Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Subang, Jawa Barat, pada medio 1997. Ketika ekonomi Indonesia gonjang-ganjing, antrean pembeli bensin dan solar memanjang dan berkelok seperti ular, seorang doktor datang mencari mimpi: biji pepohonan yang bisa menjadi pengganti bensin atau solar. Lelaki itu adalah Robert Manurung.
Mimpi itu ditemukan pada sebuah semak. Ahli mesin dari Institut Teknologi Bandung itu terkesima dengan pohon jarak liar yang biasa dijadikan pagar areal pemakaman. Bentuknya mirip pohon jarak biasa. Belakangan, Robert mafhum bahwa minyak dari pohon jarak (Ricinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas linnaeus) berbeda. Minyak jarak pagar lebih encer. Struktur kimianya pun tak memiliki gugus hidroksil (OH, gabungan oksigen dan hidrogen). Struktur ini sangat mirip struktur molekul solar. Eureka! "Minyak jarak pagar ini bisa dimanfaatkan untuk pengganti solar," kata Robert, "Sedangkan minyak jarak biasa lebih cocok untuk jadi pelumas."
Dibandingkan dengan solar, minyak jarak pagar ini bahkan jauh lebih baik. Soalnya, dia memiliki jumlah molekul oksigen yang lebih banyak ketimbang solar. Ini membuat proses pembakaran menjadi lebih sempurna dan menghasilkan asap yang lebih bersih serta tidak mengandung karbon monoksida.
Keunggulan minyak jarak pagar ini membuat empat lembaga riset JepangNew Energy and Industrial Technology Development Organizations, Mitsubishi Research Institute, Japan Engineering Company, dan Kyushu Electric Powertergiur. Mereka pun mulai melakukan tes pengujian. Setelah melewati beratus-ratus jam, terbukti minyak jarak bisa jadi pengganti solar.
Si Jatropha ini memang punya semua pesona yang ada pada solar: murah dan bandel. Ini berbeda dengan alternatif pengganti solar nabati (biodiesel) lainnya, yakni minyak kelapa sawit, yang lebih mahal ketimbang solar (lihat tabel). Menurut Robert, bila biji jarak dari petani dihargai Rp 500 per kilogram, harga pokok minyak jarak hanya Rp 1.650 per liter.
Tanaman yang tahan kekeringan ini bila telah berumur lima tahun bisa menghasilkan biji 5-25 ton per hektare per tahun. Robert menghitung, jika seribu hektare pohon jarak bisa menghasilkan 2.925 ton minyak pengganti solar per tahun, untuk memenuhi kebutuhan nasional 22 juta ton solar setahun "hanya" dibutuhkan kurang dari delapan juta hektare jarak. Untuk proyek produksi minyak jarak ini, kata Robert, sejak awal 2005 petani di Nusa Tenggara Timur mulai menanam seluas seribu hektare. Penanaman juga mulai dilakukan di Lebak, Purwakarta, Purwodadi, Pasuruan, dan Gunung Kidul.
Sebenarnya perburuan mencari pengganti solar dan bensin sudah lama dilakukan. Untuk mengganti solar, misalnya, sejumlah peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Pertamina, dan sejumlah universitas telah meneliti aneka minyak nabati, mulai dari minyak biji kapuk, jagung, jarak, hingga kelapa sawit. Sejauh ini biodiesel yang siap dipakai adalah minyak jarak dan kelapa sawit. Kelapa sawit, misalnya, saat ini sudah dipakai untuk bus-bus BPPT dan generator pabrik minyak kelapa sawit di Riau. Di Riau, pabrik biodiesel yang ada bisa menghasilkan mencapai 8 ton per hari. "Asapnya benar-benar bersih dan harum seperti bau pisang goreng hangat," kata Makmuri Nuramin, Manajer Teknik Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi BPPT, beberapa waktu lalu.
Karena harga produksi minyak kelapa sawit ini sekitar Rp 5.000 per liter, BPPT menganjurkan penggunaan biodiesel tak murni, dicampur solar. Campuran yang harganya sebanding dengan harga solar saat ini adalah biodiesel B10 (10 persen minyak sawit, 90 persen solar), yang harganya cuma Rp 2.050 per liter.
Meski tak murni, pengurangan 10 persen pemakaian solar sudah menghasilkan dampak yang dahsyat. Menurut hitung-hitungan BPPT, bila jumlah pemakai biodiesel mencapai dua persen dari total keseluruhan pemilik kendaraan bermotor, diperlukan 800 ribu kiloliter biodiesel. Dan untuk memasok sejumlah itu, harus ada 230.000 hektare perkebunan sawit baruyang juga akan butuh 105 ribu orang untuk bekerja di kebun dan pabrik pengolahan.
Itu baru dari bahan biodiesel saja. Bila sebagian pemakai bensin sudi beralih ke gasohol (campuran bensin dan etanol yang terbuat dari singkong), efeknya juga lumayan. Untuk menghasilkan 420 ribu kiloliter gasohol per tahun, Indonesia butuh 2,5 juta ton singkong dan hal itu membuka lapangan pekerjaan bagi 650 ribu orang.
Dengan pelbagai minyak sayur itu, Indonesia tak cuma bisa menghemat bahan bakar dan menciptakan lapangan kerja baru, tapi juga mengucapkan good bye pada asap hitam kendaraan. Dan keadaan itu bukanlah mimpi karena di beberapa negara, seperti Jerman, konsumsi minyak nabati untuk kendaraan telah mencapai lima persen dari total konsumsi bahan bakar minyak.
BS, Dwi Wiyana (Bandung), Taufik Kamil
Berbagai Jenis Bahan Bakar Alternatif
Solar Murni solar Rp 2.200*/liter
Minyak kelapa sawit 10% minyak : 90% solar Rp 2.050/liter [+] Lebih rendah emisi, hemat BBM 10 persen
Minyak jarak Murni minyak jarak Rp 1.650/liter [+] Lebih rendah emisi, murah, hemat BBM
Bensin Murni bensin Rp 2.400*/liter
Gasohol 10% etanol : 90% bensin Rp 2.560/liter [+] Emisi lebih baik daripada pertamax
*) Harga masih disubsidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo