Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Saat kecil, Siti Uswatun Hasanah hidup pas-pasan dengan ayah yang hanya buruh serabutan. Namun ayahnya tetap mendorong Uswah, sapaan Uswatun, untuk tetap sekolah setinggi mungkin. Uswah pun bisa menempuh pendidikan S1 di Universitas Muhammadiyah Surabaya atau UM Surabaya dan S2 di Universitas Airlangga dengan beasiswa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Uswah adalah anak pertama dari pasangan Sahal dan Kasmidah. Ayahnya, Sahal adalah buruh serabutan dan pencari rumput setiap harinya yang tidak lulus SD. Sementara ibunya, Kasmidah adalah ibu rumah tangga yang hanya lulus SD.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya masih ingat betul ketika kelas 2 SMP saya sering dipanggil oleh guru karena belum bisa membayar LKS. Saya juga masih ingat, ketika saya jadi anak yang paling terakhir yang baru bisa membayar kaos olahraga kala itu,” kata Uswah dilansir laman UM Surabaya, Senin, 23 Oktober 2023.
Kala SMP, hidupnya sulit karena ayahnya yang bekerja memenuhi kebutuhan rumah tangga menderita sakit diabetes. Akhirnya, ibunya menggantikan untuk bekerja serabutan di sawah orang.
Setelah lulus dari SMP, Uswah hampir putus sekolah karena kendala biaya. Namun ayahnya melihat kesungguhan Uswah untuk sekolah sehingga mencarikan sekolah. Uswah akhirnya melanjutkan sekolah di MA Muhammadiyah 2 Banjaranyar, sekolah yang pembayarannya bisa dibayar setiap 6 bulan, kadang juga satu tahun.
“Karena kuatnya saya ingin sekolah, bapak mencarikan saya sekolah kesana kemari. Alhamdulillah, waktu itu sekolahnya bayarnya bisa dihutang, jadi bayarnya nunggu pas bapak ada panen di sawah,” kata Uswah.
Demi bisa sekolah, Uswah harus menempuh jarak 12 kilometer setiap harinya dengan sepeda ontel karena keluarganya tidak memiliki sepeda motor. Di sekolah tersebut, ia berusaha menjadi yang terbaik di kelas.
Selama tiga tahun, Uswah menduduki peringkat 2 di kelas dari 32 siswa. Ia juga beberapa kali memenangkan kejuaraan kepenulisan dari tingkat Kabupaten hingga Provinsi. Keaktifannya dalam mengikuti lomba berbuah manis sehingga ia mendapat potongan untuk pembayaran SPP.
Usai mengikuti UN, Uswah sempat tinggal di Panti Asuhan Muhammadiyah Bojonegoro selama dua bulan. Ia mengikuti les agar bisa lolos tes masuk perguruan tinggi. Di sana, ia juga belajar banyak hal, mulai dari membuat tempe, memerah susu sapi dan keliling jualan tempe.
“Setelah beberapa kali mendaftar, terakhir saya mendaftar di Universitas Muhammadiyah Surabaya, saya masih ingat waktu itu biaya daftarnya 350.000, untuk bisa membayar biaya tes kala itu bapak menjual seluruh ayamnya yang ada di kandang,” kata Uswah.
Untuk biaya ke Surabaya, ayahnya menjual persediaan gabah yang ada di rumahnya. Menurut Uswah, meski orang tuanya tak berpendidikan tinggi, tapi keduanya punya kesadaran yang tinggi akan pendidikan. Menurut ayahnya, peninggalan terbaik untuk seorang anak adalah ilmu pengetahuan.
Saat ini, Uswah diterima sebagai mahasiswa Pascasarjana di Universitas Airlangga Prodi Kajian Sastra dan Budaya dengan bantuan Beasiswa Unggulan dari Kemendikbudristek. Sebelumnya ia kuliah S1 di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UM Surabaya dengan beasiswa Bidikmisi.
“Setiap orang memiliki waktunya masing-masing, dulu setelah lulus langsung kerja jadi guru di sekolah dasar selama tiga tahun, setelah bapak meninggal, saya pindah bekerja sebagai seorang jurnalis. Alhamdulillah, takdirnya bersekolah lagi di tahun ini,” kata Uswah.
Uswah pun membagikan tips belajar hingga bisa memperoleh beasiswa. Pertama adalah rajin membaca untuk menambah wawasan. Sejak memiliki keinginan untuk kuliah kala SMA, ia sering meminjam buku perpustakaan lalu ia bawa pulang.
Menurut Uswah, setiap orang penting sekali memiliki kesadaran dalam menumbuhkan habit membaca. Sebab, dengan membaca akan menambah wawasan dan ketika memiliki wawasan, seseorang akan memiliki cara pandang yang luas dan bijak dalam menyikapi setiap persoalan.
Cara belajar kedua adalah menulis. Sejak SMA, ia selalu mencatat kembali pelajaran dari guru dalam sebuah buku. Mencatat menjadi hal yang penting, sebab, menurut Uswah, ingatan manusia sangat terbatas.
“Dulu ketika masih sekolah dan kuliah S1 ketika saya membaca buku yang sulit dipahami, setelah selesai membaca, saya mencoba menarasikan ulang apa yang telah saya baca ke dalam sebuah tulisan, jadi akhirnya saya mudah ingat,” kata Uswah.
Terakhir, untuk mendapatkan beaiswa kuncinya harus sering berlatih, pahami polanya dan sering-sering riset pengalaman orang lain, baik itu secara langsung atau online. Sejak SMA atau S1, perbanyak kegiatan organisasi dan perbanyak prestasi baik akademik maupun nonakademik karena hal tersebut sangat membantu dalam penulisan esai dan wawancara.
“Saya menyakini selain usaha dan sebagainya, ada hal yang tidak boleh kita tinggalkan saat kita akan meraih sesuatu yakni ridho dan doa orang tua,” kata Uswah.