Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari Negeri Majikan

Warga Arab yang mau memiliki TKI harus berpenghasilan Rp 4,2 juta ke atas. Hubungan sosial mereka tipis. Perlakuan terhadapTKI belum dibedakan dari perbudakan yang sudah dihapus. Ada tempat pengaduan bagi TKI.(nas)

2 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGAK sulit menjawab bila ada pertanyaan begini. Bagaimana tanggapan masyarakat - bukan pemerintah Arab Saudi sendiri, tentang berbagai kasus tak enak yang menimpa tenaga kerja Indonesia di sana. Menurut beberapa orang yang pernah mengamati negeri padang pasir ini, hubungan sosial di sini tipis. Akibatnya, tingkah laku seorang atau beberapa warga negara yang di negara lain - Indonesia, misalnya - bisa menjadi pergunjingan nasional karena bisa "memalukan bangsa", di sana tidak dianggap sebagai aib bersama. Sebaliknya, juga tak ada "kebanggaan nasional" misalnya karena Ka'bah kebetulan terletak di sana. Dan itulah tampaknya yang membuat soal tenaga kerja Indonesia (TKI) dan terutama tenaga kerja wanita Indonesia (TKW) seolah dibiarkan berlalu tanpa penyelesaian. Hanya dari pihak pemerintah Arab Saudi terlihat niat menjaga nama baik. Sudah sejak ketika secara resmi - artinya TKI dan TKW masuk ke negeri Ka'bah dengan visa kerja, yakni sejak 1975 - misalnya, ada ketentuan yang boleh mempekerjakan TKW hanya keluarga yang berpenghasilan 5.000 rial ke atas per bulan. Dan tahun lalu, batas penghasilan itu dinaikkan menjadi 14.000 rial atau sekitar Rp 4,2 juta. Masih ada satu syarat lagi, keluarga ini punya anak lebih dari satu, dan suami-istri memang sibuk. Diharapkan, dengan ketentuan itu, hanya majikan yang benar-benar membutuhkan pembantu rumah tangga, dan orang-orang yang status sosial ekonominya termasuk tinggi, yang bisa punya TKI dan atau TKW. "Hingga tak terjadi, umpamanya, seorang sopir dari Indonesia di Arab Saudi ternyata bekerja pada seorang sopir juga," kata Achmad Tirtosudiro, Duta Besar RI di Arab Saudi. Hanya dengan rekomendasi sesuai dengan ketentuan itulah, yang datang dari kementerian dalam negeri, pihak kementerian luar negeri sana mau mengeluarkan calling visa. Tapi di negeri yang menjadi kaya hampir secara tiba-tiba itu, yakni ketika boom minyak di tahun 1974, bagi sekitar 10 juta penduduknya untuk menjadi kaya tampaknya bukan soal sulit. Dan sebagaimana di sudut lain mana pun di dunia ini, kekayaan adalah satu hal, sementara tingkah laku adalah hal lain. Maka, tentulah bukan sekadar omong kosong bila sejumlah TKW melarikan diri karena gaji berbulan-bulan tak dibayarkan, padahal majikan kaya raya. Atau, seorang pembantu rumah tangga asal Serang, Jawa Barat, Indonesia, jatuh sakit karena harus bekerja 22 jam per hari. Belum lagi mereka yang diperlakukan tak senonoh. Benar, seperti dituturkan oleh Rustam Effendi Pane, atase perburuhan KBRI di Riyadh (sejak awal Oktober KBRI pindah dari Jeddah ke Riyadh), "Perbudakan di Arab Saudi sudah dihapuskan oleh Raja Faisal pada 1965." Tapi seberapa berbeda sikap orang Arab terhadap pembantu rumah tangga dan sopir pribadi, umpamanya, dengan sikap mereka terhadap budak kurang jelas. Memang, di Madinah misalnya, umumnya para TKI dan TKW menemukan nasib baik. Madinah, "kota warisan Nabi", penduduknya rata-rata salih, atau terpelajar. Ini menurut sejumlah TKI dan TKW yang sempat diwawancarai oleh TEMPO. Tapi para tenaga kerja Indonesia yang memperoleh majikan di Mekkah sebagian besar mengeluh. Mereka yang melarikan diri umumnya dari kota yang dulu ditaklukkan Nabi tapi kemudian ditinggalkan itu. Konon, di kota pemilik Ka'bah ini, justru keislaman warganya tipis. Sementara itu, kontrol, setidaknya pencatatan alamat tempat para TKI dan TKW bekerja, tak selalu mudah dilakukan. Menurut Dubes Indonesia untuk Arab Saudi, Achmad Tirtosudiro, kini ada sekitar 3.000 TKW yang, bukan hanya alamat jelas majikannya tak diketahui, bahkan kota tempat mereka bekerja tak tercatat. "Ini karena perusahaan yang mengirimkan mereka tak melapor ke KBRI," katanya di Jeddah. Tak hanya itu. Bila majikan pindah rumah, TKW yang semula punya alamat - dan alamat itu ternyata hanya nomor telepon si majikan - bisa tak lagi ketahuan jejaknya. Wartawan TEMPO pernah mencoba mencari seorang TKW asal Pekalongan di Mekkah, bersama syaikh yang memimpin perwakilan perusahaan penyalur yang mengirimkan TKW tersebut. Tidak ketemu. Hanya satu kebetulanlah yang kemudian mempertemukan sang wartawan dengan yang dicarinya: syaikh itu akhirnya tahu alamat TKW lewat teman sekantor si majikan. Toh, untuk menemui sendiri TKW itU, tak gampang: sang majikan, dengan segala dalih, ternyata tak memberi izin. Dengan sedikit berbohong, bahwa yang datang adalah suami TKW itu sendiri, akhirnya pertemuan pun terjadi. Dan dengan satu cara, akhirnya si TKW yang pernah berkirim surat ke kampung halamannya menceritakan penderitaannya, bisa dibawa ke luar, ditaruh di tempat perwakilan perusahaan pengiriman tenaga kerja Sabika Arabindo. Perwakilan macam itulah yang bisa jadi tempat lari bagi para TKI dan TKW yang tak lagi kerasan dengan majikan mereka. Sayangnya, belum semua kota di Arab Saudi (menurut KBRI di sana ada 32 kota yang menampung tenaga kerja dari Indonesia) ada perwakilan seperti itu. Hanya ada satu lagi di Jeddah, satu di Madinah. Di Jeddah, atas usaha pihak KBRI dan IMSA (asosiasi perusahaan penyalur tenaga kerja Indonesia) didirikan tempat penampungan bagi TKI dan TKW yang lari. Usaha bersama IMSA ini baru dimulai 15 Juli yang lalu, dengan menyewa sebuah gedung bertingkat. Dan upaya ini ada karena semua biaya ditanggung IMSA. Pihak KBRI hanya memberikan kekebalan diplomatik atas gedung yang disewa itu. Belakangan makin banyak TKI dan TKW yang datang minta perlindungan, minta diuruskan masalahnya, minta dipulangkan ke Indonesia "Mungkin kesadaran mereka sudah meningkat hingga mau dan berani mengadukan persoalan mereka," kata Achmad Tirtosudiro. Misalnya, ada TKW yang karena tak tahu di mana harus mengadu di Mekkah, ia berjalan sejauh 75 km untuk sampai ke Jeddah, dan mengadu ke KBRI. Di Madinah ada juga tempat mengadu, yaitu di Wisma Haji. Tempat ini pun punya kekebalan diplomatik karena Wisma ini dibawah perlindungan KBRI. Pengurus Wisma ini, H. Murtadho Mahmud, mengaku, sebenarnya tempat itu bukan untuk tempat penampungan TKI-TKW. "Tapi karena ada orang Indonesia mengalami kesulitan, ya, terpaksa kita bantu," katanya. Dan karena itu Murtadho dikenal di kalangan polisi Madinah, karena sering berurusan dengan TKI-TKW. Dalam hal ini, meski Murtadho orang Indonesia, bersikap netral. Artinya, bila ada TKW lari, bila memang masih mungkin, dicarikan jalan damai dengan majikan. Bila memang si TKW berkeras tak mau dikembalikan ke majikannya, meski dengan perlindungan Murtadho, pengurus Wisma Haji ini pun akan mencoba mengirimkan si TKW pulang. Murtadho dan istrinya punya usaha restoran dan jasa boga Indonesia. TKI atau TKW yang ingin pulang dan tak punya uang biasanya disuruhnya bekerja dulu di restorannya. Pihak pemerintah Arab Saudi sendiri, tampaknya, juga agak kesulitan untuk melakukan pengecekan. Di sana tak mudah bagi polisi atau petugas apa pun untuk memeriksa rumah seorang warga negara, misalnya. Di samping itu, polisi di Arab Saudi tak sedikit yang buta huruf, atau setidaknya tak bisa membaca huruf Latin. Hingga komunikasi dengan TKW yang lari dan melapor ke polisi kurang jelas. Hal ini mungkin yang membuat para TKI dan TKW enggan berurusan dengan petugas negara itu. Maka, bila. dengan satu upaya, misalnya lewat telepon, seorang TKW melaporkan kesulitannya, belum tentu akan ada uluran tangan. Dan kemudian, memang, melarikan dirilah satu-satunya upaya. Bambang Bujono Laporan Musthafa Helmy (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus