Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Agenda Terselubung di Balik Pencabutan Tap MPR

Berbagai kalangan menduga ada agenda MPR yang lebih besar di balik pencabutan tiga Tap MPR. Bisa berujung amendemen UUD.

2 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAKAR hukum tata negara menyoalkan pencabutan tiga Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat di ujung masa jabatan MPR periode 2019-2024. Pengajar hukum tata negara di Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menduga keputusan MPR periode 2019-2024 yang mencabut tiga Tap MPR itu merupakan langkah awal mereka untuk mengamendemen Undang-Undang Dasar 1945.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kami melihat bahwa sebenarnya keputusan ini semacam prakondisi bagi MPR. Ada rencana besar mereka ke depan, yaitu mengembalikan otoritas yang dulu dimiliki oleh MPR,” kata Herdiansyah, Selasa, 1 Oktober 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dugaan Herdiansyah itu di antaranya berpijak pada pernyataan Ketua MPR periode 2019-2024, Bambang Soesatyo, yang berpesan agar MPR periode berikutnya melanjutkan pembahasan amendemen Undang-Undang Dasar. Di samping itu, MPR di bawah kepemimpinan Bambang berkali-kali menggelindingkan upaya mengamendemen konstitusi. Salah satu tujuan amendemen itu adalah mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Dalam sebulan terakhir, MPR periode 2019-2024 mencabut tiga Tap MPR. Ketiganya adalah Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno; Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; serta Tap MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden RI KH Abdurrahman Wahid. Ketiga Tap MPR ini sesungguhnya berisi tentang pencabutan kekuasaan Presiden Sukarno; pengusutan Presiden Soeharto, keluarga, dan kroninya yang diduga terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme; serta pemberhentian Abdurrahman sebagai presiden.

Herdiansyah berpendapat, MPR sebetulnya tidak lagi berwewenang membuat Tap MPR, apalagi mencabutnya, setelah amendemen Undang-Undang Dasar 1945 pada rentang waktu 1999-2003. Hasil empat kali amendemen itu di antaranya menghapus kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sekaligus mencabut kewenangannya untuk menerbitkan ketetapan.

Anggota Constitutional and Administrative Law Society ini mengatakan kini kedudukan MPR setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. MPR juga hanya berupa lembaga ad hoc yang berisi gabungan anggota DPR dan DPD. MPR sebagai lembaga ad hoc, kata dia, hanya bertugas ketika ada momentum, seperti pelantikan presiden dan wakil presiden serta rencana mengubah Undang-Undang Dasar.

Menurut Herdiansyah, pencabutan ketiga Tap MPR itu bisa menjadi argumen MPR periode 2024-2029 mencabut sejumlah Tap MPR lain. Sebab, MPR periode ini, yang baru dilantik per 1 Oktober 2024, bisa beralasan bahwa lembaganya memiliki yurisprudensi, yaitu pernah mencabut Tap MPR.

Ketua MPR Bambang Soesatyo menyerahkan surat kepada putra sulung presiden pertama RI Sukarno, Guntur Soekarnoputra, dengan disaksikan presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra, dalam acara Silaturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR dengan Presiden RI Ke-5 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 9 September 2024. ANTARA/Monang Sinaga

Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi Universitas Andalas Charles Simabura menduga MPR ingin mengecek reaksi publik dengan mencabut tiga Tap MPR tersebut. Ketika reaksi publik biasa-biasa saja, MPR periode 2024-2029 dapat menjadikan keputusan MPR periode sebelumnya sebagai dasar untuk mencabut ataupun membuat ketetapan baru.

“Mereka dapat menjustifikasi bahwa kemarin bisa merevisi Tap MPR,” kata Charles, Selasa, 1 Oktober 2024.

Ia berpendapat, Tap MPR merupakan produk hukum sehingga pencabutannya harus dilakukan dengan produk hukum yang lebih tinggi. Karena itu, Tap MPR tidak bisa dicabut hanya berdasarkan kesepakatan pimpinan MPR. Namun pencabutan ketetapan itu semestinya dilakukan lewat sidang paripurna MPR. “MPR tidak pernah menggelar sidang paripurna pencabutan tiga Tap MPR tersebut,” ujarnya.

Menurut Charles, pencabutan Tap MPR tentang pemberhentian Sukarno dan Abdurrahman sesungguhnya sudah selesai. Sebab, kedua Tap MPR tersebut sudah tidak berlaku dengan adanya Tap MPR Nomor I/MPR/2003. Ketetapan ini menyatakan bahwa tidak perlu dilakukan tindakan hukum apa pun terhadap dua Tap MPR tersebut.

“Substansinya juga aneh karena mencabut Tap MPR yang sudah dicabut. Jadi, bagi saya, ini cuma gimik politik untuk konsolidasi politik menjelang pelantikan atau agenda yang lebih besar,” ucap Charles.

Ia melanjutkan, Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 yang menyinggung nama Soeharto sesungguhnya masih berlaku. Charles mengatakan Tap MPR ini tidak mungkin dicabut karena pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme masih berlangsung. Dengan demikian, langkah MPR mencabut Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 adalah memberikan jalan agar Soeharto dapat diberi gelar pahlawan nasional. Selain itu, kata dia, patut diduga ada agenda MPR yang lebih besar ke depan. “Jangan-jangan ini persiapan untuk mengamendemen UUD.”

Seperti diketahui, calon Ketua MPR periode 2024-2029 adalah Ahmad Muzani, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra. Pada saat yang sama, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto akan dilantik sebagai presiden periode 2024-2029 pada 20 Oktober mendatang. Prabowo adalah menantu Soeharto. Menteri Pertahanan itu pernah menikah dengan Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto, putri keempat Soeharto.

Ketua MPR Bambang Soesatyo menyerahkan surat kepada putra sulung presiden pertama RI Sukarno, Guntur Soekarnoputra, dengan disaksikan presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra, dalam acara Silaturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR dengan Presiden RI Ke-5 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 9 September 2024. ANTARA/Monang Sinaga

Wakil Ketua MPR periode 2019-2024, Lestari Moerdijat, mengatakan lembaganya sebetulnya tidak mencabut Tap MPR. Alasannya, ketiga Tap MPR tersebut sudah tidak berlaku dengan adanya Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003. 

Politikus Partai NasDem ini juga menyinggung urusan amendemen. Ia menyatakan amendemen UUD harus dilakukan secara menyeluruh, bukan parsial. “Jadi bukan cuma Pokok-Pokok Haluan Negara,” katanya.

Ketua Fraksi Partai NasDem MPR periode 2019-2024, Taufik Basari, mengatakan pernyataan pimpinan MPR dalam sidang paripurna bukanlah pencabutan Tap MPR, melainkan tanggapan terhadap surat Partai Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa. Kedua partai meminta MPR melakukan tindakan administratif untuk membersihkan nama Soeharto dan Abdurrahman Wahid.

“Sehingga MPR membalas surat tersebut,” ujarnya, Selasa, 1 Oktober 2024. 

Taufik menegaskan, surat balasan pimpinan MPR kepada PKB dan Golkar menjelaskan kembali isi Tap MPR tersebut, yang sebetulnya sudah selesai dilaksanakan. Menurut dia, tidak ada pernyataan pencabutan Tap MPR yang disampaikan pimpinan MPR periode 2019-2024.

Taufik mengatakan surat balasan MPR kepada PKB menjelaskan bahwa Tap MPR Nomor II/MPR/2001 sudah selesai sehingga tidak diperlukan tindakan hukum apa pun. Lalu surat balasan MPR kepada Golkar menerangkan bahwa Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 masih berlaku. Namun Pasal 4 yang memerintahkan untuk mengadili Presiden Soeharto sudah selesai setelah adanya putusan pengadilan. “Jadi surat pimpinan itu adalah surat balasan yang berisi penjelasan,” ucapnya.

Bambang Soesatyo belum merespons permintaan konfirmasi Tempo soal ini. Sebelumnya, Bambang menyerahkan surat jawaban Pimpinan MPR Nomor B-13721/HK.00.00/B-VII/MPR/09/2024 kepada keluarga Soeharto pada 28 September 2024. Surat tersebut berisi keputusan untuk menghapus nama Soeharto dalam Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998. 

Politikus Golkar ini mengatakan penghapusan tersebut sudah disepakati pimpinan lembaganya pada 25 September 2024. Usulan penghapusan nama Soeharto itu diajukan oleh Fraksi Partai Golkar kepada pimpinan MPR pada 18 September lalu. Lalu pimpinan MPR serta pimpinan fraksi dan DPD menggelar rapat pada 23 September lalu. Hasilnya, mereka bersepakat menjawab surat Fraksi Golkar tersebut.

“Terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998, secara diri pribadi, ketetapan tersebut dinyatakan telah selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah meninggal,” kata Bambang, Sabtu, 29 September 2024.

Ia mengatakan pemerintahan mendatang dapat mempertimbangkan memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto setelah penghapusan namanya dalam Pasal 4 Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998. Pasal 4 itu mengatur upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme terhadap Presiden Soeharto dan pejabat negara, termasuk keluarga dan kroninya.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan keputusan MPR tersebut menciptakan preseden buruk terhadap pemerintahan mendatang. “Upaya ini membuka jalan pemutihan dosa-dosa penguasa masa lalu,” kata Usman lewat keterangan tertulis, Kamis, 26 September 2024.

Usman menyebutkan nama Soeharto tidak bisa begitu saja dihapus dalam Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998. Sebab, ada berbagai dugaan kejahatan korupsi, kerusakan lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun berkuasa. Berbagai dugaan kejahatan tersebut belum selesai diungkap hingga kini.

Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Jane Rosalina mengatakan pencabutan ketiga Tap MPR tersebut merupakan langkah keliru karena tidak mempertimbangkan aspek sejarah. Penghapusan nama Soeharto dalam Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 berpotensi memutihkan dosa-dosa Soeharto selama 32 tahun berkuasa.

“Keputusan MPR ini tidak hanya mengaburkan tanggung jawab, tapi juga mengancam upaya keadilan dan pengungkapan kebenaran yang selama ini diperjuangkan,” kata Jane.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Nandito Putra dan Annisa Febiola berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus