Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

DOB Papua Baru Disahkan, Konflik Perebutan Ibu Kota Sudah Terjadi

Penetapan DOB Papua menimbulkan konflik baru di kalangan masyarakat Papua.

1 Juli 2022 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemerintah bersama DPR RI yang tergabung dalam Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemekaran Papua melakukan sinkronisasi terhadap 3 (Tiga) RUU Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - DPR resmi mengesahkan tiga Rencangan Undang-Undang (RUU) Daerah Otonomi Baru Papua atau DOB Papua, yaitu Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah dalam rapat paripurna, Kamis, 30 Juni 2022. Pengesahan ini diwarnai konflik yang sudah terjadi di masyarakat, terutama terkait perebutan lokasi ibu kota Provinsi Papua Tengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Baru saja ada ide untuk pemekaran otonomi baru, sudah ada konflik," kata pegiat kemanusiaan dari Gereja Kristan Injil (GKI) Tanah Papua, Pendeta Dora Balubun, dalam konferensi pers, pada hari yang sama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUU DOB menetapkan Nabire menjadi ibu kota Papua Tengah. Akan tetapi, sebagian masyarakat dan kepala daerah setempat meminta agar Timika-lah yang menjadi ibu kota. Aksi protes masyarakat pun dikabarkan terjadi di lapangan.

Tak hanya itu, Dora menyebut ada juga sebagian masyarakat adat Nabire yang tak ingin daerahnya jadi ibu kota provinsi.

"Mereka masih mau bergabung dengan Saerei, itu berarti bergabung dengan Biak dan Yapen Waropen," kata dia.

Sementara, ada lagi sebagian masyarakat adat yang meminta agar wilayah mereka tetap bergabung dengan Provinsi Papua. Dora pun menyebut semua hal ini bisa menyebabkan konflik kembali.

"Kasihan masyarakat yang menonton situasi ini.

Masalah perebutan lokasi ibu kota ini juga disadari oleh Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia. Saat kunjungan Panja Komisi II DPR ke Jayapura, 25 Juni lalu, Doli meminta ada musyawarah penentuan lokasi ibu kota untuk menghindari adanya pecah belah.

"Jadi apapun yang dihasilkan serta direkomendasikan oleh masyarakat Papua maka pasti akan kami terima. Jadi kita mendorong penyelesaiannya secara musyawarah mufakat,” kata politikus Partai Golkar ini.

Hal yang menjadi kekhawatiran Dora dalah ketika nantinya konflik terjadi, apakah pemerintah pusat dan DPR akan datang ke Papua untuk segera menyelesaikannya.

Selanjutnya, Kekhawatiran Penambahan Militer

Bukan hanya soal konflik berkepanjangan, kekhawatiran juga muncul terjadi penambahan aparat militer ke Papua. Perwakilan Petisi Rakyat Papua, Ikha Mulait, menyebut penambahan militer pasti akan dilakukan dengan pembentukan tiga provinsi baru ini.

"Sekarang saja sudah trauma, apalagi sekarang mau ditambah dengan tiga provinsi dan pengerahan aparat," kata dia.

Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib menyebut pemerintah dan DPR tak berpikir untuk kesejahteraan orang Papua dari pemekaran ini.

"Tapi pemerintah saat ini, saya pikir bahwa mereka justru memburu sesuatu, atau mencari sesuatu di tanah Papua," kata dia.

Timotius lalu menceritakan pertemuannya dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md di Jakarta bersama dua deputinya. Salah satu deputi, kata dia, meminta MRP memahami bahwa DOB adalah kebijakan negara untuk memperpendek ruang dari Organisasi Papua Merdeka (OPM). 

"Sehingga, MRP tidak perlu banyak komentar, ini penyampaian dari salah satu deputi, saksinya banyak," kata Timotius menirukan ucapan deputi tersebut.

Maka sejalan dengan pemekaran ini, pemerintah akan membangun tambahan Polda dan Kodam.

"Artinya ini bukan untuk kesejahteraan rakyat, tapi kepentingan bagaimana mendatangkan sebanyak-banyaknya militer di tanah Papua untuk mengurung OPM," kata dia.

Selanjutnya, Tak Sabar Menunggu Putusan MK

Kepala Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) Biro Papua Ronald Tapilatu juga menyayangkan langkah DPR yang mengesahkan tiga RUU DOB Papua di tengah gugatan uji materi yang dilayangkan MRP atas UU Otonomi Khusus Papua atau UU Otsus Papua. Gugatan sedang berjalan di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Apa susahnya sabar?" kata dia.

Direktur Eksekutif Amnesty Internastional Indonesia Usman Hamid juga mengkritik pengesahan RUU DOB Papua di tengah proses gugatan di MK. Usman menyororoti perubahan yang terjadi pada mekanisme persetujuan atas pemekaran di UU Otsus. 

Dalam regulasi yang lama yaitu UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, Pasal 76 mengatur bahwa pemekaran wajib mendapat persetujuan MRP dan DPRP.

"Tanpa itu, DOB tak bisa dilakukan," kata Usman.

Regulasi ini diubah lewat UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua, di mana pemekaran tak lagi wajib dapat persetujuan MRP dan DPRD. UU hasil revisi juga menambahkan pasal 76 ayat 2. di mana pemerintah dan DPR dapat melakukan pemekaran untuk mempercepat pemerataan pembangunan.

Pasal 76 UU Otsus Papua hasil revisi ini pun menjadi salah satu pasal yang digugat MRP ke MK. Jika MK mengabulkan gugatan MRP atas Pasal 76 ini, kata Usman, maka hal itu akan meredakan potensi konflik sosial dan kekerasan di Papua.

Kalau Pasal 76 tidak dikabulkan, maka kewenangan MRP untuk memberikan persetujuan atas pemekaran Papua tak lagi dihormati.

"Itu nyawanya Otsus, kalau tak ada MRP, maka tidak ada Otsus," kata Usman.

Selanjutnya, Demi Kemajuan Papua



Meskipun mendapatkan banyak kritikan,  DPR dan pemerintah akhirnya tetap mengesahkan RUU DOB Papua. Dalam rapat paripurna, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut regulasi ini bertujuan untuk kemajuan pembangunan Papua.

"Kita harapkan semua pihak dapat menerima ini demi kemajuan pembanguan Papua," kata Tito.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD beberapa bulan lalu mengklaim memiliki data yang menyatakan 82 persen masyarakat Provinsi Papua meminta pemekaran daerahnya. Data ini disampaikan Mahfud berdasarkan hasil survei yang dilakukan lembaga kepresidenan, tanpa menyebut institusi yang dimaksud.

"Kalau ada yang setuju, tidak setuju, ya biasa," kata dia pada 25 April 2022.

Lalu pada 30 Juni ini, Wakil Presiden Ma'ruf Amin juga kembali menyampaikan mayoritas rakyat setuju dengan isu DOB Papua ini. 

"Bahwa masih ada satu dua pihak, saya kira itu tidak mencerminkan mayoritas, bahwa ada (yang menolak), iya," kata dia.

Fajar Pebrianto

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus