Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Kini Mereka Ke Salon

Proyek Asahan banyak membawa pengaruh di beberapa wilayah disekitarnya. Cara berpakaian, makanan, pergaulan sudah meniru orang kota. Harga tanah naik, petani beralih propesi menjadi pedagang. (dh)

28 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TRANSFER of technoloxy, sebagai salah satu manfaat yang diharapkan dari Proyek Asahan agaknya memang belum menampakkan hasil. Tapi harapan menteri Perindustrian yang diucapkan awal bulan lalu -- ketika meresmikan permulaan pembuatan pabrik peleburan aluminium di Kuala Tanjung (Asahan) -- tampak dari segi lain. Atau paling sedikit karena proyek itu telah membuat perubahan di beberapa wilayah sekitarnya. Hal itu dengan mudah misalnya terlihat pada cara berpakaian. Yang dulu sederhana dan apa adanya, pakaian pendududuk telah berubah jadi neces menirukan gaya orang-orang kota. Sebagaimana kebiasaan para pekerja di proyek itu penduduk juga sudah terbiasa dengan minuman kaleng dan rokok luar negeri. Gadis-gadis desa yang dulu lugu, akhir-akhir ini makin menampakkan kecantikan mereka lewat alat-alat kosmetik. Bahkan di Desa Lalang (Kecamatan Air Putih) sejak akhir bulan lalu telah berdiri sebuah salon kecantikan. Langganannya terdiri dari gadis-gadis dari desa sekitar proyek itu. Pergaulan dengan pendatang yang bekerja di proyek itu rupanya juga mempercepat penduduk sekitar itu lebih banyak mengenal hal-hal baru. Para remaja mulai berani bergandengan dengan pacarnya di depan orang tua mereka -- suatu hal yang selama ini masih tabu bagi masyarakat di sana. Apalagi sejak di Desa Sungai Suka Deras (Kecamatan Air putih) akhir-akhir ini berdiri bioskop permanen, Asahan Theater: acara nonton bersama antara sesama anak muda dapat berlangsung sampai larut malam. Tak kurang pula kadang-kadang disertai perkelahian di antara para remaja itu. Dari pihak lain, kesibukan Proyek Asahan disertai pula dengan semakin memuncaknya harga tanah di kawasan sana. Di Desa Lalang dulu se-rante tanah (1/20 hektar) berharga Rp 15.000. Sekarang sekitar Rp 300.000. Sewa atau kontrak rumah juga membubung. Penduduk setempat tentu kebagian rezeki tak sedikit. Sehingga banyak di antaranya yang membelanjakan uangnya secara bermewah-mewah. Tak sedikit pula di antaranya yang menjadikan uang itu sebagai modal dan sekaligus merubah profesi selama ini sebagai petani atau nelayan miskin menjadi pedagang. Tapi karena tak punya pengalaman dagang, modal habis. Sehingga harus kembali ke profesi semula, tapi tanpa tanah lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus