Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes tidak mendukung pemilihan kepala daerah atau pilkada dikembalikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Ia menjelaskan mekanisme pilkada dipilih langsung oleh rakyat justru melahirkan sejumlah hal positif.
Salah satunya, menurut Arya, 0pilkada langsung sekarang menjadi sumber rekrutmen politik untuk tingkat nasional.
Ia mencontohkan figur Joko Widodo atau Jokowi yang muncul dari pemilihan wali kota Solo bisa terus naik hingga menjadi Presiden Indonesia.
"Pak Jokowi misalnya. Dari Pilkada Solo, Jakarta, sampai jadi presiden. Lalu muncul inovator-inovator politik lokal seperti Pak Ridwan Kamil dan Bu Risma," katanya dalam diskusi "Ancaman Pilkada Tidak Langsung, Amandemen Konstitusi, dan Kembalinya Oligarki" di Hotel IBIS Tamarin, Jakarta, Ahad, 8 Desember 2019.
Selain itu, kata Arya, partisipasi pemilih dalam pilkada langsung cenderung meningkat. Pada Pilkada 2018 partisipasi pemilih mencapai 73 persen atau lebih tinggi daripada pemilihan presiden 2009 atau Pilpres 2014.
"Ada antusiasme publik. Kalau Pilkada langsung dihapuskan, maka sumber rekrutmen hilang," tuturnya.
Arya menjelaskan jika biaya yang tinggi menjadi alasan pemerintah melontarkan wacana Pilkada kembali ke DPRD maka argumennya amat lemah. Pasalnya yang salah satu yang menyebabkan biaya politik mahal adalah partai politik yang tidak transparan.
"Mahal karena memang yang menyumbangnya adalah proses pencalonan, di beberapa tempat belum transparan, masih ada mahar. Kalau partai mau membenahi dan lebih terbuka maka biaya di awal berkurang," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini