Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Memenuhi Panggilan Rial

Ekses TKW masih terjadi, mulai dari penampungan sampai perlakuan majikan.Pengiriman TKI terus meningkat. Banyak perusahaan penyalur tak punya izin. Imsa & Depnaker akan menertibkan masalah ini.(nas)

2 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RABU siang 23 Oktober 1985 itu, Serda Taufiq, seorang anggota polisi dari Polsek Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sedang berjaga di depan gedung PTIK, Jalan Tirtayasa Raya. Mendadak ia mendengar suara gaduh dari sebuah rumah bertingkat yang terletak persis di depan PTIK. Taufiq mendekat. Dari balik pagar bambu setinggi dua meter, Taufiq melihat beberapa wanita melambaikan tangan dari sebuah jendela di lantai dua. Tiba-tiba sebuah botol plastik dilemparkan kepada Taufiq. Isinya sebuah surat yang ditulis di sehelai kerlas yang disobek dari buku tulis. Bunyinya: Tolong, Pak. Kita semua ada yang 4 bulan, 3 bulan belum diberangkatkan. Tetapi yang baru banyak yang berangkat dan orang-orangnya dipilih-pilih. Yang jelek, lama belum berangkat. Saya sedih sekali. Lama-lama di sini tak betah, seperti burung dalam kurungan. Pada akhir surat terbaca: Dari semua orang penampungan yang menderita. Polsek Kebayoran Baru ternyata cepat tanggap dan gesit. Kapolsek Mayor (pol.) Hari Soeprapto segera memerintahkan penyelidikan. Hasilnya: rumah di Jalan Tirtayasa 48 itu rupanya dijadikan tempat penampungan tenaga kerja PT Bandar Benua Corporation (BBC) yang akan dikirim ke Arab Saudi. Malam harinya, sekitar pukul 23.00, polisi berpakaian preman yang mengamati rumah sasaran, menyaksikan keributan lagi. Ada mobil-mobil keluar dari rumah itu. "Rupanya, untuk mencari dua TKW yang lari kabur," kata Serda Sianturi, yang malam itu ikut mengamankan rumah itu. Sekitar tengah malam, polisi mulai penggerebekan. Dua penjaga malam di situ, Matahir dan Mustadji, pencari kerja ke Arab Saudi yang menyambi menjadi penjaga, melarang polisi masuk. Dengan melompat pagar, para petugas itu akhirnya bisa masuk. Ternyata, pintu menuju loteng terkunci. Terjadi lagi ribut-ribut karena para penjaga mula-mula menolak memberikan kunci pintu ke loteng. Di rumah itu polisi menemukan 75 pencari kerja, 65 di antaranya wanita. Mereka bersorak-sorai tatkala polisi menyerbu masuk loteng. Tatkala ditanya, siapa yang ingin pulang, 11 orang TKW mengacungkan tangan. Esoknya, 25 Oktober, dengan dibekali masing-masing Rp 20 ribu dari PT BBC, mereka dipulangkan ke daerah asal mereka. Seorang di antaranya adalah Sumriyeh, 16. Begitu sampai di rumahnya di Sumber Butuh, Bali Rejo, Gondang Legi, Malang, Jawa Timur, Sumriyeh langsung menangis, hingga mengagetkan keluarganya. "Soalnya, selama empat bulan di Jakarta, saya merasa mendapatkan siksaan dan tekanan batin," kata lulusan ibtidaiyah (SD) itu. Kisah Sumriyeh dimulai beberapa bulan lalu, tatkala seorang tetangganya, Muslihah 25, kembali dari Arab Saudi setelah dua bulan bekerja di sana, konon karena disuruh pulang suaminya. Mendengar bahwa seorang TKW di Arab Saudi bisa mendapat gaji sebulan Rp 150 ribu, Sumriyeh pun tergiur. Karena itu, ia mau saja waktu diajak Muslihah ke Jakarta. Ayahnya, Sukri, seorang buruh tani miskin, juga merelakan kepergiannya. "Ya, barangkali ada nasib. Sebab, banyak orang bercerita, bekerja di Arab Saudi bisa cepat kaya dan dapat naik haji," tutur Sukri. Bersama Muslihah, dan Nurhasan - kakak Sumriyeh yang juga mau ke Jakarta Sumriyeh pun berangkat. Bekal kakak-beradik itu Rp 25 Ribu. "Itu pun dapat pinjam," kata Munirah, ibu mereka. Itu perjalanan jauh pertama Sumriyeh karena sebelumnya ke Malang saja ia belum pernah. Begitu sampai di Jakarta, Sumriyeh pun masuk ke panampungan PT BBC di jalan Tirtayasa itu, tanpa bekal uang sepeser pun. Di sini penderitaan Sumriyeh dimulai. Ia ditempatkan di loteng bersama puluhan TKW lainnya, dan mengaku sering dibentak-bentak. "Kami tidur kayak pindang, tidak pakai bantal dan alasnya tikar plastik," ceritanya tatkala ditemui di rumah orangtuanya pekan lalu. Mereka mendapat jatah makan dua kali sehari, pukul 13.00 dan pukul 19.00. Yang paling membuat mereka tidak kerasan: mereka merasa hidup dalam bui. Loteng itu selalu terkunci. Yang boleh keluar hanya yang bertugas mengepel, menyapu atau membersihkan kebun. Menurut pengakuan Sumriyeh, selama di penampungan mereka sama sekali tidak pernah mendapat latihan atau pendidikan. Menurut Sumriyeh, calon TKW yang cantik ditempatkan di ruang bawah dan mereka lebih cepat diberangkatkan ke Arab. Sejumlah calon TKW di loteng yang merasa tidak betah pun mulai merencanakan untuk melarikan diri. Dari jendela loteng, mereka sering melihat patroli polisi. Ini membuat Darsih, salah seorang TKW yang berasal dari Tangerang, mempunyai gagasan membuat surat yang dimasukkan ke botol plastik, dan melemparkannya ke polisi. Surat itulah yang kemudian ditemukan Serda Taufiq. Sumriyeh dan kawan-kawan pun bebas. Tempat penampungan TKI di Jalan Tirtayasa itu, menurut polisi, tidak sesuai dengan izin. PT BBC memang mempunyai izin usaha dari Depnaker, tapi menurut izin, tempat penampungan sebenarnya di Jalan Kalibesar Timur, Jakarta Barat. Pemindahan penampungan ke Jalan Tirtayasa ternyata tanpa izin. "Tempat penampungan di Kalibesar sedang diperbaiki. Di sini hanya tempat penampungan sementara," tutur Faisal, 24, putra M.F. Ubaidi, Direktur PT BBC. PT BBC mulai berusaha sejak 1983, dan hingga kini telah mengirimkan sekitar 1.500 TKI ke Arab Saudi. "Kami minimal mengirimkan 25 orang sebulan," ujar Faisal. Tertunda-tundanya pemberangkatan sejumlah TKI, katanya, karena banyak surat mereka yang tidak beres. Lalu mengapa mereka diterima? "Itu memang kekurangan kami," ujarnya. "Kalau mau dengan surat-surat palsu, bisa beres dengan Rp 25 ribu. Tapi kami tak mau." Yang urung berangkat ke Arab Saudi tidak cuma Sumriyeh dan kawan-kawan. Yuli Astuti, 18, yang berasal dari Jember, Ja-Tim, juga mengaku "lolos". Wanita muda yang sehari-harinya dikenal sebagai penghuni kompleks WTS Dukuh Palem, Banyuwangi, itu suatu hari didatangi seorang calo tenaga kerja, yang menjanjikan pekerjaan sebagai pramuwisma (pembantu rumah tangga) di Arab Saudi dengan gaji Rp 200 ribu. Yuli pun tergiur. Singkat cerita tiga bulan lalu Yuli bersama tiga kawannya bertekad akan meninggalkan profesinya dan "membersihkan dosanya" dengan bekerja di Arab Saudi. "Hitung-hitung, selain bayaran tinggi, pulangnya juga bisa menyandang gelar hajah," katanya. Ditemani seorang "sponsor", Yuli dan kawan-kawan pun berangkat ke Jakarta. Mereka ditampung di sebuah asrama calon TKW di Tebet. "Selama dalam penampungan, hidup saya seperti dalam bui: bekerja terus untuk majikan, sepertl mengepel, mencuci piring dan pakaian. "Mereka, katanya, cuma diberi makan sekali sehari, setiap pukul 15.00. Sang majikan berdalih: pekerjaan itulah latihan kerja. Yuli sempat menandatangani kontrak kerja dengan gaji Rp 450 Ribu sebulan. Yuli merasa tidak betah dengan ingin pulang. Boleh, kata majikan, asal Yuli sanggup mengembalikan Rp 650 ribu, sebagai biaya yang telah dikeluarkan untuk pendidikan, uang calo, dan transpor. Yuli kaget. Ia menduga ini gertakan agar ia tak pulang. Maka, bersemilah keinginannya untuk melarikan diri. Suatu hari, seorang Arab yang dikatakan sebagai calon majikan datang ke tempat penampungan dan diantar melihat para calon TKW. Eh, cerita Yuli, orang itu ternyata mencolek-colek calon TKW. "Masa, orang cari babu kayak cari WTS, pakai dicolek-colek. Biarpun saya bekas orang nakal, ya emoh dicemeki di muka orang banyak begitu. Saya tak dapat membayangkan apa yang bakal saya kerjakan di sana, kalau di sini, calon majikan saya sudah berani meremas bagian tubuh kami," tutur Yuli, yang tamatan SD. Akhir September lalu, Yuli dan tiga kawannya berhasil melarikan diri. Berhari-hari ia menggelandang di Jakarta. Di Pulogadung, pernah ia melapor ke seorang polisi. Sang oknum ini ternyata malah ingin "mengumpuli" dirinya. Yuli menolak, dan mencegat truk ke jurusan timur. Di tengah jalan, sang sopir dan kenek mengancam akan menurunkan dirinya bila tidak mau melayani mereka. Yuli minta diturunkan di tengah jalan. Dengan berganti-ganti menumpang, akhirnya Yuli bisa juga kembali ke Banyuwangi. Kini la kembali ke profesinya semula. "Biarlah jadi WTS begini daripada diperas orang," katanya pekan lalu. Kisah Sumriyeh dan Yuli, tentu saja tak menimpa semua TKW yang akan dikirim ke Arab Saudi. Cerita-cerita tentan ekses yang menimpa TKW Indonesia di Arab. tidak digaji atau diperkosa, misalnya, memang masih terus mengalir. Namun, berbagai ekses itu ternyata tak menyetop gairah para pencari kerja untuk mendaftar menjadi TKI. Menurut catatan AKAN (Antar Kerja Antar Negara) Depnaker, pengiriman resmi TKI ke Arab Saudi dimulai pada 1975 dan berjumlah cuma 25 orang. Tahun 1976 naik menjadi 480 orang. Tahun 1977 naik lagi menjadi 2.838, dan terus meningkat, hingga pada Februari 1985 tercatat 27.392 orang. Hingga akhir Oktober ini diperkirakan jumlah TKI yang telah dikirim sekitar 40 ribu, sekitar 80 persen TKW. Ini angka resmi. Sebelum 1975 banyak TKI yang berangkat ke Arab dengan visa umrah. Depnaker sendiri telah beberapa tahun berusaha menertibkan pengiriman TKI ini dengan menerbitkan sejumlah peraturan. "Kita tidak hanya mengirimkan tenaga kerja, tapi juga duta-duta bangsa." kata Menteri Tenaga Kerja Sudomo berkali-kali. Karena itu, departemennya menetapkan: yang dikirim harus yang terbaik. Sejak 1983, misalnya, kontrak permintaan tenaga kerja antara perusahaan Indonesia dan Arab Saudi harus mendapat rekomendasi dari Dubes RI di Arab Saudi. Seleksi terhadap TKI yang akan dikirim diperketat. TKI sendiri sebelum berangkat harus menandatangani perjanjian mengirimkan kembali 70 persen dari upahnya ke Indonesia, melalui bank. Dengan begitu, menurut perhitungan Sudomo, bila ada 100 ribu TKI berarti sedikitnya ada US$ 150 juta devisa yang bisa dikaut. Ternyata, tak semua peraturan itu bisa terlaksana. Ketentuan bahwa TKI yang dikirim harus yang terbaik melalui seleksi yang ketat ternyata tak sepenuhnya terlaksana. Kasus hampir diberangkatkannya Yati yang WTS tadi, misalnya, menunjukkan bahwa praktis setiap orang bisa menjadi TKI tanpa seleksi. Malah pernah ditemui seorang TKI di Arab Saudi yang mengidap penyakit sifilis, hingga langsung dipulangkan ke Indonesia. Tiap TKI memang harus mempunyai surat keterangan kesehatan dari RS Islam di Jakarta dan Surabaya, yang diakui oleh pemerintah Arab Saudi. Tapi, kabarnya, surat keterangan ini sering dipalsukan dan bisa dibeli di luar. Misalnya pernah terbongkar pemalsuan 700 surat kesehatan TKI (TEMPO, 15 September 1984). Keuntungan dari pengiriman TKI, terutama TKW, memang menggiurkan. Dari seorang TKW, perusahaan pengirim tenaga kerja bisa memungut keuntungan US$ 300 sampai US$ 500 dan buat tenaga kerja pria sekitar US$ 100, dari majikan di Arab Saudi. Tak heran, begitu permintaan TKI naik, jumlah perusahaan pengirim tenaga kerja juga menjamur. Tidak semuanya mempunyai izin. Saat ini, dari 146 perusahaan yang tercatat, cuma 24 yang punya SIUP (Surat Izin Usaha Pengerahan). Sekitar 90 persen perusahaan itu khusus mengirimkan TKI ke Arab Saudi. Sejumlah perusahaan memang mempunyai kantor cabang didaerah. Tapi yang umumnya mencari dan merekrut TKI adalah calo. Ada calo resmi yang dibekali dengan surat keterangan dari perusahaan, tapi sebagian besar calo yang gentayangan umumnya calo liar. Imbalan buat mereka memang memikat: untuk setiap calon TKW yang diserahkan, mereka bisa memperoleh Rp 40 sampai Rp 70 ribu. Dengan iming-iming gaji minimal 600 rial atau sekitar Rp 180 ribu (standar yang ditetapkan pemerintah Rl) dengan mudah para calo ini dapat memikat gadis tua-muda, juga janda. Apalagi ditambah dengan janji: setelah dua tahun bekerja, para TKI ini bisa menunaikan ibadat haji. Usaha calo dan perusahaan pengirim tenaga kerja (PPTKI) untuk memburu untung terkadang dilakukan dengan segala macam cara. Misalnya karena Pemda Jawa Timur sangat ketat menyeleksi calon TKI, menurut sebuah sumber, banyak calo yang mengubah KTP calon TKI asal Ja-Tim dengan KTP aspal dari Ja-Bar, atau bahkan Lampung. Persyaratan dasar, seperti pendidikan, sering tak dipenuhi. Ada cerita, misalnya, mengenai TKI sopir yang, setibanya di Arab Saudi, ternyata tak bisa menyetir mobil. Hingga kini hal itu masih terjadi. Mustadji, 30, asal Malang yang pekan lalu ditemui di tempat penampungan PT BBC di Jalan Tirtayasa, Jakarta, mengaku tak punya SIM dan tak tahu apa-apa mengenai mobil meski ia akan dikirim ke Arab Saudi sebagai sopir. Ia bahkan tidak tahu apa bahasa Arab-nya mobil. "Soalnya, bahasa Arab sana dengan yang di sini 'kan lain," katanya berkelit. Untuk memperoleh SIUP, Depnaker menentukan beberapa persyaratan, misalnya perusahaan itu harus menyiapkan balai latihan kerja. Ternyata, tak ada standar dari balai latihan kerja ini. Di penampungan PT BBC di Jalan Tirtayasa, misalnya, tempat itu cuma sebuah kamar berukuran 8 x 5 meter di lantai dasar. Di situ ada beberapa bangku kayu, sebuah papan tulis, dan dua buah mesin jahit. "Di sini tepat TKW berlatih," kata Faisal, putra sang direktur. "Kami mendidik mereka dengan keterampilan, memakai mesin cuci, kompor gas, mengajar menjahit dan melatih berbahasa Arab," kata Faisal seraya menunjuk sebuah kompor gas Ariston yang ada pada sebuah dapur yang berukuran 2 x 2,5 meter. Tak tampak mesin cuci. Tatkala Euis, 30, seorang calon TKI, ditanya bagaimana cara mencuci dengan mesin cuci, ia mengaku tidak bisa. Ia juga menggeleng sewaktu ditanya bahasa Arab beberapa benda. Padahal, menurut keterangan, pelajaran bahasa Arab di situ diberikan dua kali seminggu. Di tempat penampungan PT Khidmat El Kasab, di Matraman, Jakarta Timur, tempat latihannya jauh lebih baik. Di lantai dasar ada tiga kamar untuk tempat pendidikan. Juga ada dua kamar mandi yang masing-masing di sesuaikan dengan kamar mandi di rumah orang kaya dan golongan menengah Arab Saudi. Di musala terdapat alat peraga telepon dengan nomor Arab dan Indonesia. Ada juga ruangan untuk melihat TV dan video yang memutar film tentang kehidupan Arab. Terdapat juga dapur berukuran 3 x 4 meter dengan peralatan modern, termasuk kompor gas. Tampak juga mesin cuci listrik. Di lantai atas terdapat enam kamar untuk calon TKI yang tanpa tempat tidur. "Mereka semuanya dibiasakan tidur di karpet, supaya tidak canggung nanti di Arab," kata Syamsul Arifin, Presiden Direktur PT Khidmat El Kasab. Salah satu fasilitas latihan dan pendidikan TKI yang terlengkap mungkin dimiliki PT Almas Corporation. Perusahaan yang berdiri sejak 1979 ini tiap tahun mengirimkan sekitar seribu TKI ke Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. PT Ini menetapkan syarat umur, bagi calon TKW minimal 26 tahun, pria 25 tahun. "Kebanyakan yang kami kirim TKI yang sudah berkeluarga. Selain tahan mental, mereka juga bisa diatur. Misalnya si istri menjadi pembantu, suami menjadi sopir, pada majikan yang sama," kata Nadjib S. Surkaty, manajer di PT Almas. Selain tempat pendidikan seluas 100 meter2 di lantai 3 kantor pusatnya, di Cideng Barat, Jakarta Pusat, PT Almas juga memiliki balai latihan kerja di Joglo, Jakarta Barat, yang diresmikan Menaker Sudomo akhir tahun silam. Di sini ada bangunan seluas 600 m2, termasuk aula dan sejumlah kamar untuk TKW. Semua TKI wajib belajar bahasa Arab, salat, P-4, dan pelajaran praktek selama 20 hari. Menurut Nadjib semua calon TKI yang dikirimkan Almas pasti lengkap semua surat dan persyaratannya. "Alhamdulillah, sampai kini kami belum pernah mendapat masalah besar," katanya. Menurut ketentuan, semua calon TKI wajib memiliki sertifikat pendidikan. PPTKI yang belum punya balai latihan kerja harus mengirim calon TKI-nya ke perusahaan yang memiliki. Namun, seperti biasa, terjadi juga permainan. Kabarnya, ada PPTKI yang telah memiliki SIUP yang mau menjual sertifikat pendidikannya hanya dengan imbalan Rp 10 ribu. "Saya tidak tahu pendidikan macam apa dengan biaya sebesar itu," ujar Mayjen (pol.) Mustafa Pane Kepala Pusbinlat IMSA pekan lalu. Sejak Januari tahun ini, IMSA (Indonesian Manpower Supplier Association) membangun pusat pembinaan dan latihan di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, dengan biaya Rp 250 juta. Pusbinlat ini mendidik TKW selama 12 hari dengan biaya Rp 50 ribu, dan Rp 25 ribu untuk TKI pria selama enam hari. Untuk TKW ada tiga kelompok kurikulum. Kelompok wajib meliputi agama dan Pancasila (masing-masing 12 jam per minggu), bahasa Arab (30 jam per minggu). Tata tertib dan disiplin (4 jam seminggu), dan hak serta kewajiban (8 jam per minggu). "Kami menginginkan TKI yang dikirimkan benar-benar Pancasilais sejati," kata Mustafa Pane. Untuk kelompok profesi, pelajaran teori dan praktek memasak serta mengatur rumah tangga menghabiskan waktu 22 jam per minggu. Sementara itu, untuk kelompok penunjang, ada pelajaran tata tertib penerbangan (6 jam per minggu). Untuk ini disediakan sebuah model pesawat terbang yang diberi nama Proni International Airlines. Ada juga pelajaran adat istiadat Arab dan bela diri praktis. Menurut ketentuan Depnaker, PPTKI yang belum ber-SIUP. diharuskan menyerahkan pendidikan calon TKI-nya ke Pusbinlat IMSA. Hingga pekan lalu, Pusbinlat dengan guru 45 orang ini telah mendidik sekitar 9.500 TKI. Padahal, hingga Oktober ini jumlah TKI yang dikirim sekitar 40 ribu. "Dididik di mana mereka? Saya rasa perusahaan-perusahaan yang memiliki BLK tak mampu menampung semuanya," kata Mustafa Pane. Dengan kata lain, jelas telah terjadi manipulasi. Puluhan ribu TKI agaknya diberangkatkan tanpa seleksi yang benar dan tanpa dibekali pendidikan dan latihan yang memadai. Hingga pantas bila di negara penerima TKI kemudian terjadi berbagai kerepotan. Di samping karena ekses, terbukti banyak TKW yang lari karena tidak siap mental menghadapi suasana kerja dan lingkungan di Timur Tengah. Banyak kasus memang. "Tapi jangan diukur persentasenya. Kalau diukur persentasenya tak sampai satu persen," kata Rustam Efendi Pane, atase perburuhan di KBRI Riyadh. "Namun, ini 'kan manusia yang memerlukan perhatian khusus," tambah Pane (lihat: Dari Negeri Majikan). IMSA dan Depnaker sendiri kini terus berusaha menertibkan masalah TKI ini. Saat ini sebuah tim peneliti sedang menyelidiki semua PPTKI, untuk mengetahui apakah mereka telah benar memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan. Selain balai latihan kerja, PPTKI juga diwajibkan memiliki perwakilan atau partner di Arab Saudi. Menurut Djijanto, Kepala Pusat AKAN, hampir 80 persen PPTKI telah memenuhi syarat ini. Nantinya PPTKI diharapkan juga mau meneliti calon majikan, apakah memenuhi syarat atau belum. Hingga tidak terjadi kasus seperti yang menimpa Yoyoh, yang mengaku tidak punya kamar sendiri dan tidur di depan pintu, sampai ia berhasil melarikan diri. Atau nasib buruk yang menimpa Sukarti, 45, ibu tujuh anak dari Cilacap, yang kini terbaring di RS Mata Cicendo, Bandung, karena buta konon akibat sering dipukuli nyonya majikannya dan pernah diguyur air cucian, selama empat bulan bekerja di Riyadh. Hingga kini Sukarti tak pernah bisa mengerti "kebuasan" sang majikan terhadapnya, antara lain, menggunting rambutnya yang semula sepanjang pinggul, menelanjanginya sewaktu bekerja dan memukulinya, dan serta-merta meninggalkannya di bandar udara Riyadh dengan kebutaannya dan tiket dan uang 500 rial. "Padahal, mereka sembahyang," katanya. Lalu disimpulkannya "Saya kapok. Tak mau lagi pergi ke Arab Saudi, biar gajinya besar." Ekses yang menimpa Suharti, seperti kata Rustam Efendi Pane tadi, mungkin cuma satu persen, tapi perlu diperhatikan agar tidak merusakkan citra keseluruhan pengiriman TKI ke luar negeri. Sebab, ternyata tidak semua masalah seperti yang tampak di permukaan. Penangguhan pemberian gaji TKI, kata Pane, sering dilakukan majikan dengan niat baik, karena uang yang dikirimkan TKI ke Indonesia sering diketahui habis dengan cepat karena keluarganya dijangkiti konsumerisme. Cukup banyak contoh TKI yang sukses. Misalnya yang terjadi pada Ny. Sari (bukan nama sesungguhnya). Ibu berusia 45 tahun ini sejak 1983 menjadi pengasuh anak pada seorang keluarga pangeran Arab Saudi. Hubungannya dengan keluarga majikannya begitu erat, hingga mereka menolak melepaskannya. Penghasilannya sebulan kini sekitar US$ 2 ribu. Beberapa kali ia mengirim uang untuk suami dan tujuh anaknya, yang digunakan untuk membangun rumah. "Saya mau pulang, tapi anak yang saya asuh tidak bisa dipisah. Mungkin anak yang saya asuh akan ikut ke Indonesia kalau saya nanti cuti," ceritanya. Arab Saudi memang bukan negeri surga. Banyak hal yang perlu diperbaiki. Bila ribuan orang kita berbondong pergi ke sana bukan untuk memenuhi panggilan Nabi Ibrahim, tapi untuk memenuhi panggilan rial, mereka perlu kesiapan khusus. "Banyak hal yang bisa kita peroleh selain devisa," kata Kemal Idris Mugni, Direktur PT Putra Pertiwi, sebuah PPTKI. Misalnya sikap mental TKI bisa berubah, dari makan tidak makan asal kumpul, menjadi tenaga mandiri. Etos kerja yang semula lamban kemudian juga menjadi kuat. Apakah semua ini tidak layak untuk dikejar di sana, di Arab Saudi? Susanto Pudjomartono Laporan Biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus