Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Cara Pemerintah Incar Sumber Baru Pendapatan Negara dari Sektor Minerba

Pemerintah sedang merampungkan dua peraturan pemerintah untuk memaksimalkan pendapatan negara dari sektor pertambangan minerba.

21 Maret 2025 | 13.14 WIB

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memberikan keterangan pers setelah mengikuti rapat terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis, 20 Maret 2025. TEMPO/Imam Sukamto
Perbesar
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memberikan keterangan pers setelah mengikuti rapat terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis, 20 Maret 2025. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH mengincar sumber-sumber baru pendapatan negara dari sektor mineral dan batu bara atau minerba, di antaranya dengan menaikkan besaran royalti untuk emas, nikel, batu bara, dan beberapa komoditas lainnya.

Untuk keperluan itu, pemerintah sedang menggodok revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batubara dan PP Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM). 

Presiden Prabowo Subianto memanggil beberapa menterinya, di antaranya Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Menteri Investasi dan Hilirisasi sekaligus CEO BPI Danantara Rosan Roeslani ke Istana pada Kamis sore, 20 Maret 2025, untuk membahas regulasi tentang peningkatan dan perluasan royalti tersebut.

Bahlil mengatakan mereka membahas beberapa sumber pendapatan negara baru, khususnya peningkatan royalti di sektor emas, nikel, dan beberapa komoditas lain, termasuk di dalamnya adalah batu bara. “Di samping itu, kami juga sedang mempertimbangkan untuk menggali beberapa produk turunan lain dari mineral kita yang selama ini belum menjadi bagian dari pendapatan negara,” ujarnya setelah rapat bersama Presiden di Kompleks Istana Kepresidenan, seperti dikutip dari Antara.

Karena itu, Bahlil menyebutkan pemerintah sedang menggodok draf untuk merevisi PP Nomor 15 Tahun 2022. “Perubahannya sekarang sudah hampir final, sedikit lagi. (Perubahan terkait) royalti, baik dari bahan bakunya sampai dengan barang jadinya. Ini juga dalam rangka menunjang proses hilirisasi,” kata Ketua Umum Partai Golkar itu.

Dia mengatakan kenaikan royalti itu bertujuan menjaga keseimbangan pasar mengingat saat ini harga emas dan nikel relatif tinggi. “Harga nikel juga sekarang bagus, harga emas bagus, gak fair dong kalau kemudian harganya naik, kemudian negara tidak mendapatkan pendapatan tambahan. Jadi ini dalam rangka menjaga keseimbangan saja,” tutur Bahlil.

Bahlil menuturkan besaran kenaikan royalti bervariasi sekitar 1,5 persen sampai dengan 3 persen, menyesuaikan harga masing-masing komoditas. “Tergantung dan itu fluktuatif ya, kalau harganya naik, kami naikkan kepada yang paling tinggi, kalau harganya lagi turun, kita juga tidak boleh mengenakan pajak yang besar kepada pengusaha, karena kita butuh pengusaha juga berkembang,” ujarnya.

Bahlil kemudian menekankan, jika nantinya berlaku, kebijakan peningkatan besaran royalti itu ditujukan kepada semua pelaku usaha, termasuk PT Freeport Indonesia. “Kena dong, masa enggak,” kata Bahlil.

Prabowo Minta Maksimalkan Penerimaan Negara

Adapun Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Presiden Prabowo meminta memaksimalkan penerimaan negara. Dia menuturkan rapat terbatas tersebut berfokus membahas penerimaan negara secara keseluruhan, termasuk pajak, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), royalti, dan sektor lainnya.

Namun Airlangga tidak membeberkan lebih jauh arahan Presiden tentang upaya memaksimalkan penerimaan negara tersebut. “Penerimaan negara, itu ke Bu Menteri Keuangan,” kata mantan Ketua Umum Partai Golkar itu di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan rapat terbatas tersebut membahas upaya meningkatkan penerimaan negara, termasuk melalui peningkatan rasio pajak. Dia menekankan pentingnya intensifikasi dan perbaikan administrasi untuk mencapai target tersebut. “Mengenai bagaimana kita bisa meningkatkan tax ratio dan bagaimana upaya intensifikasi dan perbaikan administrasi,” ucapnya.

Mengenai keinginan pemerintah menaikkan rasio pajak sebesar 23 persen, Sri Mulyani mengatakan pihaknya sedang berupaya melakukan berbagai langkah strategis. “Kita upayakan beberapa langkah yang sedang dilakukan,” kata dia.

Pengusaha Tambang Menentang Kenaikan Royalti Pertambangan

Sebelumnya, pelaku usaha menentang rencana pemerintah menaikkan tarif royalti sektor pertambangan. Ketua Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menilai kebijakan menaikkan royalti tambang tidak tepat waktu.

Alasannya, kata dia, industri tambang sedang menghadapi harga komoditas yang anjlok dan beban operasional yang meningkat. “Ini bukan waktu yang tepat untuk menaikkan royalti,” ujar Hendra saat ditemui usai diskusi ‘Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan Nikel’ yang diadakan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Senin, 17 Maret 2025.

Dia menuturkan kebijakan tersebut terkesan mendadak karena pelaku industri tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk berdiskusi dengan pemerintah. “Sosialisasi hanya beberapa jam. Untuk isu sepenting ini, harusnya dibahas lebih komprehensif,” ujarnya.

IMA meminta pemerintah menunda implementasi aturan ini agar dapat dikaji lebih dalam. “Menunda bukan berarti kita menentukan kapan waktu yang pas, tapi lebih ke memberi ruang diskusi agar kebijakan ini mempertimbangkan banyak aspek, termasuk daya saing dan keberlanjutan industri tambang,” kata Hendra.

Dia mengingatkan kenaikan royalti tambang juga akan berpotensi menekan produksi nasional. Hendra mengungkapkan pelaku usaha menambang berdasarkan asumsi tarif royalti yang berlaku saat ini. Jika tarif dinaikkan, perhitungan keuangan perusahaan akan berubah drastis. “Perusahaan menggunakan asumsi tarif yang berlaku untuk 12 bulan ke depan. Kalau tarif naik, tentu perhitungannya berubah dan bisa berdampak pada produksi,” tuturnya.

Menurutnya, kenaikan royalti juga dapat menghambat investasi di sektor hilirisasi. Saat ini, kata dia, industri sudah terbebani dengan banyak kebijakan seperti Domestic Market Obligation (DMO), aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE), hingga pajak minimum global untuk industri High Pressure Acid Leach (HPAL). “Jika ditambah royalti, ini bisa makin memberatkan cash flow perusahaan,” ucap Hendra.

Hendra juga menyoroti dampak kenaikan royalti terhadap eksplorasi. “Eksplorasi itu kunci keberlanjutan industri. Kalau margin semakin tipis, bagaimana eksplorasi bisa berjalan? Sementara tanpa eksplorasi, kita tidak bisa menjamin pasokan bahan baku dalam 20-30 tahun ke depan,” katanya.

Aspebindo Usulkan Tarif Royalti Dinamis untuk Minerba

Sementara itu, Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo) mengusulkan penerapan skema dynamic tariff (tarif dinamis) untuk tarif royalti PNBP sektor minerba. Usulan ini sebagai respons atas rencana Kementerian ESDM yang akan menaikkan tarif royalti PNBP komoditas tersebut.

Wakil Ketua Umum Aspebindo Fathul Nugroho mengatakan kenaikan royalti perlu mempertimbangkan kondisi industri pertambangan yang tengah menghadapi tantangan berat. “PNBP royalti batu bara sebelumnya sudah naik 50-100 persen melalui PP Nomor 26 Tahun 2022. Jika kembali dinaikkan, ini akan semakin membebani pelaku usaha di tengah meningkatnya mining cost, harga BBM yang tinggi, serta harga komoditas yang saat ini berada di level terendah dalam lima tahun terakhir,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada Ahad, 16 Maret 2025.

Khusus untuk komoditas mineral, Aspebindo menyoroti rencana kenaikan tarif royalti yang mencapai tiga kali lipat, seperti bijih tembaga dari 5 persen menjadi 17 persen, nikel matte dari 2 persen menjadi 6,5 persen, dan feronikel dari 2 persen menjadi 7 persen. Menurut Fathul, kenaikan signifikan ini berpotensi menghambat investasi di sektor pertambangan dan pengolahan mineral.

“Aspebindo mengusulkan agar kenaikan tarif dilakukan bertahap dan maksimal 100 persen dari tarif yang berlaku saat ini, agar perusahaan tambang dan smelter memiliki waktu untuk beradaptasi," kata Fathul.

Sebagai solusi, Aspebindo mengajukan konsep tarif dinamis, yaitu mekanisme tarif royalti yang mengikuti pergerakan harga komoditas. “Jika harga naik, tarif royalti bisa ikut naik dengan formula tertentu yang ditetapkan pemerintah. Sebaliknya, saat harga turun, tarif royalti juga ikut turun agar industri tetap memiliki margin usaha yang sehat,” tuturnya. 

Aspebindo juga mendorong pemerintah untuk melakukan sensitivity analysis guna menemukan keseimbangan antara kenaikan tarif royalti, permintaan pasar, dan margin usaha industri. “Kami berharap kebijakan ini menghasilkan win-win solution bagi pemerintah dan pelaku usaha, serta tetap menarik bagi investor," ujarnya. 

Dinda Shabrina, Dani Aswara, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: UU TNI Disahkan, Kejagung Bisa Proses Prajurit di 14 Jabatan Sipil yang Terjerat Pidana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus