Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Perundingan di Tanah Sendiri

18 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEUSAI gladi resik pernikahan putranya, Agus Harimurti, di Istana Bogor, dua pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bergegas mendatangi kediaman Jusuf Kalla di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Keduanya bukan hendak membahas pesta perkawinan Agus, melainkan persiapan perundingan babak akhir antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), di Helsinki, Finlandia.

Dalam pertemuan itu Kalla juga mengundang sejumlah wakil partai politik. Turut hadir Agung Laksono dan Fahmi Idris (Golkar); Hadi Utomo, Taufik Effendi, dan Jero Wacik (Partai Demokrat); Soetrisno Bachir, Hatta Rajasa, dan Abdillah Thoha (Partai Amanat Nasional). Dari Partai Bulan Bintang, datang M.S. Kaban dan Yusril Ihza Mahendra. Juga hadir Anton Apriyantono, Yusuf Asyatrim, dan Adhiyaksa Dault (Partai Keadilan Sejahtera); Muhaimin Iskandar dan Alwi Shihab (Partai Kebangkitan Bangsa); Zaenuddin M.Z. dan Bursah Zainubi (Partai Bintang Reformasi); serta Udju S. Dinata (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia). Tak ada wakil dari PDIP yang datang. Menurut Kalla, yang diundang memang hanya partai-partai yang memiliki wakil di pemerintah.

Selain bicara soal penghematan bahan bakar minyak (BBM), rembukan itu juga membahas soal dukungan partai terhadap perundingan Helsinki. Utamanya, pada poin partisipasi politik bekas anggota GAM.

Pagi-pagi, pemerintah memang menyatakan akan menolak tuntutan GAM untuk membentuk partai lokal di Nanggroe Aceh Darussalam. Tuntutan itu diajukan GAM sebagai syarat mereka untuk tetap menjadi bagian RI. Tetapi, seperti pernah ditegaskan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, pemerintah tak akan mengabulkan tuntutan itu. "Dan untuk mengatasi kebuntuan, bentuk partisipasi politik mereka harus dijamin," ucap Yusril.

Pemerintah menawarkan gagasan agar eks GAM bisa mencalonkan diri menjadi kepala daerah lewat partai-partai yang ada. Untuk melempengkan gagasan inilah Yudhoyono dan Kalla perlu melobi partai politik agar bersedia mengakomodasi bekas anggota GAM. Jadi, selagi Hamid Awaludin dan kawan-kawan berembuk di Helsinki, Presiden dan Wakil Presiden terus menggalang dukungan dari pimpinan partai politik lewat aneka pertemuan.

Apa respons partai-partai? Sebagai Ketua Umum Partai Bulan Bintang, Yusril menyatakan kesediaannya memenuhi permintaan Yudhoyono dan Kalla itu. "Kalau mereka ingin ikut dalam pilkada, mereka bisa masuk ke partai saya," ujar Yusril. Namun, katanya, ia tak ingin sembarangan merekrut. Hanya tokoh GAM yang dinilai pantas yang akan ditampung aspirasi politiknya.

Dukungan serupa disampaikan PPP. Sekretaris Fraksi PPP di DPR, Lukman Hakiem, menyatakan partainya tak khawatir dengan bekas anggota GAM. Sebab, dia yakin mereka tidak akan menjadi ancaman. "Belum tentu mantan GAM akan dipilih warga Indonesia di Aceh. Orang lama saja susah, apalagi GAM yang baru keluar dari hutan," ujarnya.

Yang berang adalah PDIP. Partai berlambang banteng gemuk itu menganggap pemerintah tak selayaknya berunding dengan GAM di Helsinki. Permadi dari Komisi I menganggap perundingan di Helsinki itu sebagai internasionalisasi masalah Aceh.

Namun, Kalla tak bimbang dengan protes itu. Dia menilai sikap Permadi dkk. justru menyalahi posisi Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP yang saat menjadi presiden berjanji tidak akan menumpahkan darah dan air mata rakyat Nanggroe Aceh Darussalam. "Kalau tidak ingin menumpahkan darah dan air mata, ya, harus berunding," kata Kalla.

Bagaimana dengan TNI? Pihak Cilangkap ternyata memilih memberikan dukungan kepada pemerintah. Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayor Jenderal Kohirin Suganda Saputra, menyatakan cara penyelesaian yang diambil pemerintah mencapai banyak kemajuan dalam menciptakan situasi damai di Aceh. TNI menyambut baik komitmen yang diucapkan para petinggi GAM dalam perundingan Helsinki bahwa mereka akan kembali ke pangkuan Republik Indonesia.

Kohirin menolak tuduhan bahwa TNI berusaha menjadi pihak yang ingin mempertahankan konflik berkepanjangan di Aceh dengan seolah menciptakan situasi yang tidak aman, sehingga hasil-hasil perundingan Helsinki gagal. Ia menegaskan, "TNI menyambut positif."

Andari Karina Anom, Agus Supriyanto, Yophiandi, Sunariah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus