Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sebuah Buku Yang Gagal

Masagung menerbitkan buku wasiat Bung Karno yang disusun dan diberi komentar oleh Gayus Siagian. Surat wasiat asli didapat setelah Bung Karno meninggal. Kejaksaan Agung melarang peredaran buku ini.(nas)

3 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASAGUNG, Direktur Utarna PT Gunung Agung, boleh dikatakan pengusaha yang lihay. Begitu Bung Karno meninggal, ia segera berusaha memperoleh -- dan berhasil -- surat wasiat sung Karno yang asli atau fotocopynya. Rencana pemugaran makam Bung Karno, yang membangkitkan kembali perhatian pada proklamator ini, dipandangnya saat yang tepat untuk Inenerbitkan buku Wasiat Bung Karno ini. Bahkan dalam buku ini ia mengaku sebagai orang yang "mendapat kepercayaan dan kehormatan menyimpan surat wasiat." Wasiat Bung Karno (136 halaman) disusun dan diberi komentar oleh Gayus Siagian berdasarkan bahan-bahan dari Masagung yang juga memegang hak cipta dan bertanggungjawab atas buku ini. Buku ini memuat 4 surat amanat dan testamen Bung Karno (tanpa kesaksian notaris) tentang kalau beliau meninggal. Yang pertama, yang disebut "amanat" tanggal 20 Maret 1961. Isinya (ejaan lama): "Djikalau saja meninggal dunia lebih dahulu dari Naoko Nemoto, maka djika ia meninggal dunia -- kemudian -- saja harap djenazahnja dikuburkan disebelah kuburan saja." Di bawah amanat ini kemudian ada amanat yang sama dalam bahasa Inggeris. Tahun berikutnya, di hari ulang tahun Bung Karno 6 Juni 1962, ada lagi sebuah testamen. "Kalau aku mati, kuburlah aku dibawah pohon jang rindang. Aku mempunjai isteri, jang aku tjintai dengan segenap djiwaku. Namanja Ratna Sari Dewi. Kalau ia meninggal, kuburlah ia dalam kuburku. Aku menghendaki ia selalu bersama aku." Kemudian keluar sebuah "amanat" tertanggal 16 September 1964. Antara lain berbunyi: "kuburlah djenazahku dibawah pohon jang rindang. Dan saja menghendaki, supaja kelak djenazah isteri saja Hartini dikuburkan berdampingan dengan djenazahku. Artinja: supaja kuburan kami berdua, Hartini dan saja, berdampingan satu sama lain. " Surat wasiat berikutnya tertanggal 24 Mei 1965. Tetap ingin berdampingan dengan Hartini. "Tempat kuburan bersama itu telah saja tentukan, jaitu di Kebun Raja Bogor dekat bekas kolam pemandian jang membukit." Mengapa Masagung begitu "repot" dengan makam Bung Karno? Dalam Wasiat Bung Karno tersembullah sebab-sebabnya. Tanggal 20 April 1976, Ny. Sukarmini Wardoyo -- kakak kandung Bung Karno -- menulis surat jawaban pada Masagung. Dia menyetujui makam Bung Karno dipugar, "untuk diperbaiki oleh Yayasan Jalan Terang," yang ketua umumnya adalah Masagung sendiri. Rupanya Masagung juga berusaha memperoleh ijin Presiden. Surat permohonannya dijawab oleh Tjokropranolo yang waktu itu masih menjabat Sekretaris Militer Presiden. Tertanggal 15 Mei 1976, jawaban itu antara lain berbunyi: "sesuai dengan adat ketimuran, masalah pemugaran/pemindahan makam adalah menjadi hak dari ahli waris utama/putera-puteri almarhum sendiri." Rupanya Masagung belum putus asa. Dikirimnya surat dan ditemuinya sendiri Ratna Sari Dewi di Paris, 28 Januari 1978, Dewi memberi ijin pada Masagung untuk bertindak sebagai wakil dari Dewi dan Kartika "jika almarhum presiden akan dibicarakan". Dewi pun minta, "sebelum sesuatu keputusan saya ingin anda minta pendapat saya." Wasiat Bung Karno sudah dicetak 10 ribu dari rencana 25 ribu cetakan pertama, 5 ribu di antaranya menurut Masagung sudah beredar. "Harus dikemanakan buku ini tentu Kejaksaan Agung punya kebijaksanaan," kata Masagung Senin lalu. "Kebijaksanaan" itu ternyata berupa penyitaan seluruh buku Wasiat Bung Karno oleh pihak Kejaksaan. Diserukan juga pada semua pihak yang sudah memilikinya untuk menyerahkan pada kantor kejaksaan setempat untuk diteruskan ke Kejagung. Masagung sendiri kelihatan tidak terpengaruh oleh larangan ini. Mungkin karena ia cukup "berpengalaman' di bidang ini. Di tahun 1965 buku Bung Karno Putera Fajar tulisan Solichin Salam yang sudah sdesai dicetak oleh PT Gunung Agung juga urung diedarkan. Kabarnya satu lagi buku tentang Ibnu Sutowo yang dipersiakan oleh O.G. Roeder juga tidak jadi diterbitkan. Senin lalu Masagung tampak muncul di Kejaksaan Agung. Pagi itu ia diminta keterangannya, dari mana surat wasiat itu didapamya. Ia baru kembali dari kunjungan ke Jawa Tengah selama seminggu di mana ia "mengikuti dengan tenang berita tentang pelarangan buku itu." Ia merasa tidak salah dalam caranya memperoleh dan menerbitkan surat wasiat itu. "Apapun yang diterbitkan seorang penerbit, meskipun itu namanya wasiat tidak perlu ijin dari pemerintah atau Guntur. Lha kalau pakai ijin segala, dunia penerbitan kita akan mundur lagi. Tapi sebagai sopan santun Timur, kepada Guntur saya kasih tahu saya mau terbitkan buku itu. Nah kalau belakangan Pemerintah melarang, ya saya turut, kan Pemerintah kuasa," kata Masagung (51 tahun) dengan lemah lembut. Rencananya ia akan menerbitkan buku berikutnya. Judulnya: Imajinasi Menjadi Cita-Citaa. Isinya bagaimana ia mendapat surat wasiat itu dan banyak dokumen lain. Dalam Wasiat Bung Karno disebutkannya juga bahwa dalam buku kedua itu akan diuraikan juga tentang asal-usul Bung Karno. Menurut "teori" Masagung: mungkin Bung Karno masih keturunan salah seoran Wali Sanga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus