SUARANYA yang menggelora memang tidak terdengar lagi. Tapi
kehadirannya kembali terasa, hampir satu windu setelah ia
meninggal. Duabelas tahun yang lalu orang seakan berlomba
mengecamnya. Kini, hampir tiap hari koran-koran memberitakannya
-- banyak di antaranya dengan nada memuji. Bung Karno populer
kembali? "Dari dulu Bung Karno tetap populer. Hanya kalau dulu
yang populer jeleknya, sekarang yang populer baiknya," kata
Guntur Sukarno, anak sulung almarhum, pekan lalu.
Paling tidak, popularius itu dibukti kan oleh orang kecil
Jurnalis Harahap (38 tahun). Dia mengaku sejak Januari yang lalu
telah berhasil menjual gambar Bung Karno ukuran 50 x 60 cm tanpa
bingkai sebanyak 3000 lembar. Naluri dagang jebolan SMA Negeri
Medan ini rupanya boleh juga. Begitu membaca berita adanya
rencana memugar makam Bung Karno, ia lalu mengumpulkan gambar
Bung Karno dari tukang-tukang loak. Lalu digelarnya dagangannya
ini di sudut Lapangan Banteng. Harga gambar Bung Karno per
lembar Rp 2.750. Tapi kalau pembeli pintar menawar, Rp 500 pun
oke.
Jurnalis rupanya tidak sendirian. Di pusat penjualan buku bekas
seperti sepanjang jalan Kramat Raya, buku-buku karya Bung Karno
seperti Di Bawah Bendera Revolusi banyak digelarkan dan dibeli
orang. Buku tulisan Guntur: Bung Karno, Bapakku, Kawanku, Guruku
bahkan menurut Guntur si penulis "habis terjual". (lihat Buku).
Mungkin karena tahu hukum penawaran dan permintaan, Guntur
merencanakan untuk menerbitkan seri buku tentang Bung Karno. Di
samping tulisannya sendiri, juga tulisan Ny. Fatmawati (Catatan
Kecil Bersama Bung Karno), Rachmawati Sukarno (Hari-hari
Terakhir Bapak) dan kumpulan sajak Sukmawati Sukarno (Kalbu
Patriot). "Semua itu untuk menjelaskan pada masyarakat bagaimana
sebenarnya manusia Sukarno, baik dan jeleknya," kata Guntur.
Mengapa Bung Karno belakangan ini begitu menarik perhatian.
Mungkin, orang sedang mencari tokoh yang menonjol pribadinya di
antara tokoh-tokoh lain yangsudah "rutin". Hasil penelitian
Sarlito Wirawan, yang dijadikannya thesis untuk memperoleh gelar
Doctor dalam ilmu Psikologi bulan April yang lalu memperkuat
dugaan ini. Dari 1490 mahasiswa berbagai perguruan tinggi di
seluruh Indonesia yang ditanyai tokoh ideal mereka, sekitar 70%
memilih tokoh yang sudah meninggal. Bung Karno menempati urutan
pertama dengan jumlah pemilih 13,89%. Tokoh-tokoh yang sudah
meninggal yang juga terpilih antara lain: J.F Kennedy (13,29%),
Nabi Muhammad s.a.w. (7,85%), Mahatma Gandhi (2,95%), Kartini
(2,48%), K.H. Dewantoro (2,21%) dan Napoleon Bonaparte (2,01%).
Apa yang membuat mereka-mereka ini mengagumi Bung Karno? Sigit
Edi Sutomo (21 tahun) mengaguminya karena sebagai pemimpin,
pengetahuan Bung Karno luas sekali dan pintar menyusun gagasan
yang orisinil seperti Nasakom dan Nefo. "Tulisan-tulisan Bung
Karno nasionalismenya kuat, cinta tanah airnya sangat tinggi dan
mampu menggelorakan semangat kita," kata mahasiswa fakultas
Psikologi UI itu pada TEMPO pekan lalu. Ia mengagumi Bung Karno
dari tulisan-tulisannya yang dibacanya dari buku-buku ayahnya,
yang sempat "diselamatkannya" dari pemusnahan secara
sembunyi-sembunyi di waktu ia masih sekolah dasar dulu.
Arsani (26 tahun), mahasiswa fakultas Ilmu Sosial UI, punya
pendapat yang serupa. "Bung Karno bisa merubah dunia yang
tergabung dalam Nefo, padahal waktu itu bangsa kita masih muda."
Ia juga mengenal Bung Karno dari kararigan-karangannya. Yang
tidak bisa diterimanya dari Bung Karno ialah caranya
menyingkirkan lawan-lawan politiknya -- dan isterinya yang
banyak.
Berbagai alasan lain bisa dikemukakan mengapa tokoh Bung Karno
kembali muncul dan populer. Mungkin bandul jam yang tadinya
tergeser ke sebelah sana sekarang mulai bergerak ke tengah. Ada
pula yang berpendapat bahwa sebagai tokoh yang berpengaruh besar
dalam sejarah Indonesia, mungkin ia bisa tenggelam sementara,
tapi setelah melalui proses waktu ia akan timbul kembali untuk
menempati tempat yang semustinya dalam sejarah Indonesia.
Setelah lebih dari satu dasa warsa, bisa pula emosi akan
mendingin, akal sehat akan kembali atau pun orang juga akan
lebih gampang memaafkan suatu kesalahan. Dan mungkin juga
gagasan dan teori-teori politiknya kembali dianggap relevan.
Yang mula-mula menggugah perhatian umum adalah pernyataan Letjen
Ali Murtopo, waktu itu masih Waka Bakin, pada HUT PDI ke V di
Sala tanggal 24 Januari 1978. Ia mengungkapkan bahwa Pak Harto,
baik sebagai pribadi maupun sebagai Presiden, telah memutuskan
untuk memugar makam Bung Karno di Blitar. Beberapa minggu
sebelumnya, niat Pak Harto itu disampaikan secara resmi pada
keluarga Bung Karno, disertai penjelasan dan denah rencana makam
setelah dipugar. Alasan pemugaran ialah mengingat jasa-jasa Bung
Karno terutama sebagai proklamator.
Rencana pemugaran inilah yang kemudian "menghangatkan" suasana.
Rencana ini menghidupkan lagi isyu "Amanat" atau 'sSurat Wasiat
Bung Karno". Susahnya Bung Karno sudah lama dimakamkan diBlitar,
sedang wasiat Bung Karno ternyata tidak hanya satu dan isinya
tidak sama.
Dalam keluarga Bung Karno sendiri terdapat perbedaan pendapat
antara "keluarga Blitar" yang terdiri dari Ny. Wardoyo (kakak
kandung Bung Karno) dengan "keluarga Jakarta" yang terdiri dari
8 putera-puteri kandung dan para janda almarhum Ny Wardoyo
sepenuhnya setuju dengan rencana pemugaran. Sedang Guntur dan
adik-adiknya setuju dengan rencana pemugaran, tapi mengemukakan
juga bahwa almarhum sebetulnya sudah membuat rencana bagi
dirinya sendiri yang dipesankan pada semua ahli waris (TEMPO, 29
April 1978).
Seorang pejabat tinggl pemerintah kepada TEMPO menjelaskan:
surat Guntur pada Pak Harto menyatakan bahwa kalau pihak
keluarga ditanya apakah mereka setuju dengan rencana pemugaran,
mereka akan keberatan. Tapi kalau Pak Harto dan pemerintah
menganggap Bung Karno sebagai proklamator dan sudah memutuskan
untuk memugar makamnya, mereka tidak akan, menghalang-halangi.
Rencananya, pemugaran ini akan dimulai 21 J uni 1978 tepat pada
hari wafat Bung Karno. Pangdam VIII Brawijaya, Gubernur Jawa
Timur dan Bupati Blitar telah ditunjuk sebagai pelaksana
pemugaran ini. Hanya akan ada 3 makam di kompleks pemakaman ini.
Makam Bung Karno di tengah, diapit makam ayah ibunya. 226 makam
pahlawan yang semula ada di kompleks ini sekarang sudah selesai
dipindah ke tempat baru di TMP Raden Wijaya. Makam R.S. Puguh,
keponakan Bung Karno, yang sekarang terletak di samping makam
Bung Karno 9 Juni ini, akan dipindah ke TMP Kalibata, Jakarta.
Sedang makam Sukemi Sastrodihardjo, ayah Bung Karno, yang
sekarang ada di pemakaman Karet, Jakarta, akan dipindah ke
Blitar. Mengapa makam keponakan dipindah sedang makam ayah
didekatkan?
"Karena itu adalah makam, proklamator, bukan makam keluarga. Pak
Harto berpendapat bahwa proklamator Bung Karno ada karena
dilahirkan oleh kedua orang tuanya. Lagipula Bung Karno dikenal
sebagai orang yang sangat mencintai ibunya," pejabat tinggi
pemerintah yang sama menjelaskan pada TEMPO. Ia juga menjelaskan
bahwa Pak Harto tidak mau gegabah dalam soal pemugaran makam
ini. "Kalau misalnya Guntur cs bilang tidak, tentu Pak Harto
tidak akan meneruskan rencana ini," ujarnya pula.
Asal mula dari semua masalah ini adalah dimakamkannya Bung Karno
di Blitar. Mengapa dipilih Blitar? Suatu sumber TEMPO
menjelaskan bahwa mengingat situasi politik tahun 1970 jelas
pemerintah tidak akan mengijinkan ung Karno dimakamkan di
Jakarta atau sekitarnya. Karena akan menimbulkan "komplikasi
politik". "Bung Karno jelas tidak bisa dimakamkan di makam
Pahlawan karena menurut persyaratan yang ada, hanya mereka yang
bergerilya terus-menerus atau yang mempunyai Bintang Gerilya
yang bisa." Sedang Bung Karno, di samping tidak pernah
bergerilya, juga pernah tertangkap Belanda. Seorang jenderal pun
bila ia pernah berpihak atau tertangkap Belanda, lepas dari
sebab mengapa sampai tertangkap, tidak mungkin bisa dimakamkan
di makam Pahlawan. Sedang seorang sipil seperti Ratmi B-29,
karena memiliki Bintang Gerilya, bisa dimakamkan di makam
Pahlawan.
Karena itu, Presiden Soeharto setelah mengadakan pertemuan
dengan anggota kabinet, pimpinan MPRS, pimpinan DP RGR dan
pimpinan partai-partai, mengeluarkan Keputusan Presiden RI no.
44 tahun 1970 tanggal 21 Juni 1970. Antara lain ditetapkan bahwa
Dr. ir. Sukarno sebagai Proklamator Kemerdekaan Negara RI
dimakamkan di Blitar di samping makam ibunya.
Tapi mengapa kemudian Bung Karno ternyata dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan? "Soalnya waktu itu kita tidak tahu bahwa
ternyata ibunda Bung Karno dimakamka di makam Pahlawan," sumber
TEMPO menjelaskan.
Pemugaran makam direncanakan bisa selesai dalam satu tahun,
hingga bisa diresmikan 21 Juni 1979. Selama pemugaran kabarnya
makam ini tidak bisa diiarahi karena dikhawatirkan akan
mengganggu pemugaran. Makam kedua orang tua Bung Karno akan
dikijing, sedang makam Bung Karno hanya akan diberi batu yang
bertuliskan kata-kata yang diminta almarhum. Di sekeliling makam
akan diberi lantai batu marmar. Akan dibangun juga sebuah
musholla dan sebuah paseban dalam kompleks ini, di samping
ditanam pohon-pohon yang rindang serta aliran air (buatan yang
gemercik, yang kabarnya diminta almarhum dalam wasiatnya.
Perkara wasiat itu sendiri cukup kisruh sebenarnya. Yang
terakhir menyangkut rencana PT Gunung Agung untuk menerbitkan
buku dengan judul Wasiat Bung Karno yang akan diedarkan mulai 6
Juni, hari kelahiran Bung Karno. Iklan buku yang berisi sebagian
dari surat wasiat Bung Karno itu telah dimuat di banyak
suratkabar beberapa minggu sebelumnya.
Rencana penerbitan buku ini ternyata sempat dibicarakan dalam
sidang Dewan Stabilisasi Polkam pekan lalu. Dibacakan juga dalam
sidang itu surat Guntur Sukarno, mewakili keluarga, yang
menyatakan keberatan atas rencana penerbitan buku itu.
TANGGAL 20 April yang lalu memang Masagung mengirim surat.
Isinya meminta saran saya untuk rencananya menerbitkan buku
Wasiat Bung Karno," Guntur menjelaskan. Surat Masagung yang
tembusannya juga ditujukan pada Ny. Hartini dan Ny. Dewi itu
menjelaskan juga rencana Masagung untuk menerbitkan buku kedua
yang berjudul Cita-cita Masagung. (Kemudian diubah menjadi
Imajinasi Menjadi Cita-cita). Rencana isinya usul Masagung
semoga tempat yang ditunjuk Bung Karno untuk pemakamannya juga
diperuntukkan bagi Dwitunggal dan keluarganya.
Begitu menerima surat, Guntur segera berunding dengan semua
keluarga, pengacara Tjiam Djoe Kiam dan juga meminta nasehat
Bung Hatta. Hasilnya, Guntur mengirim surat pada Masagung bahwa
keluarga Bung Karno belum bisa setuju rencana penerbitan buku
itu. Alasannya: "Kurang pada tempatnyalah masalah-masalah yang
bersifat keluarga diutarakan pihak-pihak yang tidak kompeten,"
kata Guntur.
Kamis pekan lalu Kejaksaan Agung mengeluarkan keputusan melarang
beredarnya buku Wasiat Bung Karno. "Buku itu melihat isinya akan
menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat yang akhirnya
menimbulkan keresahan," kata Jaksa Agung Ali Said. Mencetak buku
memang tidak perlu ijin, tapi pengedarannya perlu ijin. "Yang
menjadi masalah," tutur Ali Said, "bagaimana dokumen-dokumen
yang tersimpan di Balai Harta Peninggalan bisa jatuh ke tangan
yang tidak berhak."
"Tidak benar Balai Harta Peninggalan (BHP) membocorkan surat
wasiat Bung Karno. BHP tidak menyimpan surat wasiat tersebut,"
kata J.R. Soekandar, ketua BHP pekan lalu. Menurut Soekandar,
berdasarkan ketentuan perundang-undanan yan boleh menyimpan
surat wasiat hanya notaris. BHP hanya mendaftarkan dan
mencatatnya saja.
Menurut Soeroto, Sekretaris BHP, surat wasiat yang tercatat oleh
BHP hanya satu, yaitu surat wasiat untuk Ny. Dewi yang isinya
persis sebagaimana yang akan dimuat dalam buku Wasiat Bung Karno
(lihat: Sebuah Buku yang Gagal). Surat wasiat ini dibuka notaris
di BHP tahun 1970 dan dibuatkan berita acaranya.
Syahdan, setelah Bung Karno meninggal, Guntur datang ke Tjiam
Djoe Kiam. Berdua mereka pergi ke BHP untuk menanyakan apakah
ada testamen untuk keluarga Bung Karno. Ternyata ada satu. Tjiam
meminjam dan memfotokopi kemudian mengembalikan aslinya.
Fotokopi diserahkannya pada Guntur.
"Testamen itu sebetulnya bukan testamen. Tapi itu codicil yang
isinya tidak mengenai harta peninggalan," kata Tjiam. Sebab
harta peninggalan dibagi menurut hukum adat. Tanggal 10 Mei yang
lalu memang Guntur menemuinya, memberitahu ada yang mau
menerbitkan surat wasiat Bung Karno. Tjiam menjelaskan bahwa
surat wasiat itu bukan untuk umum, hanya untuk keluarga. Itu
juga bukan testamen dari Sukarno sebagai Presiden, tapi dari
pribadi Bung Karno. Kalau penerbit yang mau menerbitkannya tidak
minta ijin, ahli warisnya bisa menuntut.
Bagaimana pelaksanaan testamen Bung Karno untuk Ny. Dewi?
Menurut Tjiam itu tergantung pada Ny. Dewi. Tjiam menolak untuk
menjawab apakah testamen Bung Karno untuk Ny. Dewi itu sah atau
tidak. Beberapa ahli hukum lain juga agak ragu-ragu untuk
menjawab. Adnan Buyung Nasution mengatakan surat wasiat Bung
Karno ini "unik" karena tidak menyangkut harta benda, tapi
menyangkut tempat pemakaman, jadi menyangkut moral. Dengan
demikian berlaku tidaknya surat wasiat ini tergantung kepada
yang diberi amanat, apakah akan menerima keputusan pemberi
wasiat atau tidak. Sepanjang pengetahuan Buyung, belum ada
jurisprudensi kasus ini, sehingga sah atau tidaknya surat wasiat
Bung Karno sulit untuk dijawab.
Bagaimana tentang surat wasiat untuk Ny. Hartini? "Pada suatu
sore ketika saya masih tinggal di pavilyun Istana Bogor, Bapak
memberikan selembar surat kepada saya. Di atasnya ada tulisan
'surat wasiat'. Saya tercengang dan bertanya: 'Ini apa-apaan sih
mas?" Bapak tidak menjawab panjang dan cuma berkata: 'Tidak
apa-apa. Itu karena ik houd veen van jouw' Surat itu kemudian
saya simpan. Saya tidak tanya apakah isteri yang lain mendapat
surat yang sama. Besoknya, hari Senin, seperti biasa Bapak terus
ke Jakarta," kata Ny. Hartini pada TEMPO pekan lalu. Lalu
bagaimana Masagung bisa memperoleh surat itu?
"Ketika Bapak meninggal, Masagung datang pada saya dan minta
salinan surat itu. Saya berikan tanpa rasa curiga. Juga karena
perusahaan penerbit dialah yang akan menerbitkan memoar saya.
Dan saya tidak menyangka surat itu akan diterbitkan dalam
bukunya yang baru."
Bagaimana yang untuk Dewi? Ditemui koresponden TEMPO di rumahnya
di Avenue Montaigne pekan lalu, Ny. Dewi didampingi puterinya
Kartika. Juga putera Bung Karno dari Ny. Fatmawati, Guruh, yang
kebetulan ada di Paris. Dewi membenarkan bahwa dia pernah
menerima testamen dari Bung Karno. Testamen ini malahan sudah
direproduksi dalam buku Den Vaderland Getrouwe yang ditulis
wartawan Belanda Willem L. Oltmans.
"Saya tidak tahu apa yang telah diamanatkan pada ibu Fat dan
yang lainnya. Di dalam testamen untuk saya memang tidak
disebutkan suatu tempat. Tapi menurut berbagai pernyataannya di
dalam pidato, otobiografi, percakapan dan sebagainya, Bapak
memang ingin dikuburkan di daerah Priangan, di mana Bapak pernah
bertemu dengan petani Marhaen yang sangat menggugah jiwanya,"
kata Ny. Dewi. Dikatakannya bahwa ia sendiri belum pernah
menerima pemberitahuan secara resmi mengenai rencana pemerintah
untuk memugar makam Bung Karno. Menunjukkan sikap kurang setuju
kepada pemugaran di Blitar, Dewi mengutarakan niatnya untuk
mengunjungi Indonesia Agustus atau September tahun ini. Dalam
hal tidak setuju ia sama dengan Guruh yang baru naik haji itu,
tapi Dewipun sadar bahwa tak banyak yang bisa dilakukannya.
Mungkin soalnya bisa lebih nampak positif bila Dewi melihat
masalah Bung Karno kini tanpa disertai amarah: bahwa akhirnya
bangsa Indonesia mulai menilai bekas pemimpin besarnya kembali,
praktis tanpa niat menjilat atau memaki-maki.
Senin pagi pekan lalu Menteri Sosial Sapardjo turut "meramaikan"
suasana dengan mengatakan bahwa penetapan Presiden pertama RI
Sukarno sebagai pahlawan nasional masih dalam proses. Tidak ada
kesulitan dalam proses itu. Diisyaratkannya bahwa ketetapan yang
harus ditandatangani Presiden itu bisa selesai dalam tahun ini
juga.
Ucapan Mensos ini segera mendapat banyak sambutan. Sebagian
besar menyambutnya dengan gembira sebagai suatu keputusan yang
selayaknya. Bung Karno direhabilitir? "Bukan", bantah seorang
pejabat tinggi. "Rehabilitasi itu kan kalau sudah ada capnya.
Sedang Bung Karno belum pernah resmi dicap salah."
Ternyata kemudian Mensos Sapardjo hanya "terlanjur" ketika
mengatakan bahwa penetapan Bung Karno sebagai Pahlawan Nasional
sedang dalam proses. Menurut suatu sumber, dalam sidang Dewan
Stabilisasi Politik dan Keamanan Rabu pekan lalu, Presiden --
sebagai orang yang harus menandatangani ketetapan itu
--mengatakan bahwa dia sendiri belum pernah mendengar rencana
itu sebelumnya. Presiden berpendapat bahwa proklamator lebih
tinggi dan lebih berharga daripada pahlawan nasional.
Menteri Penerangan Ali Murtopo Kamis esoknya mengembangkan sikap
Presiden itu dengan mengatakan: "Saya tidak rela Bung Karno
hanya dianggap sebagai pahlawan nasional." Tentang pengertian
proklamator, Ali Murtopo menjelaskan bahwa di samping sebagai
pahlawan, ia juga seorang yang berhasil memproklamasikan
kemerdekaan bangsanya, sehingga tingkatnya lebih tinggi. "Di
Indonesia hanya ada dua proklamator, Bung Karno dan Bung Hatta.
Sedang pahlawan nasional jumlahnya ratusan ribu," ujarnya.
Mungkin yang dimaksud Ali Murtopo ialah mereka yang dimakamkan
di berpuluh-puluh makam pahlawan di Indonesia. Menurut catatan
Departemen Sosial, yang bertugas menangani masalah ini, gelar
resmi "pahlawan nasional" sampai saat ini hanya dimiliki 87
orang. Menurut Mensos Sapardjo kepada TEMPO, khusus mengenai
kasus Bung Karno ini bukan urusan departemennya, tapi menjadi
tugas dari Menpen sebagai project officer. Secara pribadi ia
cocok dengan pendapat bahwa proklamator lebih tinggi dari
pahlawan nasional. Dengan alasan agar masalahnya tidak jadi
lebih semrawut dan simpang siur, ia meminta agar pertanyaan
mengenai Bung Karno ditanyakan saja langsung pada Menpen.
Yang tak akan simpang siur agaknya ialah kenyataan ini sendiri:
bahwa peran Bung Karno sebagai proklamator, penggali Pancasila,
dan pemersatu bangsa tak akan mudah terhapus -- walaupun yang
berkuasa bisa berubah tokoh atau pendapatnya.
Dan kini agaknya tahap sejarah untuk menilai dan "mengadili"
Sukarno sudah mulai. Mungkin ia sendiri menyadari sepenuhnya hal
ini ketika di awal 1967, di saat kejatuhannya dari dunia politik
sudah jelas, ia memutuskan untuk diam. Akhir Januari itu,
dipanggilnya seorang "gurunya" untuk mengembalikan semacam "ilmu
selamat" yang bertahun-tahun telah dimilikinya. Ia mengembalikan
juga keris kecil yang konon selalu dibawanya ke mana-mana. Waktu
ditanya apa alasan keputusannya itu, Bung Karno menjawab:
"Sudahlah, mulai sekarang aku akap berdiam diri." Dan ketika
diminta satu kenang-kenangan daripadanya, di atas sehelai kain
putih ditulisnya kata-kata: "Pertahankan Revolusi di atas relnya
yang asli."
Revolusi memang sesuatu yang selalu menjiwai kalbu semangatnya
sejak ia masih seorang pemuda yang ingin membebaskan bangsanya
dari belenggu penjajahan. Bangsanya kemudian bebas, tapi ia
bukan seorang yang bebas di saat-saat terakhirnya. "Tapi ada
satu keyakinan dan keinginannya waktu itu. Bapak percaya bahwa
pada suatu waktu akan dibebaskan. Tidak jadi Presiden lagi,
tidak mau campur urusan politik, dan bisa disamakan seperti
lurah dongkol (bekas lurah) kalau di desa. Ia akan jadi tempat
orang minta advis tentang politik, tentang kenegaraan. Dia juga
ingin sekali bisa menerima tamu-tamu yang dia senangi," kata Ny.
Hartini.
Apa yang diinginkannya itu ternyata tidak terkabul. Memang tidak
semua keinginan manusia dalam hidupnya bisa terlaksana. Jangan
dibuat monumen yang menggemparkan buatku, tulisnya dalam
otobiografinya. Tapi mungkin sudah tersurat dalam nasib seorang
besar seperti dia: menggemparkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini