Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta – Difabel satu kaki, Massa, 44 tahun, terbiasa mengenakan celana pendek setiap kali mengayuh sepeda. Lantaran bercelana pendek, kaki kanannya yang berupa kaki palsu pun terlihat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gara-gara itu pula, aktivitas bersepeda yang Massa lakukan menjadi perhatian publik. Berulang kali dia menjadi incaran dengan dibuntuti, dicegat, lalu diajak bicara orang tak dikenal di jalan. "Mereka bertanya dan mencari tahu, kok bisa bersepeda pakai kaki palsu? Bikin (kaki palsu) di mana?" kata Massa dalam diskusi tentang kampanye #Disabilitasmerdekabergerak2021 yang diselenggarakan United Cerebral Palsy (UCP) Roda untuk Kemanusiaan pada Selasa, 17 Agustus 2021/
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cegatan demi cegatan itu berbuah berkah bagi Massa. Dia memanfaatkannya sebagai sarana edukasi kepada publik tentang disabilitas, khususnya yang dia alami. "Niat saya berkampanye. Mungkin jalannya melalui sepeda," kata Sekretaris Komunitas Bike to Work itu.
Massa menggunakan kaki palsu setelah kaki kanannya diamputasi di atas lutut akibat kecelakaan sepeda motor pada 2014. Massa syok hingga muncul penyesalan atas kondisi disabilitas yang dialami. Dia tak memungkiri, penyesalan itu masih acapkali timbul tenggelam sampai sekarang. Meski begitu, ada satu keyakinan yang membuatnya bangkit dan bisa menerima disabilitas sebagai identitasnya.
Massa meyakini Tuhan hanya akan memberikan cobaan kepada mereka yang bisa melaluinya. "Saya yakin saya orang pilihan. Ini karunia, bukan musibah. Itu membuat saya percaya diri," kata Massa. Bahkan sebagai amputee, Massa tetap bisa beraktivitas seperti sedia kala.
Dia bekerja di lembaga milik Jerman, Sparkassenstiftung fur Internationale Kooperation Jerman yang berbasis di Bali. Massa juga memegang lisensi trainer tingkat internasional dan menjadi pengurus pusat komunitas Bike to Work. "Saya termasuk beruntung. Ini semua harus saya syukuri. Saya harus menunjukkan kinerja yang sama dengan mereka yang mendapat karunia kelengkapan anggota badan," katanya.
Massa, 44 tahun, difabel satu kaki terbiasa bersepeda dengan mengenakan celana pendek. TEMPO | Pito Agustin Rudiana
Perkenalannya dengan sepeda karena mendapat hadiah sepeda dari teman baiknya ketika kuliah di Yogyakarta. "Awalnya malu mau pakai sepeda. Tapi sudah dikasih kok enggak dipakai," kenang Massa. Dia jatuh bangun berlatih mengendarai sepeda dengan satu kaki. Musababnya, dia harus bisa menyeimbangkan antara kaki kanan yang diamputasi dengan kaki kirinya agar jangan sampai jatuh ke kanan. "Kalau jatuh ke kanan akan jatuh bersama sepedanya," kata Massa.
Kisah-kisah itu pula yang diceritakannya kepada orang-orang yang ingin mengetahui sebagai bagian dari edukasi. Massa meyakini kepedulian masyarakat terhadap difabel akan meningkat. Ada pengalaman yang begitu membekas ketika belum menggunakan kaki palsu.
Satu hari, Massa pergi ke apotek menggunakan kruk. Dia mengenakan celana panjang yang dilipat sebatas lutut di bagian kanan. Seorang bocah yang datang bersama ibunya mendekati. Dengan polos, bocah itu bertanya. "Om, kakinya sakit ya? Sambil menunjuk kaki saya. Dengan senyum, saya jawab, 'iya, kaki Om sakit. Doain ya, biar kaki Om sembuh'," kata Massa.
Ibu dari bocah itu mengetahui percakapan tersebut dan langsung membentak anaknya. Si ibu menarik tangan anaknya dengan kasar. "Heh, sini kamu! Sudah, diam!" bentaknya. Pengalaman itu membuat Massa berpikir, terkadang orang dewasa belum tahu bagaimana cara berada di sekitar lingkungan difabel. Sementara jumlah difabel tidaklah sedikit, bahkan cenderung bertambah.
"Ini menjadi semangat bagi saya untuk berkampanye. Juga bagi difabel agar tak mudah putus asa," kata Massa. Dengan bersepeda, Massa sekaligus mengkampanyekan sepeda sebagai alat transportasi yang ramah lingkungan dan menjaga kesehatan.
Saban hari, dia bersepeda dari kos ke tempat kerja. Pergi pulang sekitar tiga kilometer. Demi misi kampanye juga olahraga, Massa memilih mengayuh lebih jauh dengan mencari jalan memutar. "Supaya dapat lima kilometer."
Baca juga:
Tahapan Sebelum Difabel Menjadikan Disabilitas Sebagai Identitas