DARI 48 Kepala Keluarga (KK) penghuni yang mewakili para pemuda
dari 26 propinsi di Desa Pemuda Labuhan Batu (Sumatera Utara)
baru lewat setahun, belasan KK sudah pada lari. "Tapi jangan
disebut gagal. Soalnya mereka yang lari itu tidak ulet," kata
Abdul Gafur, Menteri Muda Urusan Pemuda. Dan Gafur, 12 Januari
lalu, meresmikan proyek serupa di Desa Pabahanan, Kabupaten
Tanah Laut, Kalimantan Selatan.
"Hambatan yang timbul dari pelaksanaan desa pemuda di Sumatera
Utara mendorong kami untuk tidak latah, tapi juga tidak putus
asa," kata Anang Adenansi, Ketua KNPI Kal-Sel, ketika berpidato
menyambut peresmian desa itu. Katanya, terjadinya kasus Labuhan
Batu, pasti ada sebabnya.
Menarik pelajaran dari sana, Anang yang mengajukan gagasan
proyek itu kepada Pemda Kal-Sel, nampaknya berambisi memperbaiki
"proyek monumental" KNPI itu dari peristiwa tidak sedap yang
terjadi di Sumatera Utara. "Bagi kami kegagalan Desa Pemuda di
Sumatera itu, kalaupun kita katakan gagal, justru merupakan
pelajaran yang tak boleh terulang di Kalimantan," kata Anang,
kepada Syahran R. dari TEMPO.
Maka dengan seleksi yang ketat terpilih 30 KK warga Kal-Sel
untuk menglluni DPI seluas 200 hektar. Masing-masing memperoleh
rumah lengkap dengan perabotan. Tanah dua hektar. Bahkan yang
satu hektarnya, bukan hanya sudah ditraktor, tapi di atasnya
sudah tertanam 96 pohon cengkeh.
Sementara menunggu hasil tanah yang akan digarap, setiap
keluarga yang tak boleh punya anak lebih dari tiga itu, setiap
bulan memperoleh uang sebesar Rp 15 ribu selama setahun. Dan
berbeda dengan Labuhan Batu, semua biaya untuk DPI di Desa
Pabahanan itu dimasukkan dalam APBD Kal-Sel. Dengan begitu, kata
Anang, biaya rutin untuk proyek itu bisa terjamin sepanjang
tahun.
Sekalipun mereka harus mengucapican janji dan ada sanksi harus
mengganti seluruh biaya yang terpakai bila keluar dari desa
tersebut, dengan fasilitas serupa itu tak sedikit pemuda Kal-Sel
terpancing. Badaruddin, 29 tahun, lulusan PGA Kabupaten Tapin
misalnya, mengaku fasilitas itulah yang menariknya. "Kalau
bertahan di desa sendiri, belum tentu dapat rumah berikut
tanah," katanya Sedang soal kerja, di desa atau di sini, sama
saja, diperlukan semangat dan tenaga. "Pokoknya kita di sini
hebat. Sudah dapat rumah, tanah, bibit, digaji lagi," tambah
Badaruddin.
Begitu juga dengan Normansyah, 29 tahun, punya anak dua, yang
masuk DPI bersama tiga teman lainnya dari Kabupaten Hulu Sungai
Utara. "Hidup saya di Desa Babirik betul-betul susah," katanya
Sudah bertahun-tahun sawahnya tidak pernah menghasilkan padi.
Sebab kalau musim kemarau, kering dan banjir di musim hujan.
Lima tahun terakhir ini, Norman tidur di perahu sebagai pencari
ikan. Itu sebabnya ia bersumpah akan hidup atau mati di desanya
yang baru.
Disuruh Camat
Tapi lain dengan dua peserta tadi, Boimin Rusmadi, 33 tahun,
dari Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Ia meninggalkan
tempat asalnya yang berkecukupan. Memang banyak tikus dan babi
mengganggu hasil tanamannya. Tapi segala jenis tanaman, bisa
hidup subur di Telaga Langsat, desa asalnya itu. Boimin yang
sudah punya tiga anak itu baru lima tahun pindah dari
Banyuwangi, Jawa Timur. Baginya jadi penghuni DPl cukup gampang.
"Saya disuruh Camat. Sebab pak Camat bilang hidup di DPI lebih
bagus," katanya polos.
Bagi Boimin dan kawan-kawannya yang masuk DPI tentu punya
harapan hidup lebih baik. Di Peleihari, kecamatan tempat lokasi
DPI itu misalnya, menurut Camat M. Basir Hasan belum ada tradisi
pemudanya untuk hidup terpisah dari orang tua bila sudah berumah
tangga. Basir yang juga ketua KNPI di kecamatannya mengaku tak
ada satu pemuda pun yang mau masuk DPI ketika mula-mula
diumumkan. Sesudah terbangun desa itu lengkap dengan rumah dan
fasilitasnya, 16 pemuda mendaftarkan diri. Padahal ada ribuan
pemuda di daerahnya. "Yang mendaftar itu terutama tertarik
karena fasilitas itu," katanya.
Namun bagi Hargiyanto, orang DPP KNPI yang berurusan dengan
proyek DPI, justru fasilitas serba berlebih itu dianggap
merupakan faktor yang dapat membuat si penghuni cenderung manja.
Katanya, DPI Labuhan Batu fasilitasnya lebih hebat dari yang di
Pabahanan itu. Bahkan ada kasur, lampu petromak, motor dan
televisi, fasilitas yang belum ada di DPI Kal-Sel. Toh banyak
yang lari juga akhirnya. "Kita tak usah ngibul adanya kenyataan
tersebut," kata Hargiyanto jujur sambil mengakui tingkat
kegagalan DPI Labuhan Batu sampai mencapai 40%. Itu sebabnya
kepada Anang Adenansi pun, Hargiyanto memperingatkan agar siap
mental menghadapi kemungkinan kegagalan DPI Kal-Sel sampai 30%
dari target.
Menteri Muda Gafur mengakui juga kelemahan proyek DPI pertama
KNPI yang di Sum-Ut itu. "Maunya penghuni itu dari setiap
propinsi, terlalu idealis," katanya. Lagi pula, kata Gafur,
harusnya proyek itu ditangani secara profesional. Artinya tak
usah seluruhnya, misalnya urusan teknis juga dipegang KNPI.
"Pagi-pagi saya sudah peringatkan kalau KNPI menangani langsung
urusan teknis, pasti gagal," katanya. Gafur menganjurkan agar
misalnya menggunakan pensiunan ahli pertanian untuk
dimanfaatkan. "Gajilah mereka, berapa sih," kata Gafur lagi.
DPI memang masih proyek eksperimen. "Kita masih mencari model
yang tcrbaik," kata Gafur. Barangkali itu scbabnya DPI Pabahanan
diharapkan bisa menebus kesalahan yang terdapat di DPI Labuhan
Batu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini