Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berita Tempo Plus

Demokrasi di pantai jakarta

Muktamar II PPP di jakarta dibuka presiden soeharto. diikuti 800-an peserta dari DPC, DPW, MPP PPP di seluruh Indonesia. suasana demokratis terasa. ada keberanian memprotes, ada pendapat saling kritik.

2 September 1989 | 00.00 WIB

Demokrasi di pantai jakarta
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SEKITAR 800 hadirin memadati Ruang Krakatau, Hotel Horison, di kawasan Ancol, Jakarta Utara, Senin malam pekan ini. Darussamin. Ketua DPP PPP, sebagai pemimpin sidang, menyatakan rapat pleno dibuka. Kemudian dengan sigap ia bertanya "Apa Saudara-Saudara setuju menerima pertanggungjawaban DPP tadi?" Sebagian peserta berteriak, "Setujuuu". Tapi lebih banyak yang memekik, "Tidaaak." Itu rupanya bukan soal. Darussamin langsung saja mengetukkan palu yang sudah siap di tangannya, ke atas meja keraskeras, sebanyak tiga kali. Lalu ia bergegas meninggalkan ruangan itu. Hadirin sempat terpesona sejenak, kemudian baru maklum apa maksud ketukan palu itu. Artinya: pertanggungjawaban pengurus DPP PPP periode 1984-1989 yang baru saja dibacakan Ketua Umum PPP J. Naro, 20 menit sebelumnya, sah diterima muktamar. "Padahal, sekitar 100 orang menyatakan tak setuju," kata H.M. Djufrie, Ketua DPW PPP DKI Jakarta. Peristiwa Senin malam itu, berlanjut dengan kegaduhan. Sebagian besar hadirin tetap di ruang itu. Mereka berteriak-teriak mengecam Naro. Kemudian bersama-sama menyanyikan lagu Satu Nusa Salu Bangsa, sebagai protes atas tindakan pimpinan sidang tadi. Setelah itu, dengan tertib mereka keluar ruangan, sibuk mengadakan pertemuan untuk menyusun surat protes. Sekitar 9 DPW mengajukan protes, antara lain Jawa Tengah dan DKI Jaya. "Kami ingin menanyakan soal harian Pelita. Apakah itu dijual atau dihibahkan ke Golkar. Tahu-tahu palu sudah diketuk," kata seorang utusan dari Jawa Tengah. Sebelumnya, dalam pidato pertanggungjawabannya, Naro memang tak menyinggung soal Pelita. Juga tak ada laporan soal keuangan. Sebelum muktamar sudah sering M. Husnie Thamrin, Wakil Sekjen DPP PPP dituduh, menggunakan manajemen tertutup. Dalam laporan sepanjang 27 halaman yang dibacakannya, Naro hanya melaporkan kegiatan rutin partai. Kemudian ada jumlah surat keluar-masuk, jumlah rapat, dan sebagainya. Kegiatan yang menonjol ialah pencalonannya sebagai wapres dalam SU MPR, Maret 1988. "Latar belakang pencalonan ini didorong oleh keinginan untuk menegakkan demokrasi dan mengisi wujud demokrasi Pancasila," kata Naro. Tak lupa Naro mengingatkan hadirin ihwal keputusan sidang Dewan Partai, 15-16 Januari 1988, yang isinya, antara lain, meminta kesediaannya untuk kembali dicalonkan sebagai Ketua Umum PPP. Di dalam laporan itu, hasil keputusan sidang Dewan Partai ditandatangani 26 Ketua DPW PPP, kecuali DPW Ir-Ja yang tak turut, karena tak hadir dalam pertemuan itu. Di akhir pidato, Naro berkata, "Tak ada gading yang tak retak. Tapi gading retak pun, kalau diukir dengan indahnya, ia bisa menjadi hiasan yang indah pula." Sebagian hadirin bertepuk, tapi tak sedikit yang menangis. Dan Naro meneteskan air mata. Muktamar II PPP yang dibuka Presiden Soeharto, Senin pagi, di gedung Departemen Kehutanan Manggala Wanabakti, Jakarta, sungguh menimbulkan suasana baru. Ada keberanian utusan DPW (provinsi) atau DPC (kabupaten atau kota madya) untuk buka suara, sesuatu yang langka terjadi di jajaran organisasi politik, di sini. Presiden, dalam pidato pembukaan, mengingatkan di tubuh orpol harus dikembangkan iklim yang sehat bagi pelaksanaan demokrasi Pancasila. Dan itu penting, sebab, kata Kepala Negara, "Jika dalam tubuh kekuatan sospol kita tidak berkembang suasana demokrasi yang sehat, maka kehidupan demokrasi secara nasional juga akan mengalami hambatan." Muktamar ini berlangsung 28-30 Agustus 1989, diikuti 800-an peserta dari DPC, DPW, DPP, serta MPP PPP di seluruh Indonesia. Sidang-sidang muktamar menelan biaya Rp 700 juta. Dari jumlah tersebut, Rp 185 juta berupa hadiah Presiden Soeharto, dari Mabes ABRI dan Departemen Sosial masing-masing keluar Rp 100 juta. Selebihnya dari para donatur dan kas partai. Sungguh, muktamar II ini amat berbeda dengan muktamar I, Agustus 1984, yang oleh banyak pengamat dijuluki sebagai "Muktamar Naro". Ketika itu Naro adalah segalanya. Para utusan daerah hanya bisa masuk ke Hotel Horison, Ancol, bila membawa surat undangan yang ditandatanganinya. Maka, yang diundang pun terbatas orang-orang yang loyal pada Ketua Umum PPP itu. Sekitar 100 Ketua DPW atau DPC yang dicurigai sebagai anti-Naro -- umumnya terdiri dari orang-orang NU -- tak diundang, tanpa bisa berbuat apa-apa. Karena sudah sampai di Jakarta, mereka terpaksa berkumpul di kantor PB NU di Jalan Kramat Raya sekitar 8 km di selatan tempat Muktamar. Sebetulnya, sejak dua bulan sebelum muktamar, sudah mudah diduga ke mana arah angin akan bertiup. Yaitu setelah Naro menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha, 14 Juni 1984. Keluar dari ruang kerja Pak Harto, Naro langsung memberi keterangan pers bahwa Presiden sudah bersedia membuka muktamar PPP. Keberhasilan Naro menghadap Kepala Negara segera ditafsirkan orang sebagai isyarat bahwa Pak Harto merestui Naro untuk kembali memimpin PPP. Beberapa pejabat tinggi lalu buru-buru mengambil sikap mendukung Naro. Setelah muktamar, Naro betul-betul tampil sebagai orang kuat PPP. Orang-orang yang coba menjajal kekuatannya semua terpental. Mulai Sjarifuddin Harahap, Badrut Tamam Achda, almarhum Soedardji, dan belakangan Ridwan Saidi. Maka, kelompok Naro terasa kuat. Sampai-sampai ambruknya perolehan suara PPP dalam Pemilu 1987, dari 94 jadi tinggal 61 kursi DPR, tak ada yang menyoal. Untuk menghadapi SU MPR, maka PPP mengadakan sidang Dewan Partai (sebuah lembaga setin&kat di bawah muktamar, beranggotakan semua anggota MPP, DPP, F-PP, serta para Ketua DPW), 15-16 Januari 1988. Sidang itu, antara lain, memutuskan mencalonkan kembali Naro dalam muktamar II PPP. Sampai kemudian seperti diketahui. F-PP mencalonkan Naromenjadi wapres dalam SU MPR, menandingi Sudharmono, calon F-KP dan F-UD yang didukung FABRI. Ini membuat kesal kalangan Pemerintah. Tak kurang Presiden Soeharto sendiri dalam buku otobiografinya, mengkritik langkah ngotot PPP: bertahan mencalonkan Naro, padahal sudah tahu akan kalah. Dalam buku yang beredar akhir 1988, Presiden berkata, tindakan PPP itu, karena mereka masih berpikir cara demokrasi Barat. "Jadi bisalah timbul pikiran bahwa PPP itu hanya dalam kertas saja pura-pura menerima bulat Pancasila, tapi sebenarnya masih dilatarbelakangi ideologi lain," tulis Pak Harto. Sejak itu, sejumlah tokoh PPP di Jakarta maupun di daerah mulai khawatir akan sepak terjang Naro. Ada pula yang berpendapat, masa bulan madu Naro dengan Pemerintah sudah berakhir. Tapi sebenarnya, beberapa hulan sebelum buku Pak Harto beredar, dalam sebuah rapat DPP, 30 September 1988, sudah pecah pertentangan Naro, Mardinsyah, Darussamin, dan kawan-kawannya, dengan kelompok Hartono Mardjono, Ismail Hasan Metareum, dan M. Husnie Thamrin . Soalnya, kelompok penentang ini terus terang mengaku akan mencalonkan diri dalam muktamar Agustus 1989, sementara Naro berpegang pada keputusan rapat Dewan Partai tadi: mencalonkan hanya Naro di muktamar. Dari sini Naro dkk. mulai bersimpang jalan dengan kelompok Hartono Mardjono yang belakangan dikenal sebagai kelompok Aisyah Aminy, Ketua DPP PPP, berasal dari Muslimin Indonesia (MI), seperti juga Naro. Di awal pertarungan, Naro, yang masih didukung 24 dari 27 DPW yang ada, tampaknya akan menang lagi. Daerah yang kelihatan berani menentangnya terbatas pada DKI Jakarta, Sumatera Utara, dan Jawa Tengah. Terbukti Naro berhasil membentuk panitia muktamar, 15 April 1989, tanpa mendudukkan kelompok Aisyah Aminy di dalamnya. Aisyah tak mau kalah, lalu membentuk semacam panitia tandingan yang diketuai Ismail Hasan Metareum, salah seorang Ketua DPP. Mereka harus kecewa setelah Mendagri Rudini -- dengan alasan asas legalitas -cuma mengakui panitia bentukan Naro yang diketuai oleh H.M.O. Mahdi Tjokroaminoto, Ketua DPP yang lain. Tapi menghadapi Muktamar II ini, tampaknya, Naro tak lagi sekuat lima tahun yang lalu. M. Husnie Thamrin, misalnya, menunjukkan kelemahan Naro, bahwa selama lima tahun memimpin partai, Naro tak pernah bertemu dengan Presiden dalam kapasitas sebagai pimpinan partai. Bahkan sampai muktamar dibuka pekan ini, Naro dan panitia muktamar tak juga berhasil bertemu Presiden. Semua itu menunjukkan, restu yang selama ini digenggam Naro mulai melorot. Gerakan kelompok Naro mulai sedikit tertegun, setelah Mendagri Rudini menegaskan bahwa Pemerintah ingin PPP mandiri, dan tidak akan mencampuri pelaksanaan muktamar. Rudini ingin agar muktamar berjalan demokratis sesuai dengan konstitusi partai. "Untuk itu, pemerintah tak akan memihak kelompok mana pun," katanya. Rudini, rupanya, sungguh-sungguh. Ia tak bisa lagi dituduh sebagai menyebelah kubu Naro, ketika sebagai pembina politik dalam negeri, ia mengusulkan agar muktamar tak menggunakan formatur tunggal. Itu sesuatu yang ditakuti kelompok Aisyah, sebab bila Naro terpilih sebagai formatur unggal, mereka semua pasti akan tersisih. Ada lagi. Rudini memperingatkan DPP PPP agar jangan mengatur para peserta muktamar. "Kalau mengundang peserta, jangan pakai nama, tapi undang saja jabatannya Supaya yang hadir ke muktamar jangan cuma orang tertentu," kata Rudini. Kepada TEMPO, Sabtu pekan lalu, Rudini membantah telah mencampuri urusan intern PPP dengan berbagai saran. "Apa-apa asal menyarankan dikira mencampuri. Lha, terserah, wong kalau ndak dijalankan saya tak berhak menindak. Kalau saya sarankan formatur jangan tunggal, putusannya terserah mereka," katanya. Dalam sidang pleno pertama yang membahas tata tertib muktamar, nyatanya, secara aklamasi disetujui kalau formatur yang akan menyusun formasi DPP periode 1989-1994, terdiri dari tujuh orang. Begitu pula tentang peserta muktamar. Mereka yang hadir ke Jakarta, bukan atas undangan DPP PPP, tapi berdasarkan keputusan DPC atau DPW masing-masing. Pada hari penukaran mandat para utusan, di Hotel Horison, Minggu siang lalu, sempat meletup kerusuhan kecil. Rupanya, sejumlah cabang sempat diundang DPP, diteken oleh Naro dan Sekjen Mardinsyah. Sementara itu, utusan cabang yang sama datang membawa mandat yang ditandatangani pengurus cabangnya. Maka, utusan dari satu daerah jadi kembar. Hal seperti itulah yang terjadi pada cabang Wonosobo, Jawa Tengah. "Saya heran, kok DPP masih melakukan permainan yang layak disebut curang itu?" kata Karmani, Ketua DPW Jawa Tengah. Setelah Karmani turun tangan, soal itu selesai, begitu juga utusan kembar dari daerah lainnya, seperti Sorong (Irian Jaya), Jakarta Timur, dan beberapa daerah lainnya. Panitia memutuskan: semua utusan itu boleh hadir, tapi bila terjadi pemungutan suara dalam sidang, suara utusan kembar itu tetap dianggap cuma satu suara. Yang lain, semua para anggota MPP (Majelis Pertimbangan Partai) -- semacam lembaga penasihat DPP, terdiri dari 20-an tokoh senior -- diundang ke muktamar. Padahal, semula kelompok Naro hanya akan mengundang anggota MPP tertentu, sementara kelompok Aisyah bersikeras agar semua diundang. Dalam sidang pleno Senin sore tadi, lagi-lagi suara kelompok Naro kalah. Konsep mereka agar dalam pencalonan formatur, suara cabang dikoordinasikan oleh pengurus wilayah masing-masing tak disetujui. Sidang secara aklamasi memutuskan bahwa tiap cabang (jumlahnya 302) punya satu suara dalam pencalonan itu. Wilayah (DPW) juga yang jumlahnya 27, masing-masing punya hak satu suara, sedangkan DPP satu suara. Selama ini, kelompok Aisyah Aminy aktif menggarap langsung cabang-cabang, karena itu mereka ingin suara cabang di muktamar ini lebih bebas. Yang jelas, suasana demokratis memang sudah terlaksana di Ancol. Demoraksi di sini, seperti disebutkan Rudini, tak lain dari demokrasi Pancasila. Dalam penafsiran Rudini, itu berarti, para peserta muktamar berani mengeluarkan pendapat, dengan berpedoman pada undang-undang, dan tertib. Hal itu diakui oleh banyak pihak. "Saya menilai muktamar ini berjalan secara demokratis dan konstitusional," ujar Jailani Naro Senin malam. Ismail Hasan Metareum berpendapat serupa. "Sekarang cabang-cabang dan wilayah sudah berani buka suara. Saya dengar, kalau perlu mereka siap dengan voting," katanya. Maka, kebekuan selama ini mencair. Akibatnya, tak seperti biasa, orang lantas sulit menduga siapa yang akan terpilih menjadi ketua umum. Lihatlah. Seusai magrib, Minggu lalu, di lobi Hotel Horison, muncul Husnie Thamrin sebagai juru bicara kelompok Aisyah. Di depan wartawan, serta peserta muktamar yang lalu lalang, bekas Ketua Umum KAPPI itu berkata, setengah berteriak, "Kami mencalonkan Hartono Mardjono sebagai Ketua Umum PPP. Hartono adalah calon tunggal kami." Ia menambahkan bahwa berdasarkan lobi yang mereka lakukan, sedikitnya, Hartono sudah didukung125 dari 302 cabang yang ada. Hartono calon tunggal? Tidak. Masih ada Karmani, Chalid Mawardi, dan Mahdi Tjokroaminoto. Mahdi mencuat menjelang muktamar, konon, setelah sejumlah pejabat Ditsospol, malah gubernur, di beberapa daerah berkampanye untuknya. Tak jelas instruksi untuk itu datang dari mana. "Kalaupun itu ada, bukan instruksi dari saya. Instruksi saya bukan begitu," kata Rudini. Awal Agustus, Mendagri memang mengirim instruksi kepada para gubernur, isinya antara lain agar para pejabat Ditsospol membantu pengurus PPP setempat untuk mengirimkan dua utusan mengikuti muktamar ke Jakarta. Para utusan diberi pesan agar menjaga suasana muktamar tetap demokratis. Instruksi itu juga bukan berasal dari jajaran ABRI. Sebab, Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno, Senin pekan ini, menyatakan bahwa para peserta muktamar dari daerah memang bertemu para gubernur sebelum berangkat ke Jakarta. "Tapi instruksi seperti yang Anda sebutkan itu tak ada. Itu kan melanggar aturan," kata Jenderal Try. Yang jelas merestui Mahdi adalah SI (Syarikat Islam), organisasi yang didirikan E.O.S. Tjokroaminoto, kakek Mahdi. Sabtu lalu, sejumlah tokoh SI, di antaranya Harsono Tjokroaminoto (paman Mahdi), merestui pencalonan Mahdi dalam muktamar, melalui sebuah upacara di kantor SI, di kawasan Matraman, Jakarta. Turut hadir sejumlah utusan muktamar yang berasal dari unsur SI. Yang belum menentukan sikap adalah Naro. Ada wartawan bertanya, "Apakah sudah ada isyarat agar Bapak akan mundur?" Dengan lantang, seperti biasa, dijawabnya, "Yang bisa memberi isyarat itu cuma Tuhan. Kalau Tuhan bilang jadi, ya jadi, kalau tidak, ya tidak." Mungkin tak mudah menggusur Naro. Setidaknya, kadernya sudah bertebaran di jajaran PPP. Anaknya, Husein Naro, kini Ketua GMP, organisasi pemuda yang dekat dengan PPP. Selain penuh dengan protes dan uluran tunjuk tangan hadirin, muktamar ini juga tak selalu tegang. Misalnya, Senin siang lalu, Haji Misbach, utusan DPC Buleleng, Bali, sempat menghibur teman-temannya. bukan dengan tari Bali, tapi ia berjaipong dengan wanita sintal.Amran Nasution, Rustam FM, Tri Budianto, Diah Purnomowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum