TENTANG Muhammad Rasulullah berijtihad, terjadi debat. Mayoritas ulama mazhab Hanafi dan Hambali, seperti Ibn Hajib, Amidi, serta beberapa dari mazhab Syafii, yaitu Fakhr Razi, Baydhawi, dan sebagian ulama Mu'tazilah (Qadli Abd al-Jabbar, Abu al-Husayn al-Basri), menyebut Nabi memang berijtihad. Tetapi pendapat ini ditolak Ibn Hazm. Ia tokoh mazhab Dzahiri -- yang menafsirkan teks secara lahiriah itu. "Kafir berpendapat bahwa para nabi beriijtihad dalam hal syariat," katanya. Dia didukung oleh beberapa ulama Mu'tazilah lain seperti al-Jubbai dan Abu Hasyim. Menurut mereka, wahtu itu hukum Tuhan yang pasti. Jadi, wajib diikuti. Sedangkan ijtihad Rasul, dalam kasus tiadanya nash penjelas, bisa dianggap suatu hukum dhanni (dugaan). Jadi, terkadang bertentangan dengan hukum yang pasti. Lagi pula, kalau berijtihad, Rasul itu tak beda dengan manusia umumnya. Argumen ini ditanggapi kelompok awal tadi. Dugaan itu tentu ada, kata mereka, dan justru mau diputus. Nah, ijtihad Nabi jadi vonis yang mustahil salah, karena dia maksum atau bebas salah. Jadi, berbeda dengan manusia pada umumnya. Sunah atau tradisi Nabi, sumber ajaran kedua setelah Quran, adalah wahyu dari Allah. Tapi ada juga dari ijtihad Rasul, yang diputus tanpa lebih dahulu menunggu datangnya wahyu dari Allah. Allah kemudian membimbing hasil ijtihad nabi, dalam bentuk afirmasi wahyu, untuk dijadikan panutan umat. Pendapat Malik, Syafii, Ahmad, dan mayoritas ahli hadis itu disanggah ulama mazhab Hanafi. Rasul berijtihad setelah menunggu datangnya wahyu, bukan sesudahnya. "Mayoritas sahabat kami berpendapat, Rasul menunggu wahyu kalau ada sesuatu kasus yang tak jelas di wahyu sebelumnya. Kalau setelah menunggu, wahyu tak turun, pertanda dibolehkan berijtihad," tulis Abd al-Azis al-Bukhari di Kasyf al-Asrar (Penyigkap Rahasia). Lama masa tunggu berbeda juga. Di antaranya, tiga hari. Tapi jika kasus itu perlu putusan mendesak, Nabi tak menunggu wahyu. Misalnya khawatir tertinggal waktu salat, dalam kasus mencari air untuk bertayamum. Dan biasanya, menurut al-Ghazali, nabi berijtihad pada kasus soal-soal kecil atau furu'iyyah. Bahwa Nabi boleh berijtihad, tersebar di beberapa ayat Quran. Umpamanya di Surat al-Nisa' (Wanita) ayat 105, "Sesungguhnya, Kami turunkan kepadamu al-Kitab dengan kebenaran, supaya kau memutuskan hukum di antara manusia dengan apa yang diperlihatkan oleh Allah kepadamu." Juga di ayat 83, di surat yang sama. Ada juga di beberapa hadis. Menurut Dr. Nadiyah Syarif al-'Umari di buku Ijtihad al-Rasul (Ijtihad Rasulullah, 1981), Nabi berijtihad untuk empat bidang: soal duniawi, hal perang, vonis, dan perkara ibadat. Misalnya soal penyerbukan bunga pohon kurma. ketika baru sampai ke Madinah, Nabi melihat penduduk mengawinkan pohon kurma. "Kalau saya, lain dengan cara kalian itu," ujar Nabi kepada mereka. "Sampeyan melarang kami melakukan penyerbukan, padahal buah yang baik dihasilkan karena begitu," jawab penduduk. Rasul lalu berkata, "Kalian lebih tahu soal duniamu, sedang aku lebih tahu soal agamamu. " Saat Nabi diberi tahu kegagalan panen akibat menuruti saran Nabi bahwa lebih baik tak menyerbuk pohon kurma, Rasul langsung menjawab, "Aku ini manusia. Kalau aku perintahkan suatu soal agamamu, lakukan. Tapi kalau aku perintahkan pada kalian suatu pendapat, ya aku ini manusia. Maksudnya, pendapat Nabi sendiri tentang soal-soal dunia tak harus diikuti. Lain kalau soal agama, mutlak diikuti. Semua buku hadis menyebut begitu, kecuali di Nadzm al-Durar (Untaian Mutiara) karya sejarawan dan sastrawan Burhan al-Din al-Biqa'i (1406-1480). Disebut, mereka yang ikut saran Nabi kurmanya jadi baik. Jadi, saran Nabi itu selalu baik. Sejarawan Ibnu Khaldun lebih menerima pendapat sebelumnya: dalam urusan keduniaan, Rasulullah terkadang tak lebih bisa dari umatnya. Ilmu kedokteran yang dianggap berasal dari Nabi, menurut Ibnu Khaldun, hanya rekaan belaka. "Nabi diutus bukan untuk jadi dokter, tapi jadi pengurus agama," katanya di al-Muqaddimah. Juga tentang sikap tak acuh Nabi terhadap Ibn Umm Kultsum. Si buta itu menemui Nabi ketika sedang sibuk menyeru para pembesar Quraisy agar masuk Islam, antara lain kepada Abu Jahal, Utbah Ibn Rabiah. "Ya, Rasul, beri aku petunjuk," kata Ibn Umm Kultsum. Oleh Nabi dia tak digubris. Malah Nabi memandang ke arah lain. Seketika turunlah ayat Quran, "(Nabi) bermuka masam, dan berpaling, ketika seorang buta datang padanya. Siapa tahu dia mau bersuci atau memperingatkan, sehingga berguna ...." Langsung Nabi menyapa, "Selamat datang, hai, orang yang menyebabkan Tuhan menegurku. Apa perlumu?" Karena ijtihad Nabi salah, ia langsung ditegur Tuhan. Nabi memang manusia biasa. Sementara itu, menurut Dr. Quraisy Shihab, dosen tafsir di IAIN Jakarta, di samping Nabi seorang rasul, mufti, ia pemimpin dan juga hakim. Kelima kedudukan Nabi ini kemudian hari dirinci lebih dari dua puluh. Sebagai rasul, Muhammad punya otoritas mutlak. "Tapi sebagai pemimpin masyarakat, Nabi memimpin sesuai deng- an situasi zamannya. Karena zaman kita berubah, maka tak perlu semuanya diikuti, kecuali yang benar. Saya lebih suka memahami hadis dari kedudukan Nabi itu," ujar Quraisy Shihab- Ahmadie Thaha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini