DOSEN itu ibarat hantu. Bukan cuma karena ditakuti, tapi karena
sering tidak nampak. Lihat saja di kertas, perbandingan jumlah
dosen dan mahasiswa perguruan tinggi negeri cukup ideal. Ada
18.500 dosen untuk 180 ribu mahasiswa. Berarti 1: 10. Tapi di
kelas? Seorang dosen terkadang harus menghadapi 50 sampai 200
mahasiswa sekaligus. Dia kurang teman.
Masalahnya, 18.500 dosen itu tak selalu siap di tempat. Banyak
yang tugas belajar ke luar negeri. Atau, lebih sering, penataran
ini dan penataran itu. Banyak lagi yang mengerjakan tugas di
luar perguruan tingginya. Kecuali itu, jumlah l .500 itu tak
terbagi rata di semua bidang ilmu. Untuk matematika misalnya,
rata-rata tiap perguruan tinggi negeri hanya punya 3 dosen.
Upaya menambah dosen rupanya tak gampang. Tahun ini ada rencana
produksi 1.000 dosen per tahun. Hasilnya: sampai dengan akhir
bulan lalu, telah berjalan 4 bulan, baru ada penambahan 135
dosen.
Minat para sarjana untuk menjadi dosen agaknya memang tipis.
Bahkan Fakultas Hukum UGM selama tiga tahun terakhir ini tak
pernah mengangkat dosen baru -- tetap saja hanya 61 dosen
menghadapi 1.900 mahasiswa.
Kenapa minat tipis? Seorang pembantu dekan sebuah fakultas UGM
suatu kali pernah menelepon bank. Dia bertanya berapa besar gaji
seorang sarjana yang bekerja di bank. Jawab: Rp 125 ribu untuk
masa permulaan.
Maklumlah pembantu dekan tersebut, mengapa seorang calon dosen
di falultasnya mengundurkan diri setelah menerima panggilan
dari bank. Sebab seorang sarjana yang baru diangkat menjadi
dosen akan menerima gaji (plus tunjangan lain-lain) sekitar Rp
50 ribu. Ini hampir sama dengan gaji seorang sopir di perusahaan
swasta di Jakarta.
Dengan gaji sekecil itu, calon dosen pun dituntut persyaratan
harus mampu rnengajar dan mengembangkan ilmu. Juga punya minat
mendidik. Nah, tak ayal lagi dari 160 jatah dosen baru bagi
Institut Teknologi Surabaya (ITS) tahun - lalu, yang terpenuhi
hanya 30 saja.
Bagi Fakultas Teknik UGM, untuk menarik tenaga pengajar, antara
lain, ada akal: dosen-dosen muda diberi janji fasilitas
perumahan dan gaji ekstra -berkat ada dana, sumbangan dari
alumni tiap bulannya. Toh, fakultas yang memiliki 160 dosen dan
3.700 mahasiswa itu tahun lalu hanya berhasil memikat 30 dosen
dari 350 insinyur baru yang diluluskannya.
Tapi yang agaknya paling gawat adalah kuliah ilmu dasar
Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi. Di Institut Pertanian
Bogor (IPB), misalnya, hanya ada 15 dosen Matematika, 2 dosen
Fisika, 3 dosen Kimia dan 32 dosen Biologi, untuk sekitar 6 ribu
mahasiswa. "Sejak 3 tahun lalu mahasiswa tingkat 111 dan IV
sudah harus kuliah di dalam ruang yang diisi 100 bahkan sampai
200 mahasiswa.
Dari kalangan orang tua ada kecemasan besar, bahwa selain jumlah
dosen kurang, juga semangatnya tak di kelas. Bukan rahasia lagi
karena gaji kecil, dosen punya kerja lain di luar.
Kuliah Malam
Tapi orang di perguruan tinggi punya alasan untuk melihat segi
baik dari "dwifungsi" itu. Rektor IPB, Prof. Andi Hakim
Nasution, misalnya, menganggapnya "baik, sejauh itu bisa
menunjang kualitasnya sebagai dosen. Supaya pengetahuan dosen
tidak mandek."
Di IPB, yang mempunyai sekitar 600 dosen tetap, menurut Andi
Hakim belum pernah ada mahasiswa protes karena perkara dosen
yang sering mangkir. "Bila perlu dosen memberi kuliah malam
hari. Dan ternyata mahasiswa tak keberatan," tambahnya. Ia hanya
mewajibkan dosen yang akan mengerjakan proyek luar institut,
harap minta izin dulu.
Yang mencemaskan adalah komposisi usia dosen perguruan tinggi
negeri yang bagi Andi Hakim membuktikan bahwa memang berkurang
minat menjadi dosen. Kini, sekitar 17% dosen berusia 45 tahun ke
atas Sekitar 45% berusia 3645 tahun. Yang berusia 35 tahun ke
bawah hanya tercatat 38%. "Ini aneh. Terjadi menurunnya
persentase staf muda," katanya. "Padahal seharusnya -- dalam
negara yang menghadapi laju pertumbuhan penduduk pesat - jumlah
itu menaik."
Yang mungkin tak diperhatikan, ialah kegiatan dosen di luar jam
kuliah yang tak selalu menyangkut proyek di luar perguruan
tinggi. Ada proyek, berupa sejumlah lembaga yang dibentuk oleh
perguruan tinggi itu sendiri -- yang melayani kebutuhan
masyarakat -- yang banyak menyita waktu dosen pula.
Di Fakultas Ekonomi UI, Fakultas Teknik UI, atau Fakultas
Psikologi UI-juga di ITS -- lembaga itu dikabarkan begitu laris.
"Kecuali dosen golongan IV, hampir semua tenaga pengajar ikut
aktif dalam biro pelayanan masyarakat," kata Mahmud Zakky M.
Sc., Rektor ITS. Meskipun ini tak selalu berarti gangguan berat
bagi tugas mengajar, tapi kekurangan Indonesia tampak jelas di
sini tenaga ahli disedot dari depan bangku kuliah.
Dan daya tarik di depan kelas itu lemah sekali. Tapi itu tak
berarti tak ada apa-apa yang bisa dijanjikan dari jabatan dosen.
Kalau misalnya mahasiswa lulus pada usia 25 tahun, dengan
menjadi dosen berarti kesempatan mengembangkan ilmu lebih besar.
Fasilitas perguruan tinggi jelas tersedia untuknya. Itu tutur
Dr. Hariadi, Rektor ITB. "Tapi kalau dia sudah berpikir soal
keluarga, soal perumahan, masalahnya memang menjadi lain,"
lanjutnya.
Hari Pendidikan Nasional pekan lalu memang layak diperingati
dengan penghormatan besar kepada yang bersedia untuk mengajar
--mengembangkan sementara menstransfer ilmu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini