Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Checkpoint Charlie di Jayawijaya

Dipicu tuduhan rasisme, unjuk rasa di Wamena, Papua, berakhir rusuh dan menewaskan puluhan orang. Sebagian perusuh datang dari luar kota.

5 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kepulan asap dalam kerusuhan terlihat dari Markas Kepolisian Resor Jayawijaya di Wamena, Papua. ANTARA/Marius Wonyewun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DWI Josanyoto melongok ke luar jendela sewaktu terdengar suara tembakan dari arah Jalan Pikhe. Orang berkelimun di jalan di depan rumahnya. Api menjilat-jilat rumah toko di sepanjang jalan itu. Asap pekat meruah. Pohon-pohon roboh, malang-melintang menutup jalan. Di luar ruko, aroma bensin meruap di mana-mana. Merasa tak aman, pendatang asal Lumajang, Jawa Timur, itu keluar dari ruko miliknya.

Massa mendekat ke arah rukonya. Mereka menenteng parang sembari berteriak-teriak. Sebagian yang lain melempari ruko yang berjejer di sepanjang jalan. Dwi bergidik ketakutan. Seorang tetangganya, warga asli Papua, mencegah sekelompok orang yang hendak membakar tempat usahanya. “Jangan bakar di sini. Ini wilayah saya,” kata Dwi, Rabu, 2 Oktober lalu, menirukan ucapan tetangganya.

Tetangga itu meyakinkan Dwi bahwa rukonya tak bakal dibakar. “Sudah, di sini saja. Kamu aman.”

Mengikuti saran itu, Dwi berlindung di rukonya sendiri. Dari lantai tiga, pria 40 tahun itu melihat area pertokoan di Jalan Pikhe, salah satu jalan yang ramai di Wamena, Papua, telah berubah menjadi lautan api. Dwi berhitung dengan cemas: bertahan atau keluar. Di luar, massa makin beringas.

Dwi mendengar rukonya digedor. Bergegas dia ke lantai satu. Ia melihat Utu, kenalannya dari Kurima, distrik di luar Wamena, berada di antara massa. Kurima bisa ditempuh dalam satu jam menggunakan kendaraan bermotor dari Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya. Utu sehari-hari kuliah sembari menjadi tukang ojek dengan menyewa sepeda motor milik Dwi. “Ayo, kamu keluar,” kata Utu, seperti ditirukan Dwi.

 


 

Kata “keras” inilah yang menjadi sumber masalah. Sang murid merasa Riris menyebutnya “kera”. Tapi, hingga selesai pela­jaran, Pahabol diam saja. Isu rasisme muncul dua hari kemudian.

 


 

Utu mengawal Dwi berjalan di antara iring-iringan orang. Ia dibentak-bentak massa. Seseorang berteriak, “Bakar semua, bakar semua!” Seseorang yang lain menyabetkan parang ke arah Dwi, yang menangkis dengan tangan kosong sehingga pergelangan tangan kanannya sobek.

Di tengah jalan, Dwi bertemu dengan warga pendatang lain dan digiring menuju suatu tempat. Mereka berjalan menembus massa yang bergelegak. “Bawa ke gereja,” seseorang berteriak.

Di tengah jalan, Dwi melihat dokter Soe-ko Marsetiyo berusaha menyelamatkan seorang warga pendatang yang dihajar massa. Darah bercucuran. Dwi jeri dan tak bisa berbuat apa-apa. Belakangan, Dwi mengetahui dokter Soeko menjadi satu dari 31 korban tewas dalam kerusuhan ini.

Utu mengawal Dwi hingga di depan gereja. Pemuda 23 tahun itu kemudian menghilang di tengah kerumunan.

 

 

KERUSUHAN pada 23 September itu bermula dari salah paham antara seorang guru ekonomi dan pelajar di Sekolah Menengah Atas PGRI 1 Wamena. Pelajar menuduh guru ekonomi pengganti, Riris Teodora Panggabean, mengucapkan kata rasis. Lima hari sebelumnya, Riris Teodora mengajar di kelas XII Ilmu Pengetahuan Sosial dan memeriksa pekerjaan rumah membuat bagan akuntansi. “Rupanya, ada sepuluh pelajar yang tak mengerjakan tugas,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Jayawijaya Ajun Komisaris Suheriadi.

Riris tiba di Wamena tiga bulan lalu dan mulai mengajar dua pekan sebelum kejadian. Polisi telah meminta keterangan Riris pada hari kerusuhan. Ia tak bisa lagi ditemui untuk diwawancarai. Sejumlah narasumber mengatakan Riris telah meninggalkan Wamena.

Kepada polisi, Riris mengaku meminta anak yang tidak mengerjakan tugas berdiri di depan kelas. Salah satunya Anto Pahabol. Versi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perwakilan Papua serta Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hasegem, nama anak ini adalah Nathan Pahabol. Kepada murid tersebut, Riris berkata, “Baca yang keras agar teman lain ikut dengar.”

Kata “keras” inilah yang menjadi sumber masalah. Sang murid merasa Riris menyebutnya “kera”. Tapi, hingga selesai pela-jaran, Pahabol diam saja. Isu rasisme muncul dua hari kemudian. Di sejumlah grup percakapan WhatsApp, beredar meme yang menampilkan foto Riris dengan keterangan ada guru yang mengucapkan kata “monyet” kepada siswa di SMA PGRI 1 Wamena. “Kasus ini tak ramai hingga Sabtu pagi,” kata Kepala Perwakilan Komnas HAM Wilayah Papua Frits Ramandey. Frits juga sempat bertemu dengan Riris.

Pada Sabtu siang dua hari sebelum kerusuhan, sejumlah pelajar asli Papua berkumpul di halaman sekolah. Mereka rupanya menunggu Riris Teodora. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Debora Agappa, kemudian mempertemukan Riris dengan para siswa. Kedua pihak kemudian diperhadapkan soal ucapan “kera”.

Dalam pertemuan itu, dugaan rasisme tetap tak terang. Menurut Ajun Komisaris Suheriadi, ada siswa yang mengaku mendengar Riris mengucapkan “kera”. Tapi siswa lain mengaku tak mendengarnya. Karena tak ada titik temu, Debora meminta masalah tak dibesar-besarkan. Frits menambahkan, siang itu sebenarnya Riris dan sejumlah pelajar sudah saling memaafkan. “Mereka bahkan sempat berpelukan dan bersalaman,” kata Frits.

Pertemuan pada Sabtu itu tak memuaskan pihak lain. Dua hari berikutnya, mereka menggelar unjuk rasa di sekolah, yang kemudian meluas menjadi kerusuhan massal. Senin pagi sebelum kerusuhan, sejumlah pelajar SMA PGRI 1 Wamena berkumpul di halaman tengah. Mereka menuntut kasus dugaan rasisme oleh Riris dituntaskan.

Selain berunjuk rasa, mereka mulai melempari kaca sekolah dengan batu, mero-bohkan tiang bendera, dan merobek bendera. Karena situasi makin tak terkendali, seorang guru menghubungi polisi. Menurut temuan Komnas HAM, perusakan bendera dilakukan dua hari sebelumnya. “Pada Sabtu malam, ada orang panjat pagar sekolah. Mereka merusak kaca dan merobohkan tiang bendera,” tutur Frits.

Pagi itu, kelompok pelajar yang diwakili dua orang, yakni BE, 19 tahun, alumnus SMA PGRI 1 Wamena, dan Vn, 23 tahun, yang mengaku sebagai tokoh pemuda setempat, menyampaikan tuntutan kepada polisi. Polisi pun mengarahkan siswa agar membuat laporan resmi ke Polres. Menurut Suheriadi, dua pemuda inilah yang memprovokasi pelajar agar berduyun-duyun ke kantor polisi. “Makanya, semua siswa bergerak dari sekolahnya menuju Polres,” katanya.

Lima ratus meter dari SMA PGRI 1, rombongan pelajar melewati SMA YPK Betlehem. Di sana, sejumlah siswa berseru, “Yang merasa monyet, ikut kita!” Teriakan ini tak ditanggapi murid SMA YPK. Sebelum melanjutkan perjalanan, anggota rombongan sempat berkelahi dengan siswa SMA YPK.

Di persimpangan Jalan Bhayangkara dan Jalan Sudirman, iring-iringan pelajar terbelah. Sebagian bergerak ke kiri menuju SMA Negeri 1 Wamena. Sisanya mengarah ke kantor Bupati Jayawijaya dan SMA Yapis, yang bersebelahan.

Arak-arakan mengajak para murid SMA Yapis berunjuk rasa menyebabkan perkelahian kembali pecah. Polisi kemudian menangkap tujuh pelajar yang kedapatan membawa senjata. Melihat iring-iringan massa kian ricuh, polisi memutuskan menutup jalur menuju kota. “Kami imbau toko-toko tutup untuk menghindari penja-rahan,” ujar Suheriadi.

Di situ, massa terpecah ke banyak tempat. Sebagian bertahan di kantor bupati. Sebagian lain dipukul mundur polisi ke wilayah Homhom agar tidak membuat kerusuhan di pusat kota. Sebagian pelajar yang berada di kantor bupati menuntut kasus dugaan rasisme dituntaskan. Mereka juga mendesak tujuh pelajar yang ditangkap polisi dibebaskan.

Bupati Jayawijaya John Richard Banua, yang menerima mereka, berjanji melobi polisi agar membebaskan ketujuh pelajar. Syaratnya, mereka tidak melakukan kerusuhan. John pun meninggalkan kantornya menuju kantor Polres.

Ketika Bupati pergi, seseorang membopong seorang pelajar yang tertembak di bagian kaki. Bupati John tak tahu siapa yang menembak. “Di dalam kantor bupati tidak ada aparat,” kata John. Para pelajar yang masih berada di sana kemudian melam-piaskan kemarahan dengan membakar kantor bupati. Ketika kembali hendak mengabarkan tujuh pelajar telah dibebaskan, John mendapati kantornya telah terbakar. “Bupati kemudian membubarkan para pelajar ini,” kata Theo Hasegem dari Yayasan Keadilan dan Ke-utuhan Manusia.

Sisa kehancuran dari kerusuhan di Wamena, Oktober 2019. TEMPO/Wayan Agus Purnomo

Pelajar yang dibubarkan itu malah bergabung dengan massa di Homhom dan Pikhe. Dwi Josanyoto mengenali beberapa orang yang turun ke jalan hari itu. Sebagian adalah tetangganya. “Bahkan ada yang rumahnya pernah saya inapi,” ucap Dwi. Ia sempat memeluk seorang warga, mahasiswa, yang dikenalnya. Pria yang sudah sepuluh tahun tinggal di Wamena itu mengaku pernah mengantarkan keluarga maha-siswa tersebut ke suatu tempat. “Aduh, kawan, kenapa jadi begini,” kata Dwi meringis.

Sebagian datang dari luar Wamena, seperti Kurula dan Ke Muai. Massa inilah yang membakar ruko tempat tinggal Dwi Josanyoto. Pada saat pembakaran ruko di Pikhe dan Homhom tersebut, polisi menangkap tujuh pelajar lain. Mereka kemudian ditahan di Polres Jayawijaya. Tapi kerusuhan telanjur tak terkendali. Api juga menjalar di Pasar Wouma. Di lokasi ini, perusuh membakar lebih dari 100 ruko.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian RI Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo menuduh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sebagai dalang kerusuhan di Wamena. Menurut Dedi, KNPB menyusup ke kerumunan orang dengan menggunakan seragam SMA. “Mereka memprovokasi massa agar membakar ruko dan kantor pemerintahan,” ujar Dedi.

KNPB Pegunungan Tengah Wilayah Adat Lapago membantah terlibat kerusuhan. Melalui siaran pers yang dititipkan kepada seorang jurnalis lokal, KNPB menyatakan tak pernah memprovokasi masyarakat agar menyerang pendatang. Mereka meminta kepolisian menunjukkan bukti keterlibatan KNPB. “Tuduhan itu tidak benar,” demikian tertulis dalam rilis itu.

Polisi menetapkan sembilan tersangka kerusuhan. Enam orang telah ditangkap dan tiga lainnya masih buron. Dua tersangka di bawah umur. Adapun mereka yang buron adalah Kepala Kampung Megapura berinisial YA, 44 tahun, pegawai negeri Dinas Pertanian Jayawijaya berinisial SK (44), dan seorang sopir angkot berinisial PS (30). “Peran mereka adalah mengerahkan massa,” kata Ajun Komisaris Suheriadi.

Kepada Tempo, Suheriadi menunjukkan sejumlah foto yang menampilkan pelaku kerusuhan. “Mereka sedang kami kejar.”

 

 

MENJELANG petang, ratusan warga pendatang masih tersekap di tiga gereja. Diliputi kengerian, Dwi Josanyoto menunggu polisi membebaskannya. Saat itulah teleponnya berdering. Seorang pemuda membentaknya, “Kamu mau lapor siapa?”

Telepon seluler milik para sandera kemudian dikumpulkan. Yohanes Leri, pe--muda asal Manggarai, mendengar sese-orang berucap, “Karena anak-anak belum bebas, kalian juga belum bisa bebas.” Yang lain mengeluarkan ancaman, “Kalau sampai jam enam pelajar-pelajar itu tidak dilepas, ya, lihat saja.”

Ketika hari mulai gelap, polisi dan massa berhadap-hadapan. Mereka hanya dipisahkan jembatan kecil di dekat Gereja Kristen Injili di Homhom. Tembakan meletus berkali-kali. Negosiasi pembebasan sandera dimulai.

Theo Hasegem bersama seorang pendeta dan perwakilan pemuda menghampiri massa yang masih bersiaga. Kepada Theo, massa menyampaikan tuntutannya. “Bapa, kami punya teman tujuh orang ditahan di Polres. Kembalikan dulu, baru kami lepas yang 500 ini.”

Theo meneruskan pesan itu kepada Suheriadi. “Kalau tujuh orang ini ditahan terus, para sandera itu bisa mendapat dampak buruk.” Suheriadi awalnya menolak permintaan massa. “Tak semudah itu membebaskan pelaku kerusuhan,” katanya. Belakangan, ia melunak. Suheriadi bersedia membebaskan sandera asalkan ada jaminan semua warga pendatang yang ditawan dilepaskan.

Pertukaran sandera dengan tahanan di jembatan Homhom seperti adegan dalam film Bridge of Spies, saat Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA) dan Badan Intelijen Uni Soviet (KGB) bertukar tahanan di Checkpoint Charlie, titik untuk menyeberangi Tembok Berlin. Di tengah jalan, Dwi Josanyoto sempat berpapasan dengan pelajar yang ditangkap polisi. Setelah melewati jembatan, kakinya lemas. Ia tak menyangka bisa kembali dengan selamat. Saat keluar dari gereja, sebagian warga pendatang masih sempat bersalam-salaman dengan massa.

Suheriadi berteriak gusar, “Buruan, Le-baran masih lama!”

WAYAN AGUS PURNOMO (WAMENA), EGI ADYATAMA (JAKARTA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Wayan Agus Purnomo

Wayan Agus Purnomo

Meliput isu politik sejak 2011 dan sebelumnya bertugas sebagai koresponden Tempo di Bali. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk menyelesaikan program magister di University of Glasgow jurusan komunikasi politik. Peraih penghargaan Adinegoro 2015 untuk artikel "Politik Itu Asyik".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus