Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Guru besar hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Susi Dwi Harijanti, menilai usulan pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berpotensi melemahkan esensi demokrasi dan mengabaikan hak rakyat untuk berpartisipasi secara langsung dalam menentukan pemimpinnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Secara filosofis, pilkada merupakan wujud dari kedaulatan rakyat yang dilakukan secara langsung. Dan hal ini sejalan dengan salah satu fungsi otonomi, yaitu fungsi demokrasi. Rakyat berhak menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya,” kata Susi kepada Tempo melalui aplikasi perpesanan WhatsApp, Jumat, 20 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut profesor dari Fakultas Hukum Unpad tersebut, jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, terdapat potensi pelemahan mekanisme checks and balances. Pemusatan kekuasaan ini bertentangan dengan prinsip demokrasi yang seharusnya memberi peluang partisipasi rakyat dalam pemerintahan.
Kritik terhadap wacana ini juga didasarkan pada pengalaman sejarah. Susi mengingatkan, pada era penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, DPRD pernah diberi wewenang untuk memilih kepala daerah. Namun hasilnya justru memunculkan gejolak politik akibat pemusatan kekuasaan di tangan DPRD.
“Akibat wewenang yang besar, DPRD mengalami semacam political shocks karena di satu pihak memiliki wewenang yang luas, namun di pihak lain belum mampu menjalankan wewenang yang besar tersebut dengan wajar," ujarnya.
Susi juga menyoroti argumen yang sering dikemukakan oleh pihak-pihak yang mendukung pilkada melalui DPRD, yakni efisiensi biaya. Menurut dia, persoalan biaya mahal dalam pilkada seharusnya tidak dijadikan alasan untuk menghilangkan keterlibatan rakyat. "Yang harus dilakukan adalah mencari akar permasalahan mengapa biaya mahal," katanya.
Dia menyinggung praktik “uang mahar” yang telah menjadi rahasia umum dalam proses politik. Atas hal itu, Susi menekankan pentingnya peran partai politik dalam menyelesaikan persoalan tersebut agar rakyat tidak terus-menerus menjadi pihak yang berkorban. "Partai politik harus mampu menyelesaikan masalah biaya mahal tersebut," ucapnya.
Kritik ini, kata dia, menjadi pengingat demokrasi harus tetap menjunjung tinggi keterlibatan rakyat sebagai fondasi utama pemerintahan yang adil dan transparan. Susi menegaskan bahwa fokus reformasi seharusnya diarahkan pada upaya memperbaiki mekanisme pilkada langsung, bukan kembali ke sistem lama yang membatasi kedaulatan rakyat.
Usulan pilkada melalui DPRD diungkapkan Presiden Prabowo Subianto saat berpidato dalam perayaan ulang tahun Partai Golkar di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Kamis, 12 Desember 2024. Usulan tersebut sontak mendapat kritik dari berbagai pihak karena dianggap kembali ke masa Orde Baru.
Moh Hatta Muarabagja turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Mengapa Tiap Rezim Terobsesi Pilkada Tak Langsung?