Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Mencari jalan ijtihad

30 orang mengadakan halaqah di rumah alwi shihab di cilandak membahas tentang perlunya ijtihad. yang hadir antara lain: jalaluddin rahmat, nurcholish majid dan abdurrahman wahid.

20 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Iran Ali Khamenei melontarkan suaranya, "Pemerintahan Islam berwenang di dalam kerangka hukum syariat Tuhan." Ini biasa -- walau itu diucapkannya menjelang salat Jumat 1 Januari lalu. Lain ketika Ayatullah Khomeini menyuarakan boleh mengubah hukum dan ketentuan syariat Islam. Memang, kedengaran ganjil, mengingat Khomeini sendiri adalah pemimpin spiritual di Republik Islam Iran. Pangkal pidato Khomeini pada 7 Januari itu disiarkan majalah The Economist, 16 Januari lalu. "Pemerintahan kami adalan cabang dari kekhalifahan mutlak Nabi Muhammad," katanya. "Pemerintah harus didahulukan dari semua praktek keagamaan seperti salat, puasa, atau ibadat haji. Secara terbuka saya katakan, pemerintah boleh mencabut suatu hukum agama, kalau itu dianggap benar. Penguasa dapat menutup atau menghancurkan masjid kalau itu dianggap tepat." Menurut Khomeini, "Pemerintah dapat memutuskan secara sepihak kontraknya dan kewajibannya pada rakyat, jika kontrak itu bertentangan dengan kepentingan negara dan Islam. Pemerintah dapat melarang bangsanya menunaikan ibadat haji, meski itu salah satu kewajiban agama." Belum jelas apa pidato Khomeini itu setelah ia berijtihad. Menurut penganut Syiah Ayatullah Khomeini adalah imamiyah, yang mutlak harus dipatuhi. Tetapi tentang ijtihad itu sendri juga bukan baru dalam Islam. Kendati begitu, masih perlu, hingga Jumat malam pekan lalu kembali diperbincangkan di rumah pengusaha Alwi Shihab, di Cilandak, Jakarta Selatan.Pesertanya 30 orang dan itu halaqah, lingkaran pengajian, ketiga. Layak pula dicatat: peserta menolak sektarianisme. "Tak penting dari Syiah atau Sunah, semua kita ambil. Kita sedang belajar jadi menolak sektarianisme," kata Munawir Sjadzali. Ucapan Menteri Agama ini muncul di pengajian kedua masih di tempat yang sama. Sebagai penyaji makalah bcrjudul Ijtihad: Sulit Dilakukan tetapi Perlu, pada acara ketika itu muncul Talaluddin Rahmat. Ia dosen ilmu komunikasidari Unpad Bandung. Tanya dia, samakah ijtihad dengan ra'yu (pendapat) dan qiyas alias analogi? Ijtihad boleh dilakukan pada kasus yang tidak dijelaskan dalam nash ? Bolehkah berijtihad pada nash ataukah meninggalkan nash? Ijtihad itu melanggar syariah? Lalu contoh diangkat dari kisah Malik bin Nuwairah. Sahabat asal Baduwi yang diramai Nabi bakal masuk surga ini anehnya tak menyerahkan hasil zakat dari kaumnya, Bani Yarbu'. Zakat itu dibagikan kepada rakyatnya. Abubakar rnenganggap Malik murtad. Khalid bin Walid yang diutus lalu menyerbu bcrsama pasukannya. Walau tak jadi perang, karena genjatan senjata, Khalid memenggal kepala Malik. Dan ia langsung mcngawini istri Malik, Umm Tamim. "Engkaulah yang menyebabkan aku mati." kata Malik kepada istrinya, sebelum, tewas. Beberapa sahabat marah, misalnya Abu Qatadah dan Umar. Malah Umar mengusulkan agar Khalid dirajam, karena ia mengawini wanita sebelum masa iddah-nya habis.Abubakar tak setuju. "Aku tak mau merajamnya. Ia mentakwil, dan dia salah," ujarnya. Khalid, mentakwil alias berijtihad, dapat satu pahala karena salah? Ini memang tak mudah dimengerti. Dalam pada itu, Ibn Taymiyah, Bapak Reformasi Islam, malah mati-matian membela para sahabat, meski mereka salah. Semua peri laku sahabat disebutnya ijtihad - termasuk perang berdarah antara Muawiyah dan Ali, antara Ibn Zubair dan Aisyah. "Mereka itu para mujtahid pada apa yang mereka lakukan. Juga yang berperang. Kesalahan mereka diampuni Tuhan," tulis Ibn Taymiyah dalam, Minhaj al-Sunnah, Metode Sunah. Kini Nabi dan para sahabat telah tiada (lihat Dan Nabi pun Ditegur). Padahal, persoalan baru membanjir dan perlu jawaban agama. Kepada siapa umat bertanya? Kaum Syiah ada Ayatullah (seperti Khomeini) dan kaum Suni menyebut ada ulama. Lalu fatwa atau nasihat hukum merebak. Misalnya dari Majelis Ulama Indonesia, dari Nahdlatul Ulama, dari Muhammadiyah, dari Persatuan Islam. Tim Proyek Pembangunan Hukum Islam, yang baru dua pekan lalu melokakaryakan Rancangan Kompilasi Hukum Islam itu, juga bekerja untuk itu. "Itu semua adalah hasil ijtihad," kata Dr. Peunoh Daly, dekan Fakultas Syariah IAIN Jakarta. "Tapi itu ijtihad yang keroyokan. Umat Islam boleh mengikuti salah satu fatwa itu. Di soal-soal teologi, tafsir, sosial, politik, dan ekonomi juga ada ijtihad." Tetapi ijtihad "keroyokan" oleh ulama dilakukan secara berkala. Fatwa MUI tahun lalu, misalnya, bisa dihitung: tentang pengambilan dan penggunaan katup jantung jenazah, manasik haji, dan mengasuh anak. Yang disebut "Fatwa Porkas"? Itu sebenarnya hanya bersifat imbauan. Padahal MUI telah mempunyai Pedoman tentang Cara Penetapan Fatwa. Dasar fatwa, menurut Pedoman, adalah Quran, Sunah, ijmak, dan qiyas. Dalam pembahasan, pendapat imam-imam mazhab dijadikan rujukan. Jika masalah yang akan difatwakan tak ada dalam nash dan kitab, maka baru dilakukan ijtihad jama'i alias yang keroyokan itu. Jemaah di Cilandak malam itu sepakat: ijtihad tetap perlu. "Zaman terus berubah, situasi menuntut yang lain. Bagaimana mungkin kita beragama-tanpa ijtihad," tanya Dr. Nurcholish Madjid, staf peneliti dari LIPI. Ia menyebut ramalan ilmuwan yang suatu saat nanti kita akan tak lagi memiliki bumi. Kita akan tinggal di Bima Sakti, tetapi salat di sana bagaimana, karena Ka'bah di bumi ? Karena itu, ulama seperti al-Syawkani berpendapat: siapa menolak ijtihad ia telah syirik. Alasannya, kita sudah teken perjanjian dengan Tuhan untuk menjelaskan Quran dan tidak menyembunyikannya. Mungkin dengan alasan itu, Juli 1983, di Kota Qusanthia, Aljazair, diselenggarakan Muktamar Pemikiran Internasional membahas ijtihad.Apalagi umat Islam sekarang dihadapkan pada tantangan: taklid ke Barat dan taklid pada masa lalu. "Ijtihad itu soal epistemologi," kata Haidar Bagir, direktur penerbit Mizan, Bandung itu. "Ketika kita saat ini merasakan anarki di bidang konsep, maka soal epistemologi mendesak untuk dipecahkan. Untuk membuat sebuah konsep, kita perlu epistemologi." Misalnya, bagaimana membua konsep sebuah permukiman yang Islami Dalam berijtihad, untuk menemukan dan membuatnya, mesti ada landasan epistemologi yang mapan, agar konsep itu tahan uji. Para pembaru besar, seperti Imam Syafi'i dan Ibn Khaldun, memulai dari epistemologi. Sebelum menyusun kitab induk fikih al-Umm (Induk), Syafi'i menyusun metodologi epistemologisnya dalam kitab alRisalah, Surat. Ibn Khaldun, untuk menulis sejarah semesta, lebih dulu menyusun metodologi epistemologi dalam kitab al-Muqaddimah (Pendahuluan). Pemikiran mereka, yang besar itu, teruji sejarah karena orisinil. "Saya optimistis, epistemologi Islam sebagai dasar kita berijtihad suatu saat ada," kata Jalaluddin Rahmat kepada TEMPO. Dimulai dari diskusi itu, ia menekuni metodologi dan produk ijtihad yang pernah ada dalam sejarah. Sebagai langkah mula, menurut Ketua PB NU Abdurrahman Wahid malann itu, "Mungkin kita bisa memakai pendekatan historis.' Maksudnya, harus berani mempertanyakan yang dikatakan orang dalam seJarah, Quran dan Sunah? A.T., M.L., & Z.M.P

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus