MASAGUNG, Direktur Utarna PT Gunung Agung, boleh dikatakan
pengusaha yang lihay. Begitu Bung Karno meninggal, ia segera
berusaha memperoleh -- dan berhasil -- surat wasiat sung Karno
yang asli atau fotocopynya. Rencana pemugaran makam Bung Karno,
yang membangkitkan kembali perhatian pada proklamator ini,
dipandangnya saat yang tepat untuk Inenerbitkan buku Wasiat Bung
Karno ini. Bahkan dalam buku ini ia mengaku sebagai orang yang
"mendapat kepercayaan dan kehormatan menyimpan surat wasiat."
Wasiat Bung Karno (136 halaman) disusun dan diberi komentar oleh
Gayus Siagian berdasarkan bahan-bahan dari Masagung yang juga
memegang hak cipta dan bertanggungjawab atas buku ini.
Buku ini memuat 4 surat amanat dan testamen Bung Karno (tanpa
kesaksian notaris) tentang kalau beliau meninggal. Yang pertama,
yang disebut "amanat" tanggal 20 Maret 1961. Isinya (ejaan
lama): "Djikalau saja meninggal dunia lebih dahulu dari Naoko
Nemoto, maka djika ia meninggal dunia -- kemudian -- saja harap
djenazahnja dikuburkan disebelah kuburan saja." Di bawah amanat
ini kemudian ada amanat yang sama dalam bahasa Inggeris.
Tahun berikutnya, di hari ulang tahun Bung Karno 6 Juni 1962,
ada lagi sebuah testamen. "Kalau aku mati, kuburlah aku dibawah
pohon jang rindang. Aku mempunjai isteri, jang aku tjintai
dengan segenap djiwaku. Namanja Ratna Sari Dewi. Kalau ia
meninggal, kuburlah ia dalam kuburku. Aku menghendaki ia selalu
bersama aku."
Kemudian keluar sebuah "amanat" tertanggal 16 September 1964.
Antara lain berbunyi: "kuburlah djenazahku dibawah pohon jang
rindang. Dan saja menghendaki, supaja kelak djenazah isteri saja
Hartini dikuburkan berdampingan dengan djenazahku. Artinja:
supaja kuburan kami berdua, Hartini dan saja, berdampingan satu
sama lain. " Surat wasiat berikutnya tertanggal 24 Mei 1965.
Tetap ingin berdampingan dengan Hartini. "Tempat kuburan bersama
itu telah saja tentukan, jaitu di Kebun Raja Bogor dekat bekas
kolam pemandian jang membukit."
Mengapa Masagung begitu "repot" dengan makam Bung Karno? Dalam
Wasiat Bung Karno tersembullah sebab-sebabnya. Tanggal 20 April
1976, Ny. Sukarmini Wardoyo -- kakak kandung Bung Karno --
menulis surat jawaban pada Masagung. Dia menyetujui makam Bung
Karno dipugar, "untuk diperbaiki oleh Yayasan Jalan Terang,"
yang ketua umumnya adalah Masagung sendiri. Rupanya Masagung
juga berusaha memperoleh ijin Presiden. Surat permohonannya
dijawab oleh Tjokropranolo yang waktu itu masih menjabat
Sekretaris Militer Presiden. Tertanggal 15 Mei 1976, jawaban itu
antara lain berbunyi: "sesuai dengan adat ketimuran, masalah
pemugaran/pemindahan makam adalah menjadi hak dari ahli waris
utama/putera-puteri almarhum sendiri."
Rupanya Masagung belum putus asa. Dikirimnya surat dan
ditemuinya sendiri Ratna Sari Dewi di Paris, 28 Januari 1978,
Dewi memberi ijin pada Masagung untuk bertindak sebagai wakil
dari Dewi dan Kartika "jika almarhum presiden akan dibicarakan".
Dewi pun minta, "sebelum sesuatu keputusan saya ingin anda minta
pendapat saya."
Wasiat Bung Karno sudah dicetak 10 ribu dari rencana 25 ribu
cetakan pertama, 5 ribu di antaranya menurut Masagung sudah
beredar. "Harus dikemanakan buku ini tentu Kejaksaan Agung
punya kebijaksanaan," kata Masagung Senin lalu. "Kebijaksanaan"
itu ternyata berupa penyitaan seluruh buku Wasiat Bung Karno
oleh pihak Kejaksaan. Diserukan juga pada semua pihak yang sudah
memilikinya untuk menyerahkan pada kantor kejaksaan setempat
untuk diteruskan ke Kejagung. Masagung sendiri kelihatan tidak
terpengaruh oleh larangan ini. Mungkin karena ia cukup
"berpengalaman' di bidang ini. Di tahun 1965 buku Bung Karno
Putera Fajar tulisan Solichin Salam yang sudah sdesai dicetak
oleh PT Gunung Agung juga urung diedarkan. Kabarnya satu lagi
buku tentang Ibnu Sutowo yang dipersiakan oleh O.G. Roeder juga
tidak jadi diterbitkan.
Senin lalu Masagung tampak muncul di Kejaksaan Agung. Pagi itu
ia diminta keterangannya, dari mana surat wasiat itu didapamya.
Ia baru kembali dari kunjungan ke Jawa Tengah selama seminggu di
mana ia "mengikuti dengan tenang berita tentang pelarangan buku
itu." Ia merasa tidak salah dalam caranya memperoleh dan
menerbitkan surat wasiat itu. "Apapun yang diterbitkan seorang
penerbit, meskipun itu namanya wasiat tidak perlu ijin dari
pemerintah atau Guntur. Lha kalau pakai ijin segala, dunia
penerbitan kita akan mundur lagi. Tapi sebagai sopan santun
Timur, kepada Guntur saya kasih tahu saya mau terbitkan buku
itu. Nah kalau belakangan Pemerintah melarang, ya saya turut,
kan Pemerintah kuasa," kata Masagung (51 tahun) dengan lemah
lembut.
Rencananya ia akan menerbitkan buku berikutnya. Judulnya:
Imajinasi Menjadi Cita-Citaa. Isinya bagaimana ia mendapat surat
wasiat itu dan banyak dokumen lain. Dalam Wasiat Bung Karno
disebutkannya juga bahwa dalam buku kedua itu akan diuraikan
juga tentang asal-usul Bung Karno. Menurut "teori" Masagung:
mungkin Bung Karno masih keturunan salah seoran Wali Sanga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini