Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Dosen Itu Ibarat Hantu

Masalah kekurangan dosen di perguruan tinggi. minat untuk menjadi dosen kurang, ada usaha merangsang dosen dengan rumah dan gaji ekstra. upaya menambah dosen rupanya tak gampang.(pdk)

9 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DOSEN itu ibarat hantu. Bukan cuma karena ditakuti, tapi karena sering tidak nampak. Lihat saja di kertas, perbandingan jumlah dosen dan mahasiswa perguruan tinggi negeri cukup ideal. Ada 18.500 dosen untuk 180 ribu mahasiswa. Berarti 1: 10. Tapi di kelas? Seorang dosen terkadang harus menghadapi 50 sampai 200 mahasiswa sekaligus. Dia kurang teman. Masalahnya, 18.500 dosen itu tak selalu siap di tempat. Banyak yang tugas belajar ke luar negeri. Atau, lebih sering, penataran ini dan penataran itu. Banyak lagi yang mengerjakan tugas di luar perguruan tingginya. Kecuali itu, jumlah l .500 itu tak terbagi rata di semua bidang ilmu. Untuk matematika misalnya, rata-rata tiap perguruan tinggi negeri hanya punya 3 dosen. Upaya menambah dosen rupanya tak gampang. Tahun ini ada rencana produksi 1.000 dosen per tahun. Hasilnya: sampai dengan akhir bulan lalu, telah berjalan 4 bulan, baru ada penambahan 135 dosen. Minat para sarjana untuk menjadi dosen agaknya memang tipis. Bahkan Fakultas Hukum UGM selama tiga tahun terakhir ini tak pernah mengangkat dosen baru -- tetap saja hanya 61 dosen menghadapi 1.900 mahasiswa. Kenapa minat tipis? Seorang pembantu dekan sebuah fakultas UGM suatu kali pernah menelepon bank. Dia bertanya berapa besar gaji seorang sarjana yang bekerja di bank. Jawab: Rp 125 ribu untuk masa permulaan. Maklumlah pembantu dekan tersebut, mengapa seorang calon dosen di falultasnya mengundurkan diri setelah menerima panggilan dari bank. Sebab seorang sarjana yang baru diangkat menjadi dosen akan menerima gaji (plus tunjangan lain-lain) sekitar Rp 50 ribu. Ini hampir sama dengan gaji seorang sopir di perusahaan swasta di Jakarta. Dengan gaji sekecil itu, calon dosen pun dituntut persyaratan harus mampu rnengajar dan mengembangkan ilmu. Juga punya minat mendidik. Nah, tak ayal lagi dari 160 jatah dosen baru bagi Institut Teknologi Surabaya (ITS) tahun - lalu, yang terpenuhi hanya 30 saja. Bagi Fakultas Teknik UGM, untuk menarik tenaga pengajar, antara lain, ada akal: dosen-dosen muda diberi janji fasilitas perumahan dan gaji ekstra -berkat ada dana, sumbangan dari alumni tiap bulannya. Toh, fakultas yang memiliki 160 dosen dan 3.700 mahasiswa itu tahun lalu hanya berhasil memikat 30 dosen dari 350 insinyur baru yang diluluskannya. Tapi yang agaknya paling gawat adalah kuliah ilmu dasar Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi. Di Institut Pertanian Bogor (IPB), misalnya, hanya ada 15 dosen Matematika, 2 dosen Fisika, 3 dosen Kimia dan 32 dosen Biologi, untuk sekitar 6 ribu mahasiswa. "Sejak 3 tahun lalu mahasiswa tingkat 111 dan IV sudah harus kuliah di dalam ruang yang diisi 100 bahkan sampai 200 mahasiswa. Dari kalangan orang tua ada kecemasan besar, bahwa selain jumlah dosen kurang, juga semangatnya tak di kelas. Bukan rahasia lagi karena gaji kecil, dosen punya kerja lain di luar. Kuliah Malam Tapi orang di perguruan tinggi punya alasan untuk melihat segi baik dari "dwifungsi" itu. Rektor IPB, Prof. Andi Hakim Nasution, misalnya, menganggapnya "baik, sejauh itu bisa menunjang kualitasnya sebagai dosen. Supaya pengetahuan dosen tidak mandek." Di IPB, yang mempunyai sekitar 600 dosen tetap, menurut Andi Hakim belum pernah ada mahasiswa protes karena perkara dosen yang sering mangkir. "Bila perlu dosen memberi kuliah malam hari. Dan ternyata mahasiswa tak keberatan," tambahnya. Ia hanya mewajibkan dosen yang akan mengerjakan proyek luar institut, harap minta izin dulu. Yang mencemaskan adalah komposisi usia dosen perguruan tinggi negeri yang bagi Andi Hakim membuktikan bahwa memang berkurang minat menjadi dosen. Kini, sekitar 17% dosen berusia 45 tahun ke atas Sekitar 45% berusia 3645 tahun. Yang berusia 35 tahun ke bawah hanya tercatat 38%. "Ini aneh. Terjadi menurunnya persentase staf muda," katanya. "Padahal seharusnya -- dalam negara yang menghadapi laju pertumbuhan penduduk pesat - jumlah itu menaik." Yang mungkin tak diperhatikan, ialah kegiatan dosen di luar jam kuliah yang tak selalu menyangkut proyek di luar perguruan tinggi. Ada proyek, berupa sejumlah lembaga yang dibentuk oleh perguruan tinggi itu sendiri -- yang melayani kebutuhan masyarakat -- yang banyak menyita waktu dosen pula. Di Fakultas Ekonomi UI, Fakultas Teknik UI, atau Fakultas Psikologi UI-juga di ITS -- lembaga itu dikabarkan begitu laris. "Kecuali dosen golongan IV, hampir semua tenaga pengajar ikut aktif dalam biro pelayanan masyarakat," kata Mahmud Zakky M. Sc., Rektor ITS. Meskipun ini tak selalu berarti gangguan berat bagi tugas mengajar, tapi kekurangan Indonesia tampak jelas di sini tenaga ahli disedot dari depan bangku kuliah. Dan daya tarik di depan kelas itu lemah sekali. Tapi itu tak berarti tak ada apa-apa yang bisa dijanjikan dari jabatan dosen. Kalau misalnya mahasiswa lulus pada usia 25 tahun, dengan menjadi dosen berarti kesempatan mengembangkan ilmu lebih besar. Fasilitas perguruan tinggi jelas tersedia untuknya. Itu tutur Dr. Hariadi, Rektor ITB. "Tapi kalau dia sudah berpikir soal keluarga, soal perumahan, masalahnya memang menjadi lain," lanjutnya. Hari Pendidikan Nasional pekan lalu memang layak diperingati dengan penghormatan besar kepada yang bersedia untuk mengajar --mengembangkan sementara menstransfer ilmu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus