Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ancaman Sentralisasi Lewat Surat Edaran

Surat Edaran Kemendagri yang mengizinkan sejak dini kepada penjabat kepala daerah untuk memecat hingga memutasi ASN diduga mengarah pada sentralisasi kekuasaan. Wewenang penjabat kepala daerah itu bisa saja digunakan untuk memaksakan kehendak pemerintah pusat untuk kepentingan Pemilu 2024.

19 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah kepala daerah di Lapangan Pancasila, Simpang Lima, Semarang. Tempo/Budi Purwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Seharusnya penjabat kepala daerah dilarang memutasi maupun memecat ASN karena mereka bukan kepala daerah definitif.

  • Surat Edaran Mendagri itu berpotensi melanggar undang-undang.

JAKARTA – Keputusan Kementerian Dalam Negeri yang mengizinkan sejak dini kepada penjabat kepala daerah untuk memecat, memutasi, hingga memberi sanksi lainnya kepada pejabat maupun aparatur sipil negara (ASN) dianggap sebagai bagian dari upaya sentralisasi kekuasaan. Aturan tersebut dianggap membahayakan demokrasi karena penjabat kepala daerah yang ditunjuk pemerintah pusat itu memiliki kewenangan setara dengan kepala daerah definitif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pakar hukum tata negara dari Themis Indonesia, Feri Amsari, berpendapat, seharusnya penjabat kepala daerah dilarang memutasi maupun memecat ASN. Sebab, mereka bukan kepala daerah definitif yang dipilih melalui mekanisme pemilihan kepala daerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Akibatnya bakal berbahaya bagi proses demokrasi sehingga nanti bakal kian sentralistik,” kata Feri, Ahad, 18 September 2022.

Feri beralasan, penjabat kepala daerah, baik di provinsi maupun di kabupaten dan kota, yang diangkat belakangan ini tanpa melalui proses yang transparan dan mekanisme yang jelas. Proses pengangkatan para penjabat kepala daerah itu juga bermasalah sesuai dengan temuan Ombudsman Republik Indonesia.

Ombudsman justru merekomendasikan agar pemerintah lebih dulu membuat peraturan pemerintah untuk mengatur mekanisme pengangkatan penjabat kepala daerah. Peraturan pemerintah itu merupakan perintah Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 8 April 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Pekan lalu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menerbitkan Surat Edaran Nomor 821/5492/SJ tentang Persetujuan Menteri Dalam Negeri kepada Pelaksana Tugas, Penjabat, Penjabat Sementara Kepala Daerah dalam Aspek Kepegawaian Perangkat Daerah. Surat yang diteken pada 14 September ini terdiri atas lima poin.

Pada poin ke-4 Surat Edaran tersebut memuat tentang izin Kemendagri bagi penjabat, penjabat sementara, maupun pelaksana tugas kepala daerah untuk memecat, menghentikan sementara, menjatuhkan sanksi, memutasi, serta melakukan tindakan hukum lainnya kepada pejabat dan ASN di lingkungan pemerintahan daerah.

Menurut Feri, Surat Edaran Mendagri itu berpotensi melanggar undang-undang. Surat edaran itu juga akan memungkinkan penjabat kepala daerah menyingkirkan orang-orang yang tak sejalan dengan kepentingan pemerintah pusat. Apalagi ratusan daerah akan dipimpin penjabat kepala daerah sebelum pelaksanaan pemilihan presiden 2024 maupun pilkada serentak 2024.

Alasan Feri sehingga gusar dengan indikasi sentralisasi pemerintahan ini adalah merujuk Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 68 Tahun 2021 terkait dengan Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 atas Pengujian Formil Undang-Undang Cipta Kerja. Instruksi itu berisi perintah agar para kepala daerah, termasuk penjabat kepala daerah, terus menjalankan Undang-undang Cipta Kerja. Padahal putusan MK sudah tegas menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat hingga dilakukan perbaikan.

Dosen hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, menilai Surat Edaran Menteri Tito tersebut dapat memicu praktik jual-beli jabatan di lingkup pemerintah daerah. “Jual-beli jabatan akan terjadi dan ini perlu diwaspadai karena penjabat kepala daerah dapat memutasi dan menyingkirkan orang-orang yang tak dikehendaki,” kata Charles.

Dalam konteks Pemilu 2024, Charles juga mewanti-wanti terjadinya konflik kepentingan penjabat kepala daerah dengan kepentingan pemerintah pusat. Apalagi jumlah daerah yang akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah pada 2022 dan 2023 mencapai 270 wilayah.

Ia berpendapat, bukan tidak mungkin para penjabat kepala daerah ini memiliki kepentingan sehingga ASN dimobilisasi untuk mendukung pasangan tertentu di pemilihan presiden 2024.

Menurut Charles, implikasi dari kewenangan penjabat kepala daerah tersebut dapat memicu ketidakpastian hukum. Sebab, karier pejabat daerah dan ASN di lingkup pemerintahan daerah bakal bergantung pada kebijakan penjabat kepala daerah. Mereka dapat dimutasi sewenang-wenang oleh penjabat kepala daerah karena tidak sesuai dengan kepentingannya. “Ini belum lagi soal kewenangan penerbitan perizinan yang bisa dilakukan oleh penjabat kepala daerah,” ujarnya.

Komisioner Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng melihat Surat Edaran Mendagri itu berpotensi mengganggu demokrasi di tingkat daerah. Sebab, hubungan penjabat kepala daerah dengan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) tak jelas. “DPRD tidak bisa mengawasi dan mengevaluasi kinerja penjabat kepala daerah karena evaluasi pertanggungjawaban penjabat kepala daerah ke Kementerian Dalam Negeri,” kata Endi Jaweng.

Persoalan lain, kata Endi Jaweng, Kementerian Dalam Negeri belum membuat aturan teknis tentang mekanisme evaluasi dan pertanggungjawaban para penjabat kepala daerah. Pemerintah bahkan tak melibatkan DPRD dalam proses evaluasi kinerja penjabat kepala daerah. Kondisi ini bakal berdampak buruk bagi otonomi daerah dan demokrasi di daerah.

Endi mencontohkan, Menteri Tito Karnavian pernah membuat surat kepada DPRD dan gubernur di masing-masing daerah yang bakal diisi penjabat kepala daerah. Mereka diminta mengusulkan tiga nama kandidat penjabat kepala daerah ke pusat. Setelah diusulkan, kewenangan sepenuhnya untuk memilih penjabat kepala daerah berada di Kementerian Dalam Negeri.

Kemendagri lalu memilih penjabat kepala daerah secara tertutup dan tanpa partisipasi publik sehingga sempat menuai penolakan dari pemerintah daerah setempat. “Masalah itu terjadi baru saat pengangkatan penjabat kepala daerah, belum ketika nanti dia sudah duduk jadi penjabat,” ujar Endi.

Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Benni Irwan, belum merespons upaya konfirmasi Tempo soal ini, kemarin. Sebelumnya, ia menjelaskan bahwa kewenangan mutasi dan pemberhentian tersebut diberikan agar penjabat kepala daerah dapat menjatuhkan sanksi kepada ASN. Misalnya, kata Benni, ketika ada ASN tersangkut kasus korupsi. “Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) Peraturan Pemerintah 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil bahwa pejabat harus menetapkan penjatuhan hukuman disiplin tingkat berat bagi ASN yang tersangkut korupsi,” kata dia, Jumat pekan lalu.

AVIT HIDAYAT

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus