanya. Dalam neraca
untuk bank keuntungan perusahaannya selalu dilipatduakan agar
bisa memperoleh kredit lebih banyak. Sedang neraca untuk pajak
dirundingkan dengan petugas pajak, terkadang malah langsung
dengan Kepala Inspeksi Pajak setempat.
Pada 1977 perusahaan Iwan untung Rp 59 juta. Mestinya dia
membayar pajak Rp 5 juta lebih. Lewat kongkalikong pajak yang
dibayar akhirnya cuma Rp 750.000, sedang bagian untuk orang
dalam Rp Rp 250.000.
Tahun-tahun berikutnya permainan vang saling menguntungkan itu
berlanjut. Kesempatan untuk bermain masih terbuka. Apalagi
sekarang ini kerjasama antara pihak bank dan dinas pajak belum
ada, ujarnya. Toh Iwan mengaku merasa berdosa atas tindakannya,
dan menganggap dirinya munafik, hingga ia mengharap penertiban
di bidang pajak segera bisa dilakukan.
Seorang pengusaha lain, Dani (nama samaran) menganggap,
penyelewengan di bidang pajak sebagian besar timbul karena
kurangnya kesadaran pada peranan pajak. Pajak dianggap momok,
jadi orang pada lari. Dinas Pajak sendiri kurang melakukan
pendekatan dan memberi penerangan tentang pajak. Kebanyakan
petugas pajak, dengan data yang ada, mau memeras, ujarnya.
Pengalaman Dani sendiri mirip Iwan: pajak yang seharusnya Rp 5
juta bisa menjadi cuma Rp 1 juta dengan uang lelah Rp 500.000.
Petugas pajak sendiri yang datang ke sini, menawarkan jasanya
dan menyelesaikan. Jadi terus terang saya juga puas, ha, ha, ha,
ucapnya.
Ada yang menganggap pungli di kantor pajak mirip permainan
sindikat . Seorang pengusaha besar di Semarang menceritakan
pengalamannya. Korps pegawai pajak sangat kuat. Semua saling
menjaga, ujarnya. Pernah seorang petugas A yang menangani proses
penyelesaian pajak perusahaannya dipindah ke kota lain. Pejabat
B yang menggantikannya tidak mau melanjutkan pemrosesannya.
Semua masih ditangani A. Ini kan permainan sindikat?, katanya.
Mengapa ia tidak berani menolak pungli, atau melapor? Bisa mati
kutu usaha saya. Petugas pajak kan lebih gampang mencari
kelemahan, katanya. Pungli terbesar yang pernah dibayar yang
pengusaha ini Rp 15 juta. Uang itu dibayarnya untuk bisa
mengeluarkan kelebihan pembayaran pajak MPg nya yang Rp 60
juta yang konon dipersulit pengeluarannya.
Ternyata tak semua orang taku melapor. Prof. Roosseno dari Biro
In nyur Eksakta, Jakarta, pernah lewa surat melapor kepada
Pangkopkamtib Sudomo karena mau diperas petugas pajak sebesar
Rp 1 juta. Saya mau mengasih Rp 500 ribu ia tak mau Karena
jengkel saya lapor ke Pangkop kamtib, katanya. Sudomo ternyata
segera bertindak dan petugas itu kini telah dipindah dari Kantor
Pajak Pusat ke Kanwil III dan diturunkan pangkatnya.
Selain pungli, banyak pengusaha yang mengaku memberikan semacam
upeti kepada petugas pajak. Terkadang petugas pajak tidak
terang-terangan menyebut permintaannya. Jika misalnya seorang
petugas pajak mengatakan Wah, anak saya besok mau ulang tahun,
pantasnya dibelikan kado apa?, itu berarti jumlah upeti-nya
kecil. Kalau yang berulang-tahun ternyata istri, artinya kadonya
agak besar. Lebih besar lagi kalau ia menyebut Bapak, walau
entah siapa yang dimaksudnya. Menghadapi petugas pajak
sebenarnya gampang. Apa kesukaan mereka, kita belikan saja,
pasti dia tidak macam-macam, ujar Toni, seorang pengusaha di
Yogya.
Pemerintah bukannya tak bertindak untuk memberantas permainan di
bidang pajak ini. SK Menteri Keuangan No. 108/1979 mewajibkan
perusahaan melakukan pembukuan terbuka dengan memakai jasa
akuntan publik. Setelah peraturan tersebut memasuki tahun
ketiga, terlihat ada kemajuan dalam itikad baik pengusaha untuk
membayar pajak, kata John D. Prasetyo, Kepala Bagian Audit
Kantor Akuntan Publik Drs Utomo Mulya & Co. Perusahaan ini
mempunyai 400 klien lebih, antara lain perusahaan Multi Bintang,
Friesche Flag dan Coca Cola. Ia menyebut beberapa pengusaha yang
mengaku bisa tidur nyenyak karena pembayaran pajaknya kini
beres.
Toh memang harus diakui, cukup sulit untuk mengungkap permainan
pungli petugas pajak. Karena mereka melakukan perundingan
sendiri dengan wajib pajak. Tanpa ada laporan masyarakat
pengusaha, akan sulit bagi kami untuk menindak aparat yang
melakukan pungli, kata Ir-Jen Departemen Keuangan Jusuf L.
Inderadewa.
Mungkin jalan keluar yang paling baik untuk mencegah
penyelundupan banyak adalah dengan menciptakan suatu sistem
perpajakan yang rapi. Antara lain, seperi sedang diusahakan oleh
Menteri Kueangan Ali Wardhana, dengan mengharuskan laporan ganda
tadi. Juga dengan sistem monitoring dari waktu ke waktu.
Tapi gebrakan, dan ancaman untuk embawa ke pengadilan, juga
perlu. Terutama bagi mereka yang membandel. Itu, sedikit banyak
telah dilakukan oleh Men-Keu Wardhana. Akan lebih rapi lagi
kalau sapu Sudomo mulai menyabet ke halaman perpajakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini