Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH empat kali mereka berjumpa dan kini keduanya hampir tiba di ujung jalan. Pertemuan kelima masih tetap digelar di Konigstedt Manor, rumah tua berusia hampir lima abad di Vantaa, sekitar 25 kilometer dari Helsinki, Finlandia, Selasa pekan lalu. Selama lima hari berembuk, delegasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berpikir mereka sudah jauh melangkah. Tapi utusan pemerintah Indonesia merasa tujuan negosiasi belum tercapai.
Crisis Management Initiative (CMI), lembaga penengah konflik pimpinan bekas Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, sejak awal mematok pertemuan kelima itu adalah pertemuan informal terakhir. Satu draf perjanjian damai setebal delapan halaman pun sudah siap. Rancangan perjanjian itu merangkum sejumlah butir kesepakatan, sejak pertemuan pertama Januari silam sampai Juli pekan lalu.
Dari Indonesia, kendali delegasi masih tetap dipegang Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin. Dia dibantu Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil, Deputi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Farid Husain, Deputi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Usman Basyah, serta pejabat Departemen Luar Negeri, I Gusti Agung Wesaka Pudja.
Perwakilan GAM juga masih sama, dipimpin oleh "Perdana Menteri" Malik Mahmud, "Menteri Luar Negeri" Zaini Abdullah, juru bicara Bakhtiar Abdullah, serta M. Nur Djuli dan Nurdin Abdul Rahman.
Pertemuan kali ini rupanya hampir bulat hasilnya. Misalnya saja soal amnesti, pengaturan ekonomi, aturan hukum, partisipasi politik, dan pengaturan keamanan sudah mencapai sejumlah titik temu. Isu yang paling sensitif, seperti pengaturan keamanan, pun lancar-lancar saja. Menurut juru bicara CMI, Maria-Elena Cowell, soal keamanan sudah masuk ke tahap rekomendasi. "Perundingan ini berjalan dengan semangat yang bagus," ujarnya.
Sehari sebelum perundingan, kata Maria, di Helsinki ada pertemuan khusus yang membahas soal keamanan. Tentu, persiapan itu penting jika perjanjian damai nanti jadi diteken kedua pihak, Agustus nanti. Deputi Direktur Pertahanan dan Keamanan Uni Eropa, Peter Feith, juga sudah bertemu bekas Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan Aceh, Mayor Jenderal Bambang Darmono, yang kini menjadi Komandan Pusat Persenjataan Infanteri TNI Angkatan Darat.
Ini merupakan pertemuan kedua Peter Feith, yang berasal dari Belanda itu, dengan Bambang Darmono. Sebelumnya mereka berjumpa saat tim Uni Eropa, ASEAN, dan CMI berkunjung ke Aceh untuk memantau kondisi keamanan, akhir Juni lalu. Baik pemerintah Indonesia maupun GAM sudah sepakat adanya Aceh Monitoring Mission, yang terdiri dari Uni Eropa dan negara ASEAN, sebagai pengawas saat proses perdamaian. Kelima negara jiran itu adalah Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, dan Filipina.
Uni Eropa tampaknya sudah siap mendukung rencana perdamaian Aceh ini. Kepada CMI, lembaga itu mengucurkan dana sekitar 269 ribu euro. "Dana itu untuk menyiapkan proses perdamaian yang menyeluruh di Aceh," ujar Lars Erik Lundin, pejabat Direktur Keamanan dan Pertahanan Komisi Eropa, lewat siaran pers beberapa waktu lalu. Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, sudah pula melayangkan surat. Isinya, meminta secara resmi ke tiap negara itu untuk terlibat dalam pemantauan proses perdamaian.
Memang, detail dari pengaturan keamanan ini belum dibuka ke publik. Tapi secara prinsip Indonesia akan menghentikan operasi militer, dan menarik seluruh tentara non-organik dari Aceh. GAM diminta menyerahkan semua senjatanya untuk dihancurkan. Setelah itu, pemerintah akan menarik TNI dari Aceh. "Kalau senjata GAM sudah dihancurkan, TNI tak perlu berlama-lama di Aceh," ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta, Jumat pekan lalu. Menurut Kalla, soal penarikan pasukan itu tak masalah buat TNI. "Tentara Indonesia cukup disiplin dengan keputusan pemerintah."
GAM sendiri sudah sepakat dengan perlucutan senjata. Sebagai gantinya, mereka meminta semua tentara non-organik ditarik keluar dari Aceh. "Yang tinggal hanya tentara yang bertugas di Kodam I Iskandar Muda," ujar M. Nur Djuli kepada Tempo, Jumat lalu. Dia mengatakan, sesuai dengan kesepakatan, hanya sekitar 7.000 tentara yang akan berdinas di Aceh di bawah kendali Kodam Iskandar Muda.
Perdebatan sengit justru terjadi pada soal partisipasi politik. Sejak awal GAM menyodorkan konsep partai lokal sebagai kompensasi politik atas peralihan gerakan bersenjata mereka ke gerakan politik demokratis. Partai lokal ini, dalam konsepsi GAM, sejalan dengan self government, satu konsep tandingan mereka atas proposal otonomi khusus yang ditawarkan RI. "Tanpa partai lokal, self government tak punya makna," ujar Nur Djuli.
Tapi ketegangan menjalar di meja perundingan. GAM merasa kecewa dengan pernyataan Hamid Awaludin kepada media di Helsinki, Kamis pekan lalu. Saat itu, Menteri Hamid mengatakan pemerintah menolak usul partai lokal. "Jelas sekali, partai lokal tak bisa kita izinkan saat ini. Tapi posisi itu bisa berubah sesuai dengan kondisi," ujar Hamid. Berdasarkan undang-undang, menurut Hamid, partai politik harus berpusat di Jakarta dan setidaknya punya cabang di separuh jumlah provinsi di Indonesia.
Sebagai jalan keluar, Hamid mengusulkan agar GAM bergabung dengan partai nasional yang sudah ada. Bahkan, dia menawarkan, pemerintah akan membantu pembentukan partai lokal itu ke sejumlah daerah lain. Tapi tawaran itu ditolak bulat-bulat oleh GAM. "Kami mau hak demokratis penuh bagi warga Aceh membentuk partai politik," ujar Nur Djuli. Kata dia, partai yang dibina pemerintah jelas tak bisa menjadi partai politik sejati.
SIKAP tegas GAM mengenai partai lokal erat terkait dengan sebuah pertemuan informal di Lidingo, Stockholm, Swedia, dua hari sebelum perundingan. Rapat penting ini disponsori lembaga bergengsi dari Swedia, Olof Palme International Center. Rembukan itu mempertemukan pimpinan GAM dengan sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat, organisasi mahasiswa dan pemuda, serta sejumlah tokoh politik asal Aceh. "Yang datang sekitar 30 orang," ujar Teuku Saiful Ahmad, bekas anggota DPR RI asal Partai Amanat Nasional, yang turut hadir dalam pertemuan itu.
Ini adalah pertemuan kedua, setelah pertemuan pertama sekitar Mei lalu tak membuahkan hasil. Sejumlah undangan rupanya enggan hadir dalam pertemuan pertama. Alasan mereka, daftar undangan terlalu berat sebelah alias kebanyakan dari organisasi bergaris politik senapas dengan GAM. "Kalau semua seirama dengan GAM, tak perlu ada rapat lagi," ujar seorang aktivis yang menolak hadir dalam rapat pertama.
Dalam rapat kedua, 9-10 Juli lalu, GAM setuju mengundang lebih banyak elemen. Jadinya, dalam rapat itu hadir berbagai spektrum gerakan sipil di Aceh. Beberapa tokoh Aceh masuk ke daftar undangan, meski tak semuanya bisa hadir. Di antara undangan adalah bekas Menteri Negara Hak Asasi Manusia Hasballah M. Saad, tokoh Muhammadiyah Aceh Imam Syuja', dan juga tokoh akademisi dari Universitas Syiah Kuala, Dr Humam Hamid. "Ide pertemuan itu sangat bagus," ujar Hasballah M. Saad. Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berhalangan hadir karena punya kesibukan lain.
Menurut Saiful, tokoh politik lain yang datang adalah Ghazali Abbas Adan, bekas anggota MPR RI. Sedangkan dari elemen pemuda dan mahasiswa, hadir wakil dari Sentral Informasi dan Referendum Aceh (SIRA), yang tokohnya, M. Nazar, masih mendekam di penjara Malang, Jawa Timur.
Selain itu hadir juga tokoh mahasiswa Aceh seperti M. Kautsar dan Aguswandi dari Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR). Wakil organisasi masyarakat Aceh di sejumlah kota di Indonesia juga hadir, plus kumpulan masyarakat Aceh dari Malaysia, Amerika Serikat, dan negeri-negeri Skandinavia.
Rapat itu digelar selama dua hari di Skogshem and Wijk Conference Center, di Lidingo, satu tempat yang berdekatan dengan pelabuhan di pinggiran Stockholm. Menurut Saiful, pertemuan itu cukup positif. "GAM terbuka mendengar masukan dari berbagai organisasi," ujarnya. Semua petinggi GAM yang berunding di Helsinki, kata Saiful, turut berembuk dalam pertemuan itu.
Menurut Saiful, isi pertemuan itu lebih menjelaskan posisi GAM dalam berunding di Helsinki. Disebutkan, GAM menyingkirkan ide merdeka karena Aceh sudah luluh-lantak oleh bencana. GAM tak ingin rakyat Aceh bertambah menderita dengan konflik senjata. "Jadi, mereka tawarkan self government sebagai jalan keluar," kata Saiful. Bahkan, yang menggembirakan, menurut Saiful, GAM bersedia Aceh menjadi bagian dari Indonesia.
Dalam forum itu Saiful menjelaskan, sebetulnya otonomi khusus itu sudah sejalan dengan konsep self government. Pernah menjabat Ketua Forum Bersama anggota DPR RI asal Aceh, dan terlibat selaku penyusun draf undang-undang otonomi khusus bagi Aceh, Saiful merasa wajib menjelaskan ihwal otonomi khusus itu.
Menurut dia, banyak tuntutan GAM yang sudah ditampung dalam otonomi khusus. Tapi Saiful tampaknya salah menawarkan barang. GAM menolak otonomi khusus karena dulu produk itu adalah sogokan politik Indonesia agar Aceh melupakan ide merdeka. "Penolakan mereka saya kira karena belum mengerti," ujar Saiful. Pertemuan itu sendiri tak menghasilkan kesepakatan apa pun. "GAM hanya menjelaskan posisi mereka, dan kita memberikan masukan," kata Saiful.
Aguswandi, 29 tahun, peserta lainnya, mengatakan banyak pertanyaan pihak sipil kepada GAM. Misalnya, apa yang dimaksud self government itu, dan bagaimana posisi masyarakat sipil dalam sistem politik itu nanti. "GAM bilang, hak mendirikan partai politik berlaku bagi semua warga Aceh," ujar Aguswandi. Semua kelompok warga di Aceh, kata Aguswandi, boleh mendirikan partai politik di tingkat lokal.
Menurut Agus, kelompoknya mendukung self government selama aturan demokratis tetap dijunjung tinggi oleh GAM. "Kami ingin semua politik kekerasan di Aceh berakhir," ujarnya. Aguswandi selama ini terpaksa tinggal di London, Inggris, karena terancam oleh konflik bersenjata di Tanah Rencong itu.
DI Helsinki, irama perundingan berjalan cepat. Perubahan sikap datang jam demi jam. "Sekarang, nasib perundingan ini sangat kritis," ujar M. Nur Djuli, Jumat pekan lalu. Perundingan itu nyaris buntu. Dia mengatakan, posisi GAM tak mungkin mundur dari partai lokal sebagai dasar self government. Tanpa partai lokal, kata dia, tak ada penekenan perjanjian damai.
Posisi GAM itu bukannya tanpa hujatan. Dr Husaini Hassan, 67 tahun, mengatakan GAM pimpinan Malik Mahmud telah terjebak dalam perangkap politik Indonesia. "Apa pun namanya, mereka telah keluar dari garis Aceh Merdeka," ujar Husaini kepada Tempo. Husaini adalah pimpinan Majelis Pemerintahan GAMkelompok minoritas yang pecah kongsi dengan Malik dkk. Kelompok Husaini juga berkedudukan di Stockholm, Swedia. Kritik Husaini ini terasa aneh, mengingat kelompoknya selama ini terkesan lebih moderat dibanding kelompok Malik Mahmud.
Tapi kritik itu tak ditanggapi GAM Malik-Zaini. Menurut M. Nur Djuli, GAM kini meminta pemerintah Indonesia bisa memegang komitmen yang lebih jelas. Menurut dia, mereka sudah menghentikan gerakan bersenjata yang dikobarkan sejak 1976. Selama itu, sekitar 12 ribu nyawa melayang. Dan kini Aceh lebih terpuruk, setelah 170 ribu jiwa tewas dalam bencana tsunami akhir tahun lalu.
Untunglah, menjelang pertemuan berakhir, ada titik terang. Secara prinsip, pemerintah sepakat bahwa partai lokal bagian dari hak demokratis. Hamid menjawab secara diplomatis bahwa pemerintah akan meratifikasi dua konvensi hukum internasional, yakni Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Namun, untuk sampai ke partai lokal, harus ada perubahan di tingkat aturan hukum nasional, dan itu artinya butuh waktu. Pemerintah, kata Hamid, masih "menjelajahi kemungkinan" partai lokal itu bisa diterapkan di Aceh. Dalam bahasa lain, butuh waktu bagi pemerintah menyiapkan draf perubahan undang-undang politik dan aturan terkait lainnya.
Perundingan ini, meskipun hampir bulat, bisa saja kempis lagi. Tentu, sebelum tenggat penekenan pada Agustus nanti, seperti target Wakil Presiden Jusuf Kalla, soal partai lokal ini akan semakin terang. Boleh atau tidak, pemerintah harus mengambil sikap. Kalau boleh, seperti kata Nur Djuli, "Tolong beri kata tegas, berapa tahun partai lokal itu menjadi hak rakyat Aceh". Kalau tidak boleh, semoga bukan perang lagi jawabannya.
Nezar Patria (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo