Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Pergerakan Di Indonesia

Pergerakan rakyat yang dibarengi dengan protes sosial terjadi sejak peristiwa banten th 1888 hingga th 1920-an. Tokoh yang populer misalnya: Soekarno, Tjokroaminoto, dan Diponegoro.

3 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANDUNG, 1926 Sukarno, beberapa saat sebelum ia lulus dalam usia 25 dari Technische Hoogeschool (kini: ITB), mendirikan sebuah kelompok diskusi. Algemeene Studieclub. Dari sinilah ia mulai memasak dan menyajikan fikiran-fikirannya, terutama melalui penerbitan Indonesia Muda. Dari sinilah, melalui gaya bahasanya yang memikat, dengan dasar bacaan yang luas serta sentuhan yang tajam, Bung Karno tampil. Sebenarnya pemuda Sukarno bukan seorang yang luar biasa di zamannya. Bahkan ia agak "terlambat" memasuki kegiatan politik secara aktif, jika dibandingkan dengan sementara pemuda lain. Semaun misalnya dalam usia 16 sudah jadi sekretaris cabang Sarekat Islam di Surabaya. Tan Malaka bergerak di awal usia 20-an, sehingga sebelum 30 tahun ia sudah dibuang ke Holland. Hatta dalam usia 23 sudah jadi Ketua Perhimpunan Mahasiswa di Negeri Belanda. Tapi kita toh tetap tidak bisa mengatakan bahwa Bung Karno waktu itu sudah keliwat tua. Meskipun sementara itu kita juga tak bisa menilai dia -- bersama pejoang lain yang belum berumur 30 -- masih "mentah". Generasi itu sajalah generasi yang mengagumkan, bukan saja karena terpelajar, tapi juga karena bisa memilih jalan hidup yang tak mudah -- ketika mereka sebenarnya bisa diam dan hidup enak jadi pegawai pemerintah. Zaman itu memang zaman yang menggelisahkan. Terutama bagi orang-orang tua. Para priyayi kecil ini telah berkorban begitu banyak untuk menyekolahkan anak mereka, agar dapat posisi penting di gubernemen. Tapi para anak itu ternyata hanya keranjingan oleh perjuangan, dan terbakar oleh amarah. Lulus dari pendidikan yang sebanding dengan bangsa kulit putih, mereka jadi kian peka oleh ketidak-adilan yang diberlakukan terhadap diri mereka sebagai bagian dari bangsa terjajah yang, menurut orang Belanda, mirip kerbau. Dan begitulah mereka menceburkan diri, penuh-penuh, ke dalam "pergerakan". Hanya kadang-kadang saja mereka surut. Ternyata memang tak terelakkan. Indonesia di pertengahan kedua tahun 20-an itu memang bergolak sudah. Bukan karena digolakkan oleh orang-orang muda dalam grup studi seperti Algemeene Studieclub. Bukan karena satu persekongkolan cendekiawan. Tapi zaman memang menimbulkan demam. Sukarno hanyalah satu gejala, biarpun ternyata ia bisa lebih dari sekedar nomor dalam lis kaum pembangkang. Ia pun bukan pemula. Lihatlah riwayatnya. Pada umurnya yang ke-15, ketika ia indekos di rumah tokoh pergerakan H.O.S. Tjokroaminoto, Sarekat Islam sudah berumur 4 tahun. Dan sedang pesat tumbuh. Organisasi ini menjangkau massa di kota kecil sampai dengan desa-desa. Di pelosok itu, di mana rakyat miskin dan terjepit, S.I. bisa menampung arus yang sejak dulu belum juga hilang: kekuatan yang pernah meledakkan pemberontakan-pemberontakan petani di abad yang silam. Agaknya J.D. Legge benar ketika dalam Sukarno: A Political Biography (1972) ia menyimpulkan tentang S.I. ini: "Ia memberi jawab kepada kebutuhan para petani, tak teramat berbeda dengan yang 100 tahun sebelumnya diberikan oleh Diponegoro, atau oleh pemberontakan petani Banten di tahun 1888 .... " Pada usia Bung Karno yang ke-25, Sarekat Islam pecah, menjadi yang membawa bendera "Islam" dengan yang mengibarkan bendera "Marxis". Perpecahan itu memang memasgulkan seorang seperti Sukarno, yang dibesarkan justru dalam suasana membubung ketika kedua sayap itu masih berkaitan. Dan tulisannya yang termasuk awal dalam Indonesia Muda, "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme" menunjukkan ikhtiarnya menghubungkan kedua arus pergerakan itu kembali. Mungkin ia keliru. Tapi persepsinya belum tentu meleset, dan jelas cita-citanya berharga. Dalam suasana seperti di masa itu, kalangan rakyat yang cenderung berwarna "Islam" dan yang responsif terhadap warna "Marxis", memang bisa bersemangat protes yang sama. Bukan cuma karena ismenya bukan karena Tjokroaminoto -- tapi karena kenyataan sosial. Selama kenyataan itu belum berubah, amarah yang sama cenderung kembali. Diponegoro atau Bung Karno dalam hal itu hanyalah pertanda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus