SUKARNO adalah seorang revolusioner. Seperti setiap orang
revolusioner ataupun setiap orang yang ingin merubah
masyarakatnya, Sukarno pun memandang pada model. Dengan
sendirinya bagi Sukarno model itu adalah revolusi yang pernah
terjadi.
Revolusi yang terbesar terjadi dalam masa hidup Sukarno adalah
Revolusi Rusia di bawah Lenin. Tetapi rupanya revolusi ini tidak
demikian menjadi model bagi Sukarno. Entah mengapa. Mungkin
karena Hindia Belanda (dan negeri Barat pada umumnya) telah
berhasil mengisolir revolusi itu dari inteligensia Asia,
khususnya di Indonesia.
Namun ada satu buku yang simpatik terhadap revolusi Rusia ini
yang ditulis oleh seorang wartawan Inggeris, Ten Days That Shook
The World oleh John Reed (1919). Buku ini tentu di kenal
Sukarno. Dalam buku ini John Reed menggambarkan bagaimana
burjuasi Rusia, setelah mengambil-alih kekuasaan dari monarki
Rusia, mengalami proses disintegrasi, karena peperangan dengan
Jerman dan terjadinya radikalisasi masa rakyat Rusia. Tentara di
medan pertempuran lalu memihak pad revolusi sosialis (proletar)
yang kelak menggantikan kekuasaan burjuis.
Tapi rupanya bagi Sukarno tentara buruh, petani, tukang adalah
rakyat yang punya kepentingan satu. Mereka akan bersatu asal
saja mereka memiliki kesadaran politik. Mereka hampir tak pernah
dikemukakan dalam kemungkinan konflik, misalnya dalam perang
saudara.
Dalam hubungan ini menarik bahwa suatu kejadian yang
menggemparkan dunia hampir tidak dibicarakan oleh Sukarno, yakni
perang saudara di Spanyol (1936-39). Dalam perang ini suatu
republik populer dihancurkan oleh pemberontakan militer di bawah
Jendral Franco yang dibantu oleh negara Fasis zaman itu.
Sukarno memang waktu itu hidup dalam pembuangan, jadi mungkin
sedikit banyak terisolir dari pergolakan intelektuil dan
revolusioner di dunia. Atau bagi Sukarno Spanyol mungkin terlalu
jauh dari Indonesia yang masih di bawah penjajahan, di mana
orang tidak dapat membicarakan adanya perang saudara atau
militerisme. Dalam masa terbentuknya pandangan revolusi Sukarno
waktu itu, agaknya soal benturan antara revolusi dengan reaksi
belum timbul secara tajam. Bagi Sukarno revolusi hanya punya
satu gerak: maju dan menang.
Dialog Sukarno yang utama dengan revolusi dalam sejarah adalah
dengan revolusi Perancis (1789). Revolusi ini tidak asing bagi
Sukarno yang berpendidikan Barat. Sejarawan Revolusi Perancis
yang paling mempengaruhi Sukarno adalah Jean Jaures, tokoh
sosialis dan pasifis yang dibunuh pada hari akan pecahnya perang
dunia I (1914).
Seperti Sukarno Jaures adalah ahli pidato yang besar dan pandai
menulis secara persuasif. Tapi sebelum Jaures, sejarawan
Revolusi Perancis yang terkemuka adalah Michelet, yang melihat
revolusi ini sebagai hasil berdirinya seluruh rakyat dan bangsa
melawan kerajaan dan aristokrasi. Mistik cinta antara orang dan
tanah tumpah darah serta bangsa itulah yang menimbulkan
patriotisme dan perlawanan terhadap monarki. Penulisan sejarah
Michelet disebut "populis."
Jaures sangat dipengaruhi oleh Michelet juga sedikit banyak
dalam segi-segi populisnya. Dalam introduksi karyanya mengenai
revolusi Perancis Jaures menulis bahwa interpretasinya mengenai
sejarah revolusi Perancis sama dipengaruhi oleh
materialisme-Marx dan ke-mistik-an Michelet. Namun juga Jaures
melihat peristiwa revolusi Perancis ini sebagai suatu gerakan
tunggal yang bergerak lurus terus.
Melalui Jaures pengaruh Michelet pada Sukarno rupanya besar.
Baginya, "rakyat" tetap merupakan rakyat tanpa penggolongan. Ini
terlihat dari konsep Marhaen-nya, rakyat yang diidentifisir oleh
Sukarno dengan Marhaen, petani-kecil, tukang, pedagang kecil --
pokoknya orang kecil yang menguasai alat produksi sendiri,
merupakan 90% dari masyarakat Indonesia yang dijajah. Introduksi
konsepsi Marhaen ini sendiri oleh Sukarno mempunyai tiga tujuan.
Pertama, supaya rakyat menemukan identifikasi baru sebagai
pejuang, analog dengan rakyat Perancis pada masa revolusi juga
mengidentifisir diri dengan "Gololongan ke-III" atau nation
(Bangsa), sehingga dapat mencapai kesadaran revolusioner. Kedua,
istilah Marhaen juga diperkenalkan untuk jembatan antara elite
Indonesia dan rakyat. Berabad-abad rakyat ini secara tradisionil
dilihat dengan penuh pra-sangka oleh elite sebagai masih bodoh
dan pasif.
Akhirnya konsepsi Marhaen ini oleh Sukarno dicoba dipakai untuk
memberikan arti pada massa-aksi. Dengan senjata ini Sukarno
(yang tak pernah memikirkan peran kemiliteran dalam aksi massa),
mengharapkan menggembleng kekuatan. Sebab "soal jajahan adalah
soal kuasa, soal macht." Bila bermilyun-milyun perorangan dari
rakyat ini menamakan diri marhaen dengan sadar, maka massa ini
matang dalam politik dan bersifat revolusioner.
Istilah marhaen dengan itu dipergunakan oleh Sukarno sebagai
istilah-baru, istilah kesadaran, untuk membangkitkan tenaga
revolusioner, sama seperti kaum buruh dalam revolusi Rusia
mengindentifisir diri dengan proletar atau bolshevik.
Bedanya: bagi Sukarno istilah Marhaen ini tidak hanya untuk
suatu golongan atau partai tapi adalah milik seluruh rakyat.
Dalam hal ini Sukarno salah persepsi, sebab "rakyat" sudah
terpecah belah dalam golongan.
Namun harap diingat: munculnya Sukarno secara betul aktif dalam
pergerakan adalah dalam 1926, ketika partai dan golongan dalam
pergerakan saling bertengkar untuk selama kira-kira 20 tahun.
Sarekat Islam, partai massa di Indonesia yang pertama, telah
pecah menjadi S.I.-Hijau dan S.B-Merah (yang kemudian menjadi
Sarekat Rakyat). Para pemimpin dan pengikutnya saling memaki.
Sarekat Rakyat kemudian dihancurkan dalam pemberontakan 1826.
Peristiwa tragis ini bagi semua orang nasionalis dan merupakan
trauma yang tidak dapat dilupakan. Maka dalam karangan
"Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme", prinsip penggemblengan
kekuatan politik, Sukarno mencari persatuan dalam keadaan
pecah-belah. Usaha kesatuan inilah yang tidak pernah
ditinggalkannya.
Orang mengatakan bahwa sebenarnya ketiga unsur kekuatan yang
dilihat Sukarno y.i. Nasionalis, Islam dan Marxisme saling
bertentangan dan bahwa di antara ketiga terdapat
kontradiksi-kontradiksi. Tetapi ini tidak bagi Sukarno. Dia
melihat unsur persamaan, yakni bahwa masing-masing melawan
penjajahan, keserakahan dan penindasan. Dia melihat bahwa
masing-masing dilahirkan karena situasi dan kondisi yang sama,
dan bahwa masing-masing dilahirkan dari rasakasih terhadap yang
ditindas, dijajah dan dieksploitir karena itu mempunyai musuh
bersama dan dapat bersatu.
Sukarno yang menganjurkan persatuan dan yang bersikap toleran
terhadap perbedaan-perbedaan, seperti terlihat dalam pidato
Panca-Silanya, sering tampil kemudian dalam kontradiksi. Tak
mengherankan: setiap revolusi selalu mempunyai lawan dan
kawannya, apalagi pada saat revolusi ini berjalan. Revolusi
karenanya, dalam praktek, bukan pekerjaan "seluruh rakyat yang
bersatu," tapi justru oleh segolongan rakyat terhadap golongan
lain. Kenyataan ini hampir tak pernah nampak dalam dasar
gambaran Sukarno tentang revolusi.
Padahal Revolusi Rusia jelas hanya dilakukan oleh golongan
buruh. Pada suatu waktu, 3/4 dari Perancis menentang revolusi
Perancis yang berpusat di Paris. Kemenangan dicapai dengan
organisasi, dan juga kekuatan militer, setelah dasar fikiran
diletakkan, setelah jelas tergaris di mana persatuan di mana
perlawanan.
Bahwa Bung Karno nampak mengabaikan soal-soal itu, mungkin
karena ia pertama-tama adalah Bapak bangsa, sebelum Pemimpin
Besar Revolusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini