SUNGAI Masio, 30 Juli 2001. Malam hampir bertukar pagi. Tapi hujan yang sedari petang mengguyur tak reda juga. Kilatan petir dan dentuman guntur ganti-berganti membahana. Leliano Telembanua menutup tubuh anak-anaknya dengan selimut. Sesudahnya, lelaki setengah baya ini berbaring di samping istrinya. Ia berusaha menenteramkan hatinya.
Namun, ketika jarum jam menukik ke pukul tiga dini hari, Leliano tersentak bangun. Ia mendengar gemuruh banjir, yang lamat-lamat. Saat kian lama makin kencang dan makin dekat, ia kontan membangunkan anak-anak, istri, dan seorang adik iparnya. "Banjir!" pekiknya. Serentak, seluruh anggota keluarganya berhamburan. Sayang, banjir sudah memenuhi separuh rumah. Mereka berusaha membuka pintu, tapi kalah kuat dengan desakan banjir.
Leliano menyadari bahwa maut sudah mendekat. Tak ada pilihan lain baginya kecuali membawa keluarganya ke bubungan rumah. Berhasil. Tapi justru hati mereka semakin ciut menyaksikan air bah yang kian tinggi, merasakan tamparan angin makin kencang…, rumah tua mereka perlahan-lahan terbawa banjir dan hanyut ke Sungai Masio. Leliano memegang erat anak pertama dan keduanya, sedangkan istrinya menggendong si bungsu. Mereka semua ketakutan dan menangis sewaktu rumah mereka melaju kian jauh dan kian kencang.
Tiba-tiba, brak! Rumah itu menabrak pohon. Porak-poranda. Sekeluarga mereka tumpah ke banjir yang mengganas. Pekikan dan tangisan tenggelam dalam gemuruh guntur dan gelegak Sungai Masio. Bagaimana nasib keluarga Telembanua?
Dalam salah satu kisah korban banjir di Nias itu, Leliano memang selamat. Tapi, seperti yang dikisahkannya, seluruh keluarganya tewas ditelan banjir dan badai yang melanda Kecamatan Lahusa, Nias, Senin pekan lalu. Lelaki berusia 50 tahun ini dapat bertahan hidup karena ia tersangkut di sebuah pohon dan diselamatkan oleh regu penolong, esok harinya. "Saya putus asa. Sebelum rumah me- nabrak batu, saya melihat anak saya yang dipegang istri terlempar. Anak yang saya pegang pun terlepas dan hilang di kegelapan," paparnya kepada TEMPO sembari berurai air mata.
Bukan cuma Leliano, banyak juga keluarga lain yang bernasib malang seperti itu. Hingga Sabtu pekan lalu, jumlah korban yang tewas sekitar 88 orang, hilang 114, dan ratusan orang lainnya masih dirawat di rumah sakit. Jumlah ini masih bisa bertambah. Pencarian terus dilakukan, tapi kondisi alam Lahusa yang bergunung-gunung menyulitkan penemuan korban. Kerugian material diperkirakan puluhan miliar rupiah.
Mengapa banjir dan badai mengganas di Nias? Menurut Gubernur Sumatra Utara, Rizal Nurdin, banjir bandang dan tanah longsor itu dipicu oleh gundulnya kawasan hutan di sungai-sungai besar di pulau di seberang Sibolga, Tapanuli Tengah itu. Sungai Masio, misalnya, nyaris menyerupai kakek gembrot berkepala botak. Hulunya gundul dan badan sungai makin melar, sebab tanah di kiri-kanannya terus tergerus. Hutan di sekitar sungai hampir dibabat habis.
La, kok bisa? Bisa saja. Kawasan hutan itu kaya dengan damar dan kayu yang harganya makin mahal. Tak mengherankan jika para cukong dari Medan rajin hilir-mudik di sana dan menggaruk hasil buminya. Ulah para cukong bertemu dengan kesulitan penduduk mengepulkan dapurnya. Masyarakat ikut merambah hutan dan memotong pohon untuk dijual ke cukong-cukong dari daratan Sumatra.
Gubernur Rizal sebaiknya tidak sekadar mengeluh. Segera tertibkan para penjarah hasil hutan, agar banjir bandang dan longsor pencabut nyawa tak lagi mampir di Pulau Nias yang indah itu.
Wens Manggut, Bambang Soed (Nias)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini