Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Agar Darah Tak Menuntut Darah

Masyarakat lokal bertaruh nyawa menyelamatkan warga pendatang dari amuk massa. Telah dianggap sebagai saudara.

5 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Prajurit TNI mendata warga yang akan meninggalkan Wamena di Bandara Wamena, Jayawijaya, Papua, 1 Oktober 2019. ANTARA/Iwan Adisaputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THEODORUS Pawika berdiri di depan pintu rumah dengan tangan kosong. Di seberang pagar, ratusan orang menggenggam batu, parang, panah, dan tombak. Mereka memaksa Theodorus mengeluarkan warga pendatang yang dia sembunyikan di dalam rumah. Massa menghardik sambil mengacung-acungkan senjata. Theodorus, yang ditemani seorang cucu perempuannya, bergeming.

Di Pasar Wouma di Wamena, yang jarak-nya tak lebih dari 50 meter dari tempat tinggal Theodorus, massa makin beringas. Setelah melempari rumah toko dengan batu, mereka menyiramkan bensin dan menyulutnya. Sebagian menyisir rumah di sekitar pasar yang dicurigai dihuni pendatang.

Di depan kediaman Theodorus, massa mulai tak sabar melihat si empunya -rumah tak bereaksi terhadap tuntutan mereka. Ketika mereka hendak menerabas pagar, Theodorus mengangkat topi. “Silakan bunuh saya. Lebih baik mati di tanah milik sendiri,” katanya pada Selasa, 1 Oktober lalu, menceritakan lagi ucapannya saat kejadian.

Aneh, mendengar ucapan itu, massa se-rempak menjauh dari rumah Theodorus. Mereka kembali bergabung dengan kerumunan orang yang sedang membakar pasar.

Hari itu, setidaknya 101 ruko terbakar di Pasar Wouma. Agu Hubby, warga Papua pemilik ruko, menaksir rugi hingga Rp 8 miliar. Pasar Wouma menjadi satu dari tiga titik terparah, selain Kampung Homhom dan Kampung Pikhe di Distrik Hubikiak, dalam kerusuhan itu. Pasar Wouma berjarak 10 menit berjalan kaki dari pusat Kota Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Papua.

Theodorus mengontrakkan ruko miliknya kepada seorang warga asal Madura bernama Udin. Di rumah toko itu, Udin mengajak 15 saudaranya tinggal. Mereka membuka warung makan dan toko kelontong. Di samping ruko, pensiunan militer ini mendirikan balai-balai yang belakangan berfungsi sebagai pangkalan ojek. Sehari-hari, para tukang ojek melayani penumpang yang pulang dari berbelanja di Pasar Wouma.

Siang itu, Theodorus sedang bersantai di balai-balai tersebut sembari berbincang dengan beberapa tukang ojek. Dari kejauh-an, pria 60 tahun itu melihat gerombolan orang mendekat dari arah pusat kota menuju Pasar Wouma. Sembari mengacungkan parang, panah, dan tombak, massa memekikkan “Papua Merdeka!”. Saat sejumlah orang berteriak “Papua!”, massa yang lain menyahut dengan teriakan “Merdeka!”.

Theodorus mencium bahaya mendekat. Ia meminta Udin dan ke-15 saudaranya yang berada di ruko berlindung di rumahnya dengan menyelinap lewat pintu belakang. Tukang ojek, yang juga warga pendatang, ikut bersembunyi.

Sebagian orang yang tak ikut membakar pasar rupanya sempat melihat warga pendatang menyelusup ke rumah Theodorus. Mereka pun meneriaki lelaki itu, “Hei, kenapa kamu tampung orang pendatang?” Theodorus menjawab bahwa warga non-Papua juga berhak mencari nafkah di Wamena. “Mereka tinggalkan anak-istri untuk cari uang di sini.” Itu ucapannya sebelum menutupnya dengan, “Lebih baik mati di tanah milik sendiri.”

Theodorus berjaga di depan rumahnya sepanjang hampir delapan jam. Menjelang gelap, kerusuhan mereda. Massa beringsut meninggalkan Wouma dan terurai entah ke mana. Ketika situasi mulai dirasa aman, Theodorus menelepon polisi. “Adik, saya simpan sekian orang, tolong antar pulang,” katanya kepada polisi. Tak lama kemudian, truk polisi datang menjemput Udin dan yang lain, lalu membawa mereka ke kantor Kepolisian Resor Jayawijaya.

Sepanjang pekan lalu, Tempo menelusuri titik-titik kerusuhan di Wamena. Kota belum sepenuhnya pulih. Tentara bersenjata laras panjang masih berseliweran di pusat kota. Di Homhom, Pikhe, dan Wouma, puing masih berserakan. Aroma daging terbakar yang mulai membusuk meruap ke permukaan. Di beberapa titik, terutama di pinggir kota, warga masih menenteng senjata tajam saat ke luar rumah. Ketika Tempo menyambangi Pasar Wouma, sekelompok warga lokal tampak berkerumun. Mereka memandang wajah-wajah asing dengan tatapan curiga.

Titus Kogoya di Wamena, Papua. TEMPO/Wayan Agus

Namun orang seperti Theodorus juga masih banyak. Di Kampung Mawampi, Distrik Wesaput, yang terletak di belakang Bandar Udara Wamena dan terhubung dengan episentrum kerusuhan di Homhom dan Pikhe melalui Jalan Jibama, Titus Kogoya menjadi pahlawan bagi warga pendatang.

Pria 45 tahun itu baru kembali dari pusat kota saat melihat asap membubung tinggi di Pikhe. Nalurinya langsung memerintahkan dia bersiaga. Titus meminta sejumlah pemuda menebang pohon di ujung kampung, lalu merobohkannya ke jalan. “Jalan kami palang. Jangan ada orang luar bisa masuk,” kata Titus. Bersama adiknya, Abini Kogoya, ia menggeprak-geprak warga non-Papua agar lekas bersembunyi.

Dari kejauhan, suara tembakan terdengar. Dalam keadaan kalut, Titus hanya berpikir bagaimana agar tak ada perusuh yang melihat warga pendatang berada di kampungnya. Sebab, warga lokal kerap berperilaku brutal kala berunjuk rasa. Pegawai negeri di Pemerintah Kabupaten Tolikara itu tak mau ada darah tumpah di kampungnya. “Kalau secara adat, darah pasti menuntut darah,” ujarnya.

Penduduk pendatang yang sehari-sehari berjualan di sepanjang jalan kampung itu bererot masuk ke rumah Titus. Tukang ojek dulu-duluan memarkir sepeda motor. Perempuan dan anak-anak bergegas masuk ke ruang tamu. Di rumah keluarga Kogoya tersebut, lebih dari 80 warga non-Papua berjejalan. “Teman-teman mesti sembunyi muka,” kata Titus.

Pemuda Mawampi berjaga dengan senjata tajam di titik-titik masuk kampung. Titus melarang orang luar masuk. Ia dan para tetangganya menginginkan kerukunan di Kampung Mawampi terus dijaga. Ketika Wouma dilanda kerusuhan serupa 19 tahun lalu, Mawampi tetap aman. Dalam kerusuhan pada Oktober 2000 itu, 7 warga Papua dan 24 pendatang tewas. “Kalau ada orang luar datang, tanya baik-baik,” ujar Titus kepada pemuda.

Di Mawampi, para pendatang, yang umumnya berasal dari Toraja, Jawa, dan Madura, mengontrak rumah milik warga kampung. Para pendatang itu kemudian membuka kios kelontong atau warung makan. Sebagian dari mereka menjadi tukang ojek. Abini Kogoya menuturkan, sebagian warga pendatang itu sudah seperti saudara sendiri. Saat ada warga lokal tertimpa musibah, mereka menyumbangkan sesuatu. “Kalau kami kekurangan uang saat belanja, mereka juga bersedia memberikan utang,” tutur Abini.

Pada Senin akhir September lalu, para pengungsi mulai mengambil sepeda motor mereka di halaman rumah Titus. Tapi mereka belum menghuni kembali rumah kontrakannya. Sebagian dari mereka masih tinggal di Markas Komando Distrik Militer dan kantor Polres Jayawijaya. Sebagian lagi memilih mudik ke kampung halaman. “Kami pulang dulu memulihkan trauma,” kata Abini, menuturkan ucapan tetangganya.

WAYAN AGUS PURNOMO (WAMENA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Wayan Agus Purnomo

Wayan Agus Purnomo

Meliput isu politik sejak 2011 dan sebelumnya bertugas sebagai koresponden Tempo di Bali. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk menyelesaikan program magister di University of Glasgow jurusan komunikasi politik. Peraih penghargaan Adinegoro 2015 untuk artikel "Politik Itu Asyik".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus