SUNGAI Tabalong, Balangan dan Sungai Negara, tiba-tiba meluap.
Jalan Negara, Propinsi, Kabupaten dan jalan-jalan Inpres, banyak
yang hancur. Kecamatan Amuntai Selatan, Utara, Tengah, Babirik,
Pandan dan Danau Panggang, tiba-tiba berada di atas air. Polder
Alabio, Polder Gusti, Polder Simpang Empat dan Polder Pekacangan
mengalami rusak berat. Semua diyk (turap ulin) yang membujur
dari desa Pekacangan terus ke desa Tangga Ulin, banyak yang
rusak Banyak jembatan yang tidak bisa dilalui. Sawah barat serta
palawija sehas 2 000 Ha, musnah sama sekali. Sekolah-sekolah,
rumah-rumah, kantor-kantor terendam air.
Itulah kabar duka yang menimpa daerah Tk II Kabupaten Hulu
Sunai Utara yang beberapa waktu lalu mendapat Anugrah Prasamya
Purna Karya atas suksesnya pembangunan di daerah itu. Banjir
besar (untuk ukuran Kalsel) kini tengah mengamuk di daerah yang
bergelar kota Pendidikan itu. Dengan wajah yang loyo, Bihman
Villa, sang Bupati melapor kepada Gubernur bahwa kerugian
akibat amukan banyu itu tidak bisa dikatakan sedikit. Berapa?
Gubernur Subardjo yang mengutip laporan Bihman untuk TEMPO
menyebut angka di atas Rp 400 juta. Itu adalah laporan
berdasarkan angka-angka 4 Maret, di mana banjir mulai meluap
sejak tanggal 28 Pebruari. Sedangkan keadaan air sampai tanggal
7, sudah mencapai ketinggian hampir 5 meter. Dengan demikian,
Dati II Hulu Sungai Utara yang berada pada ketinggian 3,75 Cm
dari permukaan laut itu praktis seluruhnya digenangi air lebih
dari satu meter. Artinya, perkiraan kerugian yang sebesar hampir
setengah milyard itu, tidak mustahil akan terus merayap. Sebab
keadaan air hingga laporan ini dikirim Pembantu TEMPO, masih
menunjukkan gejala naik.
Nah, di antara sekian macam proyek pembangunan yang tertimpa
musibah itu, pastilah yang namanya Proyek (jalan) Inpres yang
paling ketiban pulung. Karena jalan yang diolah berkat instruksi
Presiden itu, sudah menjadi rahasia umum dibuat tidak terlalu
permanen. Dan lagi untuk mengadakan perbaikan misalnya, seperti
yang dikatakan oleh drs. Yuliansyah, "duit dari kocek mana yang
harus dirogoh".
Itu baru pasal proyek inpres yang mau tidak mau mengundang
pemikiran juga bagi pejabat-pejabat di sana. Belum lagi kerugian
masyarakat setempat secara pribadi harus pula direka-reka.
Itulah sehabnya banyak masyarakat di sini yang membuka mulut
menuding penebangan kayu di Murung Bulan (Dati II Tabalong)
sebagai biang kerok penyebab malapetaka ini. Betulkah? "Itu
tidak benar", sahut Subardjo pada Sjachran dari TEMPO, "akibat
hujan lebat yang terus turun di daerah itu". Apa yang dikatakan
Subardjo memang benar.
Berapa lama banjir ini alan menjadi tamu bagi rakyat di Hulu
Sungai Utara? Sulit untuk diperkirakan. Karena banjir di Amuntai
tidak sama dengan banjir-banjir yang sering melanda Jakarta atau
daerah-daerah lainnya di pulau Jawa. "Banjir di sini datangnya
pelan, pulangnya juga pelan", tutur Subardjo sambil mengingatkan
banjir-banjir yang pernah terjadi. Pada tahun 1954, contohnya,
banjir yang sama melanda kota Amuntai. Namun pada waktu itu,
menurut seorang pejabat di Pemdati II Hulu Sungai Utara,
ketinggian air cuma 3,60 meter saja. Dan lamanya, nyaris sebulan
penuh. Dan kini yang sedang terjadi, sudah berjalan setengah
bulan, toh air pelan-pelan masih nampak naik juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini