Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seharian Fadloli El Muhir menghabiskan waktunya di Polda Metro Jakarta Raya. Ketua Forum Betawi Rempug (FBR) itu dipanggil polisi dengan status tersangka. Dia diperiksa selama 12 jam hingga menjelang tengah malam, Kamis pekan lalu.
Semua itu bermula dari pengaduan Sinta Nuriyah, istri mantan presiden Abdurrahman Wahid. Ia tersinggung dengan pernyataan Fadloli dalam sebuah acara di televisi, bulan lalu. Fadloli menyebut para wanita yang ikut pawai menentang rancangan undang-undang tentang pornografi dan pornoaksi sebagai perempuan bejat, iblis, dan tak bermoral. Nah, salah satu wanita yang ikut dalam aksi itu adalah Sinta Nuriyah.
Suhana, pengacara yang mendampingi Fadloli, menyesalkan langkah Sinta yang membawa masalah ini hingga ke polisi. ”Dia (Fadloli) memang punya ciri khas mengeluarkan kata-kata keras,” katanya.
Hanya kata-kata keras? Agaknya tidak. Pemerintah saat ini sedang mengawasi aksi sejumlah kelompok. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan langkah pemerintah itu saat menerima pengurus Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) di Istana, Selasa pekan lalu. Seusai pertemuan, Sekretaris Jenderal GMNI, Sonny T. Danaparamita, mengatakan pemerintah akan menertibkan kelompok-kelompok yang menggunakan label agama untuk melakukan kekerasan. Siapa mereka? ”Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, dan Forum Betawi Rempug,” kata Sonny.
FBR mulai jadi sorotan sejak kelompok ini menyerang anggota UPC (Konsorsium Rakyat Miskin Kota) di halaman kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, empat tahun lalu. Saat itu anggota UPC meminta Komnas HAM mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membatalkan aksi penggusuran terhadap masyarakat miskin kota. Tiba-tiba anggota FBR muncul dan menyerang rombongan UPC. Akibatnya, tiga orang mengalami luka-luka.
Anggota FBR juga sering dimintai bantuan menjaga tanah yang bersengketa. Sesekali mereka harus berhadapan dengan petugas penggusuran. Satu contohnya ketika eksekusi tanah di kompleks Billy & Moon, Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Seratusan orang FBR dan Forum Komunikasi Anak Betawi mesti berhadapan dengan 300 petugas Ketenteraman dan Ketertiban Pemerintah Kota Jakarta Timur. Peristiwa itu mengakibatkan dua petugas terluka di bagian kepala. Polisi akhirnya menangkap belasan anggota FBR dan Forkabi dengan barang bukti golok, pisau, samurai, dan palu besar.
Fadloli merupakan figur sentral organisasi ini. Dia sempat masuk dalam kepengurusan Partai Demokrasi Indonesia pimpinan Soerjadi. Menjelang Pemilu 2004, Fadloli ikut membidani lahirnya Aliansi Penyelamat Indonesia bersama sejumlah tokoh politik dan bekas petinggi polisi. Sejumlah deklarator aliansi ini akhirnya menjadi anggota tim sukses pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid.
Dia juga memiliki hubungan baik dengan keluarga bekas presiden Soeharto. Pondok pesantrennya di kawasan Pondok Kopi, Jakarta Timur, mendapat sumbangan khusus dari keluarga Soeharto, dua tahun lalu. Untuk mengabadikannya, salah satu ruangan di pesantren putri itu diberinya nama Ruang Tien Soeharto.
Sekjen FBR, Lutfi Hakim, mengakui adanya sumbangan dari keluarga Soeharto melalui Siti Hardijanti Indra Rukmana bagi pembangunan pesantren mereka. ”Bantuan itu untuk pembebasan tanah dan pembangunan lantai satu,” katanya. Tapi, selama setahun terakhir, FBR telah membuka perusahaan sebagai sumber dana. Perusahaan itu bergerak di bidang konsultan, kontraktor, dan jasa pengamanan.
Kini aktivis FBR sering mengatakan kegiatan organisasi ini dibiayai oleh anggotanya sendiri. Hal ini juga dituturkan oleh Aris, anggota FBR di Cakung, Jakarta Timur. Menurut dia, organisasinya punya kekuatan memasukkan anggotanya agar diterima bekerja di sebuah perusahaan. ”Pokoknya, aset yang ada di Jakarta, idealnya untuk orang Betawi,” kata Aris.
Kelompok lain yang disebut-sebut pemerintah adalah FPI. Agak berbeda dengan FBR yang keanggotaannya berdasar kelompok etnis, FPI bermula dari kelompok pengajian majelis taklim. Tokoh sentralnya Habib Muhammad Rizieq bin Hussein Shihab. Rizieq menggagas FPI delapan tahun lalu saat kondisi politik sedang memanas. Kelompok ini terbentuk untuk menyaingi berbagai aksi unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa. Setelah kondisi politik mulai stabil, FPI lebih banyak bergerak dalam perjuangan moral agama. Mereka menentang berbagai tempat hiburan malam yang menyediakan minuman keras.
FPI, yang mengaku punya wakil di 25 provinsi, sedang berseteru dengan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Pertikaian ini berawal dari acara diskusi lintas agama di Purwakarta, Jawa Barat, akhir bulan lalu. Gus Dur, yang hadir di sana sebagai pembicara, sempat menuding organisasi-organisasi Islam yang mendukung Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi disokong oleh sejumlah jenderal. Perdebatan antara Gus Dur dan kalangan FPI pun memanas sampai akhirnya bekas presiden ini turun dari forum diskusi.
Sejak runtuhnya pemerintahan Soeharto dan melemahnya peran TNI dan polisi, organisasi serupa juga tumbuh subur di berbagai daerah. Di Bandung, Jawa Barat, misalnya, muncul Gabungan Inisiatif Barisan Anak Siliwangi (GIBAS). Kelompok yang mengklaim memiliki anggota tiga juta orang ini diketuai Suhaya Jati Prakarsa.
Akhir bulan lalu beberapa organisasi wanita menggelar diskusi ”Menggugah Nurani Menggapai Rekonsiliasi Memperkuat NKRI” di Bandung. Saat acara masih berlangsung, anggota GIBAS datang dan membubarkan acara tersebut. Peserta seminar yang ketakutan akhirnya bubar. Seminar itu disatroni karena dianggap tempat pertemuan untuk membangkitkan lagi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Bagi Suhaya, gaya keras yang diterapkan GIBAS memang menjadi gaya organisasi yang dipimpinnya. ”GIBAS memang begitu. Tapi kerasnya kan positif,” katanya. Lewat organisasi yang baru berusia enam tahun ini anggotanya bisa disalurkan untuk mendapat pekerjaan, antara lain jadi petugas keamanan.
Organisasi seperti FPI, FBR, dan GIBAS umumnya menolak jika disebut sering bertindak anarkistis sehingga harus dibubarkan oleh pemerintah. Ketua FPI, Habib Rizieq, malah meminta pemerintah bersikap serupa terhadap organisasi sosial-politik yang juga melakukan tindakan anarkistis. ”Siapa yang menghancurkan dan membakar kantor Bupati Tuban? Siapa yang menyerang kantor Jawa Pos? Itu semua kan pengikut organisasi sosial-politik!” katanya dengan nada tinggi.
Disinggung soal hubungan dekatnya dengan sejumlah jenderal, Rizieq meminta bukti. Menurut dia, Gus Dur juga harus bisa membuktikan tudingannya bahwa FPI diongkosi tokoh militer. ”Kalau dia tidak ada bukti, berarti itu pembicaraan sampah,” katanya.
Agung Rulianto, Badriah, Evy Flamboyan, Siswanto (Bekasi), dan Rana Akbari (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo