Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Suku Knasaimos tetap menolak hutan mereka menjadi kebun sawit.
Mereka lebih memilih mengolah hasil hutan dibanding menjadi kebun sawit.
Suku Knasaimos berharap hutan desa mereka dapat menjadi hutan adat.
JAKARTA – Warga Desa Sira, Distrik Saifi, Kabupaten Sorong Selatan, Papua, akan membuat sejumlah posko di perbatasan hutan desa mereka. Tujuan mereka membuat posko untuk mengawasi agar tidak ada orang yang menebang pohon di area kawasan hutan desa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami sedang berencana membuat posko itu," kata Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Sira, Alfred Kladit, Kamis, 21 September 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hutan Desa Sira itu seluas 1.850 hektare. Pemerintah menetapkannya sebagai hutan desa sejak 2014. Hutan desa ini dikelola oleh suku Knasaimos, yang merupakan penduduk asli Desa Sira. Suku Knasaimos terdiri atas lima marga, yaitu Kna, Saifi, Imian, Ogit, dan Srer. Suku Knasaimos tinggal di tengah hutan Sira tersebut. Penduduk Desa Sira mencapai 300 jiwa, yang terdiri atas 32 keluarga.
Alfred mencatat, perusahaan sawit sempat berkali-kali hendak berusaha mengganggu status hutan desa tersebut. Misalnya, pada 2018, pihak perusahaan sawit mencoba masuk ke kampung-kampung. Mereka mengkampanyekan keuntungan berkebun sawit.
Warga Sira tidak terima dengan agenda mengubah hutan menjadi kebun sawit itu. Mereka lantas berunjuk rasa ke kantor Bupati Sorong Selatan.
Pengurus Dewan Adat Knasaimos, Arkilaus Kladit, mengatakan masyarakat adat sudah secara turun-temurun tinggal di hutan tersebut. Bahkan setiap marga di Desa Sira juga sudah memiliki batas wilayah hutan masing-masing. "Kami tinggal berkelompok sampai gereja datang. Baru pemerintah datang," kata Arkilaus, kemarin.
Ia menceritakan bagaimana sikap masyarakat adat yang kukuh menolak perusakan hutan. Pada 1970, pemerintah hendak menjadikan lokasi hutan di Sira sebagai kawasan transmigrasi. Mereka pun memprotes rencana itu sehingga pemerintah membatalkannya.
Mereka lantas membentuk Lembaga Masyarakat Adat Suku Knasaimos dengan maksud sebagai konsolidasi warga desa pada 1998. Lembaga adat ini yang mengkoordinasi warga desa.
Sebagai contoh, lembaga adat memimpin penolakan ketika marak terjadi penebangan pohon-pohon besar di hutan milik suku Knasaimos pada 2002. Total hutan lanskap Knasaimos mencapai 81.646 hektare. Mereka memprotes penebangan pohon secara ilegal. Setahun lebih mereka melawan upaya penebangan pohon tersebut.
Empat tahun berselang, perusahaan sawit berencana masuk ke hutan adat milik suku Knasaimos pada 2006. Pihak perusahaan berusaha mendekati warga desa dan menjanjikan keuntungan masyarakat adat ketika berkebun sawit. Warga Desa Sira tidak mempercayai janji pihak perusahaan tersebut. Mereka memilih tetap mempertahankan hutan Knasaimos.
"Kami banyak mendengar pengalaman bahwa kebun sawit bisa merusak hutan kami," ujar Arkilaus.
Ia menyebutkan suku Knasaimos terus berusaha merawat hutan sekaligus mendorong penetapan status hutan desa. Mereka melakukan pemetaan partisipatif, survei potensi hutan, pelatihan pemanfaatan hasil hutan, dan pembuatan rencana hutan desa. Greenpeace Indonesia dan Bentara Papua membantu suku Knasaimos dalam membuat rencana hutan desa pada 2007.
Mereka mendorong penetapan status hutan desa itu selama bertahun-tahun hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengakomodasinya. Setelah berstatus hutan desa, masyarakat Desa Sira membentuk koperasi. Koperasi inilah yang membantu masyarakat adat dalam mengelola hasil hutan, khususnya sagu. Sagu itu diolah menjadi terigu dan mi.
Mamasa Mericismeri (tengah) di hutan Manggroholo-Sira, 21 September 2023. TEMPO/Hendrik Yaputra
Hutan Adat
Arkilaus mengatakan suku Knasaimos berencana mengubah status hutan desa menjadi hutan adat. Saat ini mereka tengah menyiapkan syarat-syaratnya, lalu mengajukan permohonan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Kami harus melakukan pertemuan dengan distrik, pertemuan dengan marga, dan dengan pemerintah daerah. Itu butuh waktu lama," kata Arkilaus.
Perubahan status ini bertujuan agar mereka bisa mempertahankan status hutan di wilayah hutan milik Knasaimos. Sebab, status hutan desa hanya berlaku selama 35 tahun. Setelah status hutan desa habis, kata Arkilaus, negara dapat saja mengambil hutan tersebut, lalu memberikannya ke perusahaan sawit.
Anggota tim pengelola Bentara Papua, Syafril, mengatakan pihaknya tengah memetakan hutan adat Knasaimos. Hasil pemetaan ini akan menjadi bahan permohonan status hutan adat. Saat ini pemetaan sudah dilakukan pada 14 dari total 48 sub-suku Knasaimos.
Pemetaan partisipatif, kata Syafril, dilakukan untuk menggali data spasial dan sosial suku Knasaimos. Dalam pemetaan partisipatif ini, tim Bentara Papua melihat sejarah dan budaya sub-suku lewat wawancara serta artefak yang ada. "Tiap marga punya artefak masing-masing," katanya.
Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Amos Sumbung, mengatakan masyarakat adat merupakan garda terdepan untuk melindungi hutan. Mereka mengetahui cara untuk melindungi hutan. Tapi lembaganya khawatir suatu saat akan ada kehadiran perusahaan sawit di kawasan hutan Knasaimos.
"Kami bantu untuk memastikan enggak tertipu perusahaan," kata Amos.
Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik, mengatakan hutan Papua perlu dipertahankan dari industri ekstraktif yang merusak. "Investasi tak masalah, tapi jangan buka hutan sembarangan. Mereka harus mematuhi aturan dan mengakui keberadaan masyarakat adat," kata Kiki.
Kiki meminta pemerintah membuka data konsesi. Data itu penting supaya publik bisa mengawasi agar tidak ada tumpang tindih saat ingin memberikan konsesi kepada perusahaan.
Ia menyebutkan pemerintah daerah Sorong Selatan sudah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Penghormatan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Sorong Selatan. “Perda ini harus dikawal,” ujarnya.
Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Daerah Sorong Selatan, Yohan Hendrik Kokorule, mengatakan pihaknya berkomitmen memberikan hak masyarakat adat. Komitmen itu diwujudkan dengan mencabut izin empat perusahaan sawit yang mempunyai konsesi di Sorong Selatan. "Mereka izin kelapa sawit yang memiliki HGU hampir 70 ribu hektare," ujar Yohan.
Yohan mengatakan saat ini masih ada satu perusahaan sawit di daerahnya. Pemerintah daerah membatasi izin perusahaan sawit. "Prinsipnya, tak ada izin. Kami tinjau kembali," kata Yohan.
Ia juga mengatakan pemerintah daerah merespons positif rencana mengubah status hutan desa menjadi hutan adat. Kemarin, pemda membahas hutan adat dengan berbagai perwakilan adat di Sorong Selatan.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Nunu Anugrah, belum menjawab permintaan konfirmasi Tempo mengenai hal tersebut.
Warga menyiapkan masakan untuk pemuda adat peserta Forest Defender Camp, yang digelar Greenpeace Indonesia di hutan Manggroholo-Sira, 21 September 2023. TEMPO/Hendrik Yaputra
Mengelola Sagu
Mamasa Mericismeri mengatakan dirinya memanen satu pohon sagu satu kali dalam dua pekan. Sebagian dari sagu itu dijual ke pasar dan separuhnya lagi diolah menjadi makanan, seperti tepung dan keripik. Hasil penjualan itu digunakan untuk membiayai pendidikan anaknya. "Kami olah di koperasi desa," kata Mamasa, kemarin.
Warga adat suku Knasaimos, Budian, 30 tahun, juga menyampaikan hal serupa. Sagu dan hasil hutan digunakan untuk menopang kebutuhan pendidikan serta kebutuhan sehari-hari keluarga. Budian juga menjual sagunya ke koperasi.
Ia mengatakan dirinya dan keluarga bisa menebang 10 pohon sagu dalam dua pekan. Setelah menebang sagu, mereka sudah menyiapkan bibit sagu sebagai penggantinya.
Memperkuat Perspektif Perlindungan Hutan
Belasan perempuan tengah sibuk menyiapkan makanan, kemarin siang. Mereka menyiapkan masakan untuk ratusan lebih pemuda adat peserta Forest Defender Camp yang digelar Greenpeace Indonesia, bekerja sama dengan Sadir Wet Yifi dan Bentara Papua. Sambil memakan papeda, para pemuda asyik bercengkerama.
Mamasa Mericismeri termasuk dari belasan perempuan itu. Mamasa dan perempuan adat Knasaimos lainnya sengaja tidak mengolah pohon sagu, kemarin. "Kami sengaja tidak menokok sagu hari ini. Kami ingin menyambut pemuda adat pelindung hutan," kata Mamasa.
Kegiatan Greenpeace itu digelar selama empat hari, sejak 19 September hingga 22 September. Kegiatan ini dihadiri ratusan pemuda adat Papua dari Sorong hingga Merauke. Mereka diberi sejumlah materi untuk memperkuat perspektif masyarakat adat mengenai cara melindungi hutan.
HENDRIK YAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo