Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH lebih dari 1.500 anakan siput lola dan 500 bibit kerang kima dilepaskan Agus Kusnandi ke perairan Tual di tenggara Maluku sejak awal Januari lalu. Penyebabnya, biota laut yang masuk jenis hewan dilindungi itu terancam mati karena dana untuk membeli pakan di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Loka Konservasi Biota Laut Tual tak ada lagi. “Secara fakta, UPT Tual ditutup karena anggaran disetop akibat program reorganisasi LIPI,” ujar Agus Kusnandi, mantan Kepala UPT Tual, Jumat pekan lalu.
UPT Tual merupakan satuan kerja Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang didirikan pada 2001. Tahun lalu, menurut Agus, LIPI mengucurkan dana Rp 2,3 miliar untuk anggaran kantornya. Dari angka itu, jatah penelitian mencapai Rp 325 juta. Sisanya terserap di berbagai pos belanja, termasuk gaji pegawai.
“Penutupan” UPT Tual berbarengan dengan pencopotan Agus dari posisinya. Pada 9 Januari lalu, LIPI mengalihkan posisi Agus menjadi peneliti. Menurut Agus, rekan kerjanya mengalami nasib serupa. Ada yang dicopot dari jabatan hingga dimutasi ke daerah lain. Kini, termasuk Agus, tersisa empat pegawai dari 15 pekerja yang sebelumnya bertugas di UPT Tual. “Nasib saya terkatung-katung,” kata Agus. Ia kerap mengadukan situasi ini kepada para profesor dan pegawai LIPI yang menolak perombakan organisasi tersebut.
Pada awal Januari lalu, Kepala LIPI Laksana Tri Handoko merombak besar-besaran organisasi LIPI. Ia menutup sejumlah unit dan membentuk biro baru. Perombakan itu juga berarti memangkas jabatan struktural serta memindahkan sekitar 2.500 pegawai dan peneliti LIPI dari posisinya. Sebagian berpindah kantor.
Menurut Handoko, perombakan bertujuan menciptakan efisiensi di tubuh LIPI. Sebab, dari total 4.500 pegawai, sekitar 2.500 orang merupakan pegawai administrasi. “Kami ingin ada formasi yang diubah agar anggaran bisa lebih banyak dipakai untuk penelitian,” ujarnya, Jumat pekan lalu.
Kebijakan Handoko ditentang para profesor dan pegawai LIPI. Mereka mengadu ke Dewan Perwakilan Rakyat dan bergerilya ke Istana. Tuntutannya satu: Handoko harus mundur. Mereka menuduh Handoko menyebabkan lembaga sains tersebut bergolak.
Sebelum kegaduhan ini, benih gejolak tumbuh pada April tahun lalu. Ketika itu, pelaksana tugas Kepala LIPI, Bambang Subiyanto, mendongkel empat pejabat tinggi pratama lembaga penelitian dan menempatkan mereka sebagai peneliti. Di antaranya Kepala Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Peneliti Dwi Eny Djoko Setyono serta Kepala Biro Organisasi dan Sumber Daya Manusia Heru Santoso.
Menurut Bambang, keempatnya dicopot setelah dia mendapat keluhan dari pegawai eselon satu dan anak buah mereka. Masalah ini dibawa ke rapat pimpinan yang, antara lain, dihadiri pelaksana tugas Sekretaris Utama LIPI ketika itu, Laksana Tri Handoko. Keputusannya, kata Bambang, perlu ada asesmen terhadap keempat pejabat tersebut. Penilaian Indo Metamorph Consulting yang disewa LIPI dijadikan landasan pemberhentian. “Saya yang teken pemberhentiannya dari surat yang dibuat Handoko,” ujar Bambang.
Tak terima dicopot, empat pejabat tersebut melaporkan pemberhentian itu ke Komisi Aparatur Sipil Negara atau KASN. Dwi Eny, misalnya, mengatakan pemecatannya cacat prosedur karena selama ini dia memperoleh penilaian 100 persen alias tak punya cela. Selain itu, pencopotannya melanggar Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yang menyebutkan pejabat tidak bisa diganti sebelum menjabat selama dua tahun. Saat dicopot, Dwi Eny baru menjabat 21 bulan.
Menurut Sarip, dalam perombakan organisasi saat ini, Handoko tidak pernah mensosialisasinya kepada pegawai LIPI. Profesor politik LIPI yang lain, Syamsuddin Haris, menambahkan bahwa kebijakan ini justru mengecilkan fungsi LIPI dari lembaga penghasil ilmu pengetahuan menjadi lembaga birokrasi penelitian. Reorganisasi dan restrukturisasi, kata Syamsuddin, berpotensi merumahkan 1.500 anggota staf pendukung dan memaksa 600 peneliti di LIPI pensiun dini. “Kebijakan ini tidak visioner dan tanpa rencana strategi,” ujarnya.
Pada 7 Juni 2018, Ketua KASN Sofian Effendi menyurati LIPI dan menyatakan keputusan Bambang tidak cermat. Dua pekan kemudian, Handoko, yang baru menjabat Kepala LIPI menggantikan Bambang, membalas warkat tersebut. Handoko menyampaikan kepada KSAN bahwa dia telah menegur Bambang.
Satu setengah bulan kemudian, Handoko kembali menyurati Sofian. Isinya, ia mengakui ketidakcermatan LIPI memberhentikan Dwi Eny. Handoko juga meminta Sofian merestui seleksi terbuka jabatan pemimpin di LIPI. Menurut Sofian, ia menolak dan meminta LIPI menyelesaikan masalah internalnya lebih dulu.
Handoko membatalkan pemberhentian Dwi Eny dengan mengeluarkan surat keputusan Kepala LIPI bernomor 772 pada 6 Agustus tahun lalu. Pada hari yang sama, Handoko membuat surat keputusan bernomor 799 yang isinya memberhentikan Dwi Eny dari kepala pusat pembinaan dan menjadikannya peneliti ahli utama.
Menurut Handoko, surat terakhir yang dibuatnya itu tak menyalahi aturan karena, pada saat surat dikeluarkan, Dwi Eny sudah dua tahun menjabat. “Ini melalui proses yang panjang dan sebentar lagi selesai,” ujarnya. Sofian Effendi menyebutkan keputusan Handoko hanya untuk menyiasati aturan. “Ini dagelan dan malah memperpanjang masalah di LIPI,” katanya.
Belum reda kontroversi pencopotan Dwi Eny dan kawan-kawan, Handoko mengeluarkan kebijakan merombak LIPI lewat reorganisasi dan restrukturisasi pada awal Januari lalu. Inilah yang ditolak habis-habisan oleh para profesor dan pegawai LIPI. Pada akhir Januari lalu, mereka bertemu dengan Komisi VII DPR, yang membidangi riset dan teknologi. “Kami jelaskan bahwa ini reformasi terburuk di LIPI,” ujar profesor politik LIPI, Sarip Hidayat. Reorganisasi LIPI pernah dilakukan pada 1986, 2000-an, dan 2014.
Menurut Sarip, dalam perombakan organisasi saat ini, Handoko tidak pernah mensosialisasinya kepada pegawai LIPI. Profesor politik LIPI yang lain, Syamsuddin Haris, menambahkan bahwa kebijakan ini justru mengecilkan fungsi LIPI dari lembaga penghasil ilmu pengetahuan menjadi lembaga birokrasi penelitian. Reorganisasi dan restrukturisasi, kata Syamsuddin, berpotensi merumahkan 1.500 anggota staf pendukung dan memaksa 600 peneliti di LIPI pensiun dini. “Kebijakan ini tidak visioner dan tanpa rencana strategi,” ujarnya.
Selain ke DPR, sejumlah profesor LIPI yang dipimpin profesor geoteknologi, Jan Sopaheluwakan, bergerak ke Istana. Mereka menemui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko pada Kamis tiga pekan lalu. Dalam pertemuan itu, para profesor menggulirkan “mosi tidak percaya” terhadap Handoko. Syamsuddin Haris, yang hadir dalam kunjungan itu, mengklaim Moeldoko menyetujui usul tersebut. Hingga Kamis pekan lalu, sudah ada 40 profesor yang meneken mosi.
Moeldoko mengingatkan, dalam setiap perubahan pasti terjadi guncangan. Ia pun menyarankan pejabat LIPI dan para profesor bertemu karena belum tentu perubahan tersebut buruk. “Jangan mencari perbedaan yang akhirnya tegang,” katanya.
Untuk sementara, kegaduhan di LIPI mereda setelah pemerintah turun tangan. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin membentuk tim penyelaras reorganisasi LIPI. Tim ini dibentuk setelah Syafruddin memanggil Handoko ke kantornya. “Untuk menyelesaikan masalah yang tak bisa diatasi LIPI,” ujar Syafruddin.
HUSSEIN ABRI DONGORAN, ADE RIDWAN (BOGOR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo