Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dua Pelanggaran, Satu Sanksi

Dewan Pengawas KPK tidak memberikan sanksi kepada Lili Pintauli Siregar meski dia berbohong dan menyangkal berkomunikasi dengan pihak beperkara. Bisa menjadi preseden buruk.

22 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 9 Januari 2020. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dewas seharusnya membedakan kebohongan publik yang dilakukan Lili dengan perbuatan Lili berkomunikasi dengan pihak beperkara.

  • Ranah etik lebih luas dibanding ranah hukum.

  • Menimbulkan keengganan publik untuk melaporkan ketika mengetahui adanya dugaan pelanggaran etik di lingkungan internal KPK.

JAKARTADewan Pengawas KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menyatakan Komisioner Lili Pintauli Siregar terbukti berbohong saat menggelar konferensi pers pada 30 April 2021. Meski Lili terbukti bohong perihal berkomunikasi dengan pihak beperkara kasus Tanjungbalai, Dewan Pengawas tidak melanjutkan kasus ini ke persidangan etik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Dewan Pengawas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, menuturkan sanksi dari kebohongan Lili sudah diabsorpsi dalam sanksi atas perbuatannya berkomunikasi dengan pihak beperkara. “Berbohongnya yang bersangkutan (Lili) itu sebelum disidangkan sebagai upaya menutupi perbuatannya," ujar Tumpak saat dihubungi Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tumpak menjelaskan, saat perkara etik Lili mulai disidangkan, Dewan Pengawas sudah mempertanyakan kebohongan Lili dalam konferensi pers. Di hadapan Dewas, Lili mengakui berbohong dan membenarkan perbuatannya berkomunikasi dengan pihak beperkara. "Sudah ditanyakan itu dalam sidang, dan yang bersangkutan mengaku," kata Tumpak.

Dalam doktrin hukum, ujar Tumpak, ada istilah concursus idealis, yakni satu tindak pidana melanggar dua atau lebih aturan pidana. Doktrin ini menyebutkan, jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan. "Dua perbuatan, tapi sanksi yang dikenakan sudah mengabsorpsi perbuatan yang satunya," ujar dia.

Meski sidang yang dilakukan untuk menentukan ada-tidaknya pelanggaran etik, Tumpak menekankan persidangan tetap harus berpegang pada asas hukum dan keadilan. Perbuatan Lili, kata dia, merupakan dua hal yang berbeda, tapi dilakukan dalam waktu bersamaan sehingga sanksi yang diberikan cukup satu. "Jadi, sanksi berat yang dijatuhkan kepadanya sudah mengabsorpsi juga tentang perbuatan kebohongan publik tersebut. Memang bisa saja ada penafsiran yang berbeda tentang hal ini. Tapi penafsiran seperti itulah yang diputus oleh Dewas," ucap dia.

Lili Pintauli menjalani sidang etik karena telah berkomunikasi dengan Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, Syahrial, yang tengah beperkara di KPK. Sebelum disidang, Lili melakukan konferensi pers dan membantah tudingan bahwa ia berkomunikasi dengan Syahrial untuk membahas perkara. Namun, pada Agustus tahun lalu, Dewan Pengawas menyatakan Lili terbukti bersalah melanggar etik karena telah berkomunikasi dengan Syahrial. Ia diganjar hukuman potong gaji sebesar 40 persen selama 12 bulan.

Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean setelah sidang etik Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar di gedung ACLC Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 30 Agustus 2021. TEMPO/Imam Sukamto

Atas putusan Dewas itu, Indonesia Memanggil 57 Institute melaporkan kembali Lili karena melakukan pembohongan publik dalam konferensi pers yang digelar pada April tahun lalu. Pernyataan Lili yang membantah pernah berkomunikasi dengan Wali Kota Tanjungbalai dianggap bertentangan dengan putusan Dewas dan merupakan pelanggaran kode etik. Atas laporan itu, Dewas menyatakan bahwa Lili terbukti melakukan kebohongan dalam konferensi pers, tapi tak melanjutkan laporan ke sidang etik ataupun pemberian sanksi.

Anggota IM 57 Institute, Benydictus Siumlala Martin, menilai semestinya Dewas membedakan konteks pelanggaran etik dengan pelanggaran hukum. Jika Dewas menggunakan pendekatan hukum, seharusnya Dewas sudah melimpahkan kasus Lili ke penegak hukum sebagai tindak pidana, bukan hanya diselesaikan dengan sidang pelanggaran etik. "Kalau ngomong-nya ranah etik, ya, seharusnya tetap dilanjutkan," kata dia.

Benydictus mengatakan Dewas seharusnya membedakan antara kebohongan publik yang dilakukan Lili dan perbuatan Lili berkomunikasi dengan pihak beperkara. Menurut dia, ranah etik lebih luas dibanding ranah hukum sehingga tidak bisa saklek mengikuti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. "Soalnya kan ngomong etika itu ngomong nilai-nilai," ujar dia. "Enggak bisa dijadiin satu begitu. Kan, masing-masing pelanggaran berbeda gradasinya."

Benydictus mengingatkan, tidak adanya sanksi bagi Lili akan menjadi preseden buruk di mata publik. Bekas pegawai KPK itu menuturkan, di era sebelumnya, kerap terjadi pegawai dipecat hanya karena mencuri di warung kejujuran di KPK. "Itu OB, outsource pula. La, ini pimpinan, sudah WhatsApp-an dengan tersangka, berbohong pula, cuma dipotong gaji Rp 1,8 juta," katanya.

Peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai keputusan Dewas dengan tidak memberikan sanksi kepada Lili akan berdampak buruk bagi komisi antirasuah ke depannya. Di antaranya, nilai integritas di KPK tidak akan ada artinya lagi.

Zaenur menganggap keputusan Dewas berpotensi menurunkan kepercayaan publik kepada KPK. Menurut dia, KPK tidak bisa lagi menunjukkan diri sebagai lembaga yang memiliki prinsip-prinsip nilai integritas. Dewas, ke depannya, juga akan semakin diremehkan oleh masyarakat, termasuk insan KPK itu sendiri.

Dengan sikap Dewas yang tidak tegas ini, kata Zaenur, publik akan malas untuk melapor jika putusan-putusannya lembek. “Itu bisa menimbulkan keengganan publik untuk melaporkan ketika mengetahui adanya dugaan pelanggaran etik di lingkungan internal KPK. Publik bisa mengatakan 'ngapain melapor kalau tidak diapa-apain sama Dewas?’ Begitu,” tutur dia.

Sependapat dengan Zaenur, Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan putusan Dewas terhadap Lili. Peneliti dari ICW, Kurnia Ramadhana, menuturkan obyek pemeriksaan Dewas antara kebohongan publik dan komunikasi merupakan dua hal berbeda. Karena itu, sudah seharusnya Dewas kembali menjatuhkan sanksi kepada Lili. "ICW tidak memahami bagaimana logika di balik hasil pemeriksaan Dewan Pengawas terkait dengan kebohongan Lili Pintauli Siregar," kata Kurnia.

Kurnia berharap kasus serupa tidak akan terulang dalam penanganan kasus pelanggaran etik. Ia meminta Dewan Pengawas KPK lebih obyektif, transparan, dan berani menindak orang-orang bermasalah di lingkungan internal KPK. "Dewas mesti obyektif, transparan, dan berani untuk menindak serta 'membersihkan' KPK dari orang-orang bermasalah, seperti LPS," ujar dia.

MAYA AYU PUSPITASARI | ROSSENO AJI NUGROHO

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus