Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Dari Cicendo, soal bai'at

Dari kasus cicendo membuktikan bahwa masalah baiat merupakan subyek yang rawan. pendapat beberapa tokoh islam tentang bai'at dan beberapa jenis bai'at. (ag)

3 April 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU saja tak ada bai'at, tak akan ada kasus Cicendo. Bahkan tak akan ada kelompok Imran atau sebangsanya. Atau pemunculannya akan lain sama sekali. Pengadilan Salman Hafidz, yang sedang berlangsung di Bandung, membuktikan berkali-kali daya ikat bai'at itu. Memang, pada sidang 22 Maret dibacakan hasil pemeriksaan dr. J. Nimpuno psikolog, sehubungan dengan permintaan Salman untuk diperiksa kesehatan jiwanya. Hasil pemeriksaan itu, yang oleh Salman dianggap tidak cukup kuat (karena hanya dilakukan terhadap tulisantangan) dan oleh dr. Nimpuno diprotes pembacaannya dalam sidang (karena menurut dia, untuk keperluan itu ia tidak berwewenang), mengungkapkan bahwa Salman, gampangnya, bukan orang gila. Hanya saja, kepribadiannya yang "sulit menyesuaikan diri, kaku, selalu curiga kepada orang sekitar, sangat taat kepada atasan dan berwawasan sempit" itu kemudian diarahkan dan 'dikunci' dengan bai'atnya kepada Imran. Juga Maman Kusayadi, mengaku menembak ketiga polisi di Kosekta Cicendo, 11 Maret 1981 itu, karena bai'at. Juga Abdullah alias Sofa Rauf, yang bertindak sebagai sopir truk pada penyerangan pos polisi itu. Budi Rahardjo, pelajar STM, malah menyatakan "Sampai sekarang saya tetap patuh dan terikat oleh bai'at yang telah saya nyatakan." Di tempat yang sama, dalam persidangan lain--untuk perkara DI/TII, 18 Maret--Ateng Djaelani mengemukakan hal yang sama. Pelanggaran terhadap bai'at, atau keengganan melaksakan perintah Imam, mempunyai konsekuensi "hukuman mati." Demikian berat. Padahal, seperti dinyatakan para pemuka Islam, konsekuensi seperti itu sebenarnya tidak dikenal dalam ajaran Islam. K.H. E.Z. Muttaqien, Ketua Majelis Ulama Indonesia, menyatakan bahwa sebuah sumpah bahkan lebih tinggi derajatnya dibanding bai'at. Pelanggaran sumpah harus ditebus dengan puasa 40 hari. Tapi tentang bai'at tak ada ketentuan. "Bai'at itu memang janji", kata Muttaqien. "Tapi tak ada sanksi yang jelas terhadap orang yang tak menepati janji." Syahdan bai'at itu sendiri, dalam terminologi fiqh, sebenarnya tak lain "janji setia yang diucapkan seseorang kepada khalifah (imam) yang baru diangkat," kata Prof. Ibrahim Hosen L.M.L., Ketua Komisi Fatwa MUI. Atau, "bai'at itu, dalam pengertian fiqh, hanya berkaitan dengan kepemimpinan umum " kata H. Zaini Ahmad Noeh, staf ahii Menteri Agama. Contohnya Umar bin Khathab membai'at Abubakar sebagai khalifah pertama pengganti Muhammad s.a.w. dalam kepemimpinan umum. Itulah memang peristiwa yang pertama--yang kemudian dilestarikan oleh raja-raja mus.lim sepanjang sejarah. Termasuk raja-raja Jawa (lihat Box). Jadi kalau Imran menyuruh orang membai'at dia seperti itu, "itulah namanya bikin negara dalam negara," kata Ibrahim Hosen. Seperti juga pada DI/TII dengan model bai'atnya. Bai'at PSII. Bahkan itulah pula yang pernah dikhawatirkan orang terhadap Islam Jama' ah, yang juga mempraktekkan bai'at ketat. Prof. Dr. H.M. Rasjidi bahkan, kepada TEMPO, juga menyebut mereka sebagai "bikin negara dalam negara" meski ia juga melihat adanya "simptom kekacauan pikiran". Pasalnya tentu, karena Rasjidi, seperti banyak pemuka Islam lain, tak bisa menerima keyakinan mereka bahwa 'imam' yang dimaksud dalam Islam itu "tidak ada hubungannya dengan negara." Kecuali imam salat, tentu, atau 'imam' sebagai hanya gelar bagi sarjana besar dan ulama ikutan. Imam seperti ini malah tak perlu dibai'at. Tapi memang ada lagi jenisjenis bai' at yang lain, di luar pembicaraan fiqh. Dalam wilayah ini malah bai'at yang pertama dilakukan di zaman Nabi sendiri--untuk membuktikan kesetiaan para pengikut dalam menghadapi kemungkinan perang. Waktu itu rombongan muslimin Madinah yang akan berhaji ke Mekah dihalang-halangi para penguasa kota suci itu. Nabi memerintahkan Sahabat Utsman pergi berunding ke Mekah. KarenaUtsman tak kembali juga (ia ditangkap), mereka bersiap untuk perang meski akhirnya tak diperlukan. Ada lagi bai'at, juga di luar wilayah fiqh, yang ada hubungannya dengan pemerintahan. Ini dimulai oleh khalifah Umar -- kepada para bawahannya, seperti gubernur atau panglima. Kebijaksanaan abad ke-7 ini sekarang dikenal sebagai sumpah jabatan. Juga tak lebih dari janji melaksanakan tugas, atau tunduk pada ketentuan, bila orang melakukan bai'at ketika masuk sebagian organisasi di kalangan Islam. PSII misalnya, Partai Syarikat Islam Indonesia, menetapkan bai'at. Juga Pelajar Islam Indonesia, PII. Atau sekte Islam Ahmadiyah. Bahkan, seperti dituturkan Drs. Miftah Faridl, Ketua Majelis Ulama Kodya Bandung yang juga Ketua Bidan Kader Masjid Salman ITB, para kader juga melakukan bai'at. "Tapi bai'at itu bukan kepada orang," kata Faridl. "Mereka berbai'at untuk melaksanakan tujuan yang digariskan bersama." Bai'at dalam berbagai perkumpulan itu hanya tata cara organisasi - seperti juga kalau orang hendak memasuki sebuah tarekat, ordo mistik dalam Islam. Jadi, jelas, tidak semua bai'at menyebabkan lahirnya kelompok seperti Imran. Sebab menurut Ibrahim Hosen, bai'at seperti itu sebenarnya "hanya meminjam istilah." Atau intisab, menurut Haji Zaini --pengikatan diri yang dilakukan oleh (calon) warga. Karena itulah, kata Zaini, "jika kelompok Imran itu memaksudkan bai'at sebagai intisab, sebenarnya tidak ada masalah. Tapi jika yang dimaksud adalah bai'at menurut iqh, maka mereka itu disebut bughat. artinya: pemberontak. Dan pemberontak, dalam fiqh, memang bisa dihukum mati. Sebabnya, tentu, karena sudah ada pemerintahan yang sah. Di sinilah terlihat keluwesan hukum Islam, berbeda dari yang disangka Imran. Sampaisampai, menurut Zaini, fiqh tidak pernah menentukan bahwa seorang kepala negara harus muslim. Yang ada, demikian juga menurut Ibrahim Hosen: apakah pemerintahannya bisa disetujui Islam, dan tidak mengharuskan kekafiran. Misalnya memaksakan agama lain ("tiada paksaan dalam agama", kata Alquran), atau mengatur-ngatur keimanan, atau melarang orang Islam menjalankan agama mereka. Boleh juga ditambahkan: atau menindas. Berbagai pemberontakan kaum muslimin kepada penjajah dahulu, di berbagai negeri Islam, sebenarnya bukan lantaran para penguasa itu nonmuslim. Tapi karena .nereka menindas. Nah. Bila pemegang pemerintahan itu seorang muslim, ia disebut mam, artinya anutan. Bila tidak, ia disebut al syaukah, penguasa. Keduanya digelari waliyyul amri, pemegang perkara. Keduanya dibai'at--dan bai'at ini, menurut Ibrahim, sekarang fungsinva di banyak negara sudah digantikan oleh pemilihan umum. Itu memang pengertian Ahlus Sunnah. Berbeda dengan pengertian Syi'ah, yang menganggap 'imam' sekaligus kepala negara dan kepala agama. Sehingga, seperti di Iran, salat Jumat pun baru bisa mereka laksanakan sekarang. Setelah ada Khomeini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus