KALAU saja tak ada bai'at, tak akan ada kasus Cicendo. Bahkan
tak akan ada kelompok Imran atau sebangsanya. Atau pemunculannya
akan lain sama sekali.
Pengadilan Salman Hafidz, yang sedang berlangsung di Bandung,
membuktikan berkali-kali daya ikat bai'at itu. Memang, pada
sidang 22 Maret dibacakan hasil pemeriksaan dr. J. Nimpuno
psikolog, sehubungan dengan permintaan Salman untuk diperiksa
kesehatan jiwanya. Hasil pemeriksaan itu, yang oleh Salman
dianggap tidak cukup kuat (karena hanya dilakukan terhadap
tulisantangan) dan oleh dr. Nimpuno diprotes pembacaannya dalam
sidang (karena menurut dia, untuk keperluan itu ia tidak
berwewenang), mengungkapkan bahwa Salman, gampangnya, bukan
orang gila.
Hanya saja, kepribadiannya yang "sulit menyesuaikan diri, kaku,
selalu curiga kepada orang sekitar, sangat taat kepada atasan
dan berwawasan sempit" itu kemudian diarahkan dan 'dikunci'
dengan bai'atnya kepada Imran.
Juga Maman Kusayadi, mengaku menembak ketiga polisi di Kosekta
Cicendo, 11 Maret 1981 itu, karena bai'at. Juga Abdullah alias
Sofa Rauf, yang bertindak sebagai sopir truk pada penyerangan
pos polisi itu. Budi Rahardjo, pelajar STM, malah menyatakan
"Sampai sekarang saya tetap patuh dan terikat oleh bai'at yang
telah saya nyatakan."
Di tempat yang sama, dalam persidangan lain--untuk perkara
DI/TII, 18 Maret--Ateng Djaelani mengemukakan hal yang sama.
Pelanggaran terhadap bai'at, atau keengganan melaksakan
perintah Imam, mempunyai konsekuensi "hukuman mati."
Demikian berat. Padahal, seperti dinyatakan para pemuka Islam,
konsekuensi seperti itu sebenarnya tidak dikenal dalam ajaran
Islam. K.H. E.Z. Muttaqien, Ketua Majelis Ulama Indonesia,
menyatakan bahwa sebuah sumpah bahkan lebih tinggi derajatnya
dibanding bai'at. Pelanggaran sumpah harus ditebus dengan puasa
40 hari. Tapi tentang bai'at tak ada ketentuan. "Bai'at itu
memang janji", kata Muttaqien. "Tapi tak ada sanksi yang jelas
terhadap orang yang tak menepati janji."
Syahdan bai'at itu sendiri, dalam terminologi fiqh, sebenarnya
tak lain "janji setia yang diucapkan seseorang kepada khalifah
(imam) yang baru diangkat," kata Prof. Ibrahim Hosen L.M.L.,
Ketua Komisi Fatwa MUI. Atau, "bai'at itu, dalam pengertian
fiqh, hanya berkaitan dengan kepemimpinan umum " kata H. Zaini
Ahmad Noeh, staf ahii Menteri Agama. Contohnya Umar bin Khathab
membai'at Abubakar sebagai khalifah pertama pengganti Muhammad
s.a.w. dalam kepemimpinan umum. Itulah memang peristiwa yang
pertama--yang kemudian dilestarikan oleh raja-raja mus.lim
sepanjang sejarah. Termasuk raja-raja Jawa (lihat Box).
Jadi kalau Imran menyuruh orang membai'at dia seperti itu,
"itulah namanya bikin negara dalam negara," kata Ibrahim Hosen.
Seperti juga pada DI/TII dengan model bai'atnya.
Bai'at PSII.
Bahkan itulah pula yang pernah dikhawatirkan orang terhadap
Islam Jama' ah, yang juga mempraktekkan bai'at ketat. Prof. Dr.
H.M. Rasjidi bahkan, kepada TEMPO, juga menyebut mereka sebagai
"bikin negara dalam negara" meski ia juga melihat adanya
"simptom kekacauan pikiran". Pasalnya tentu, karena Rasjidi,
seperti banyak pemuka Islam lain, tak bisa menerima keyakinan
mereka bahwa 'imam' yang dimaksud dalam Islam itu "tidak ada
hubungannya dengan negara." Kecuali imam salat, tentu, atau
'imam' sebagai hanya gelar bagi sarjana besar dan ulama ikutan.
Imam seperti ini malah tak perlu dibai'at.
Tapi memang ada lagi jenisjenis bai' at yang lain, di luar
pembicaraan fiqh. Dalam wilayah ini malah bai'at yang pertama
dilakukan di zaman Nabi sendiri--untuk membuktikan kesetiaan
para pengikut dalam menghadapi kemungkinan perang. Waktu itu
rombongan muslimin Madinah yang akan berhaji ke Mekah
dihalang-halangi para penguasa kota suci itu. Nabi memerintahkan
Sahabat Utsman pergi berunding ke Mekah. KarenaUtsman tak
kembali juga (ia ditangkap), mereka bersiap untuk perang meski
akhirnya tak diperlukan.
Ada lagi bai'at, juga di luar wilayah fiqh, yang ada hubungannya
dengan pemerintahan. Ini dimulai oleh khalifah Umar -- kepada
para bawahannya, seperti gubernur atau panglima. Kebijaksanaan
abad ke-7 ini sekarang dikenal sebagai sumpah jabatan.
Juga tak lebih dari janji melaksanakan tugas, atau tunduk pada
ketentuan, bila orang melakukan bai'at ketika masuk sebagian
organisasi di kalangan Islam. PSII misalnya, Partai Syarikat
Islam Indonesia, menetapkan bai'at. Juga Pelajar Islam
Indonesia, PII. Atau sekte Islam Ahmadiyah. Bahkan, seperti
dituturkan Drs. Miftah Faridl, Ketua Majelis Ulama Kodya Bandung
yang juga Ketua Bidan Kader Masjid Salman ITB, para kader juga
melakukan bai'at.
"Tapi bai'at itu bukan kepada orang," kata Faridl. "Mereka
berbai'at untuk melaksanakan tujuan yang digariskan bersama."
Bai'at dalam berbagai perkumpulan itu hanya tata cara organisasi
- seperti juga kalau orang hendak memasuki sebuah tarekat, ordo
mistik dalam Islam. Jadi, jelas, tidak semua bai'at menyebabkan
lahirnya kelompok seperti Imran.
Sebab menurut Ibrahim Hosen, bai'at seperti itu sebenarnya
"hanya meminjam istilah." Atau intisab, menurut Haji Zaini
--pengikatan diri yang dilakukan oleh (calon) warga. Karena
itulah, kata Zaini, "jika kelompok Imran itu memaksudkan bai'at
sebagai intisab, sebenarnya tidak ada masalah. Tapi jika yang
dimaksud adalah bai'at menurut iqh, maka mereka itu disebut
bughat. artinya: pemberontak. Dan pemberontak, dalam fiqh,
memang bisa dihukum mati.
Sebabnya, tentu, karena sudah ada pemerintahan yang sah. Di
sinilah terlihat keluwesan hukum Islam, berbeda dari yang
disangka Imran. Sampaisampai, menurut Zaini, fiqh tidak pernah
menentukan bahwa seorang kepala negara harus muslim. Yang ada,
demikian juga menurut Ibrahim Hosen: apakah pemerintahannya bisa
disetujui Islam, dan tidak mengharuskan kekafiran. Misalnya
memaksakan agama lain ("tiada paksaan dalam agama", kata
Alquran), atau mengatur-ngatur keimanan, atau melarang orang
Islam menjalankan agama mereka.
Boleh juga ditambahkan: atau menindas. Berbagai pemberontakan
kaum muslimin kepada penjajah dahulu, di berbagai negeri Islam,
sebenarnya bukan lantaran para penguasa itu nonmuslim. Tapi
karena .nereka menindas.
Nah. Bila pemegang pemerintahan itu seorang muslim, ia disebut
mam, artinya anutan. Bila tidak, ia disebut al syaukah,
penguasa. Keduanya digelari waliyyul amri, pemegang perkara.
Keduanya dibai'at--dan bai'at ini, menurut Ibrahim, sekarang
fungsinva di banyak negara sudah digantikan oleh pemilihan umum.
Itu memang pengertian Ahlus Sunnah. Berbeda dengan pengertian
Syi'ah, yang menganggap 'imam' sekaligus kepala negara dan
kepala agama. Sehingga, seperti di Iran, salat Jumat pun baru
bisa mereka laksanakan sekarang. Setelah ada Khomeini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini