Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Buram yang belum tuntas

RUU Pendidikan Nasional banyak mendapat kritik dari berbagai kalangan. Pendidikan agama yang tak secara tegas dimasukkan kurikulum meresahkan masyarakat dan mengundang penafsiran berbeda.

6 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IBARAT pedagang, barang yang dijual Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Fuad Hassan sungguh banyak peminatnya. Tak berarti segera laku. Peminat sedang menimbang-nimbang, membolak-balik, dan beberapa sudah sampai pada kesimpulan: minta supaya barang itu dibenahi lagi. Dagangah itu adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Nasional yang kini di tangan DPR. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, misalnya, sudah menyampaikan sumbangan pikiran yang diumumkan secara terbuka di media massa, dan menilai RUU itu masih jauh dari sempurna. Selasa pekan ini, PP Muhammadiyah akan bertemu dengan Menteri P dan K. Nahdatul Ulama (NU) Rabu pekan ini di Jakarta juga membahas RUU itu dengan mengundang pimpinan pesantren yang besar. Namun, menurut K.H. Jusuf Hasjim, Rais Syuriah NU, hasil pembahasan nanti tidak akan dilemparkan secara terbuka tapi diberikan kepada DPR dan Departemen P dan K untuk dijadikan masukan. Hal serupa juga dilakukan banyak organisasi kemasyarakatan dan kelompok diskusi. Di Pondok Pesantren Darul Ulum, Jombang, misalnya, Senin pekan lalu dilangsungkan "telaah RUU Pendidikan" yang diikuti 25 ulama dan 25 sarjana Universitas Darul Ulum. Hasilnya, "RUU itu kurang mengandung keterbukaan dan kejelasan sehingga membuka penafsiran yang berlainan." Pernyataan keras datang dari para ulama dan pimpinan pondok pesantren yang tergabung dalam Yayasan Pondok Pesantren Indonesia yang berkedudukan di Bogor. Pernyataan yang ditandatangani tujuh ulama ini menolak RUU itu ditetapkan sebagai UU. Mereka meminta pemerintah meninjau kembali dan menyempurnakan RUU itu. Fuad Hassan sebagai "pedagang" mengaku gembira karena memperoleh banyak masukan. Ia berkali-kali menekankan, RUU ini bukan suatu naskah yang final dan masih sangat terbuka untuk penyempurnaan. Juga soal bahasa. "Kata-kata yang tidak tepat perlu dikonsultasikan dengan ahli bahasa dan sastra," katanya. Ia mengakui dalam penggarapannya belum melibatkan ahli bahasa dan sastra itu. Tanggapan yang ramai dibicarakan memang tak sekadar kekaburan bahasa yang menjadikan penafsiran bermacam-macam. Ada yang lebih penting, yakni masalah pendidikan agama di sekolah formal dan rumusan RUU yang tak sesuai dengan GBHN. Yang dimaksudkan, dalam pasal 4 RUU yang menjabarkan tujuan pendidikan nasional, tidak ditemukan kata "beriman" sebelum kata "bertakwa", sementara dalam GBHN 1988 kata "beriman" diikuti "bertakwa". Menurut Lukman Harun, Wakil Ketua PP Muhammadiyah, tiadanya kata "beriman" itu masalah prinsip, bukan sekadar soal bahasa. "Kata 'bertakwa' dalam pasal itu belum mencakup arti 'beriman'." katanya. Senada dengan Lukman Harun adalah Rektor IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, Rachmat Djatnika, yang menyebutkan mutlak kata "beriman" itu dituliskan. "Bagaimana bisa bertakwa kalau tidak beriman?" katanya. Sulaiman Tjakrawiguna, Ketua Konlisl IX DPR, dan Yusuf Syakir, anggota DPR dari fraksi PPP, juga setuju kata "iman" dimasukkan. Yusuf Syakir, walau setuju kata "takwa" itu sudah mencakup "iman", karena GBHN menyebut keduanya, "supaya tidak menimbulkan pertanyaan di kemudian hari maka perlu dioper saja? ditaruh di RUU". Fuad Hassan tidak keberatan seraya menyebutkan bahwa RUU ini disiapkan sebelum GBHN 1988 dirumuskan (lihat: Pendidikan Agama tak diremehkan). Jadi, soal ini mungkin bukan ganjalan yang mendasar. Yang mendasar adalah masalah pendidikan agama itu tadi. Walau dalam RUU ini disebutkan pendidikan agama itu termasuk jalur formal, Muhammadiyah dan beberapa ulama menginginkan masalah pendidikan agama itu secara tegas dimasukkan dalam kurikulum. Karena tak dimasukkan dalam kurikulum itu, Lukman Harun, misalnya, menyebutkan, "Pendidikan agama dalam RUU ini belum tercakup dan belum disebut." Pentingnya pendidikan agama dimasukkan kurikulum dan disebut jelas dalam RUU juga disuarakan Rachmat Djatnika. "Pendidikan agama setara dengan pelajaran matematika atau pelajaran lainnya Harus masuk kurikulum," katanya kepada Sigit Haryoto dari TEMPO. Masalah kurikulum diatur tersendiri dalam Bab IX RUU yang terdiri atas tiga pasal (40, 41, 42). Di situ memang tak disebut ada pendidikan agama -- suatu hal yang mengecewakan banyak orang. Tetapi di situ juga tak diatur pendidikan matematika, sejarah PMP, misalnya, secara terinci. Yang diatur adalah perlunya sebuah kurikulum secara nasional, bagaimana menyusunnya dan siapa yang menetapkan. Selain kurikulum nasional ini masih dimungkinkan adanya kurikulum tambahan yang disesuaikan dengan sifat keadaan serta kebutuhan lingkungan satuan pendidikan. Dalam penjelasan RUU disebutkan, kurikulum tambahan itu dimungkinkan sejauh tidak menyimpang dari tujuan dan jiwa pendidikan nasional. RUU ini memang tidak detail menyebut satuan pendidikan. Mengapa pendidikan agama ini ramai dipermasalahkan? Itu muncul dari penjelasan umum RUU yang, antara lain, menyebutkan "pendidikan informal atau pendidihan dalam keluarga memberikan keyaklnan agama". Sementara itu, satuan pendidikan lainnya (matematika, PMP, dan sebagainya) tidak disebut-sebut. Dari sini muncul penafsiran, pendidikan agama hanya di lingkungan keluarga. Padahal, maksud penjelasan itu, sebagaimana dikatakan Fuad Hassan, untuk lebih menekankan pendidikan agama tidak hanya di sekolah. Akan halnya madrasah dan IAIN yang berada di bawah Departemen Agama memang tak disebut namanya dalam RUU. Muhammadiyah meminta agar hal itu dicantumkan, mengingat UU No. 4 Tahun 1950 (yang akan digantikan UU Pendidikan Nasional itu nanti) mencantumkan keberadaan. Jika itu dicantumkan, maka lagi-lagi RUU ini harus detail, karena kaitannya juga harus menyebut Akabri dan PTIK yang di bawah Departemen Hankam. Dan banyak lagi yang lain. Menurut Sulaiman Tjakrawiguna, masalah itu sebenarnya hanya teknis. "RUU ini mengatur sistem pendidikan nasional, mereka yang di luar Departemen P dan K harus menyesuaikan. Pendidikan tidak di bawah satu atap, tetapi satu sistem," kata Sulaiman. Bahwa RUU ini hanya memuat garis-garis besar, memang tampak dari sedikitnya pasal -- hanya 60 -- dan itu pun 15 pasal (permasalahan) akan diatur oleh peraturan pemerintah. "Ini menimbulkan kekhawatiran masyarakat segala sesuatunya diatur pemerintah. Padahal, kelemahan peraturan pemerintah adalah bisa berubah sewaktu-waktu," kata Sulaiman lagi. "RUU ini mestinya lengkap, tegas, tuntas, menyeluruh, dan terpadu." Lalu, sanksi (pasal 56) yaitu kurungan selama-lamanya setahun atau denda setinggi-tingginya Rp 10 juta untuk sekolah -- baik negeri maupun swasta -- yang tak punya perpustakaan, dinilai sangat berat. "Itu lebih berat dari korupsi. Itu tidak mendidik," kata Lukman Harun. Banyak hal yang diluruskan, agaknya. Fraksi-fraksi di DPR akan mengadakan dengar pendapat pertengahan bulan ini, dan RUU itu sendiri baru dibahas DPR September mendatang. Putu Setia, Sri Indrayati, Tri Budianto S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus