Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA kegiatan sehari-hari Noor Din Mohammad Top, buron kelas kakap bernilai Rp 1 miliar yang telah diburu polisi sewindu lebih? Ia rupanya hidup di dunia sempit: menghabiskan hari dengan menimang anak, membaca, atau memasak. Bahkan berlari-lari kecil ia lakukan di dalam rumah.
Menurut beberapa orang yang mengenalnya—baik sebagai Noor Din atau nama lain—ia tak pernah diam di satu tempat lebih dari sepekan. Ketika pergi, pria 41 tahun ini selalu pada pagi buta. ”Saya hanya pernah sekali bertemu,” kata Surtini, tetangga depan rumah tempat tinggal Noor Din di Desa Pasuruhan, Binangun, Cilacap, Jawa Tengah, Kamis. Di desa itu, Noor Din menikahi Arina Rahma, 26 tahun, pada 2005, dan memakai nama Ade Abdul Halim.
Suatu hari, Surtini bertandang ke rumah Baridin, ayah Arina yang kini dikejar polisi. Ketika ia mengucap salam sebelum masuk rumah, Ade Abdul Halim yang menjawab. ”Dia sedang duduk bersila sambil membaca buku,” tuturnya. ”Kulitnya putih, badannya agak kurus.”
Noor Din menempati kamar di bagian belakang rumah Baridin. Kamar bersekat tripleks ini dibuat beberapa waktu setelah ia menikahi Arina. Di dalamnya hanya ada kasur tanpa ranjang. Kamar ini memiliki dua pintu: satu menghadap ruang tengah, lainnya menuju samping rumah. Bagian luar kamar dipagari seng setinggi hampir dua meter, yang dilengkapi pintu langsung menuju hutan bambu dan persawahan.
Persembunyian yang sempurna, karena Desa Pasuruhan sangat kaya akses. Wilayah ini bisa mudah dijangkau dari Buntu, Banyumas, persimpangan jalan yang dilewati bus arah Yogyakarta atau Jakarta. Pasuruhan pun mudah dijangkau dari Kroya, tempat banyak kereta jalur selatan singgah.
Tentu saja Noor Din tak tinggal di satu tempat. Ia pun hanya beberapa hari dalam sebulan bertemu Arina. Tak mengherankan bila tetangganya penasaran bertanya ke Baridin: bagaimana mereka bisa punya dua anak. ”Waktu itu Pak Baridin menjawab: Itu artinya jos, sekali langsung jadi,” kata Watim Suseno, Kepala Desa Pasuruhan.
Seorang terpidana terorisme yang pernah berbulan-bulan bersama Noor Din pada 2005 mengatakan, sang buron tak pernah lebih dari sepekan tinggal di satu tempat. Ia biasanya berpindah-pindah dengan dibonceng sepeda motor. Di setiap persinggahannya, ia selalu tinggal di dalam rumah. Termasuk ketika salat Idul Fitri, yang lazimnya dilakukan di masjid atau lapangan.
Noor Din sangat selektif dalam bertemu orang. Ia biasanya mencari informasi lebih dulu. Begitu oke, ia mengirim kurir buat menjajaki kemungkinan kesediaan orang itu bergabung menjalankan misi. Jika orang itu bersedia, baru Noor Din menemuinya langsung. ”Pertemuan dengan dia bukan untuk diskusi, tapi berencana melakukan misi,” kata Usam, bukan nama sebenarnya, yang dihukum tujuh tahun karena bersekongkol dengan Noor Din.
Saefudin Zuhri, keponakan Baridin yang ditangkap polisi pada Juni lalu, merupakan salah satu kurir Noor Din. Pada 2004, ia mengunjungi Ani Sugandi, anggota Jamaah Islamiyah di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sang kurir mengajak alumni Afganistan 1987 itu bergabung dengan kelompoknya. Tapi Ani menolak dan memilih tetap mengelola pesantrennya.
Saefudin mengalihkan targetnya ke Abdurrahman Taib, kolega Ani Sugandi, di Palembang. Sang target diajak ke Kroya lalu dikenalkan dengan seseorang bernama Aji, yang menurut Saefudin merupakan ahli bom. Pulang ke Palembang pada Maret 2007, Abdurrahman dan Aji menenteng 20 kilogram potasium klorat. ”Ternyata Aji akan mengajari kami membuat bom,” kata warga negara Singapura yang ditangkap di Palembang tahun lalu itu.
Di antara murid Aji adalah Sugiarto. Ia dengan teliti mencatat keperluan perakitan bom seperti baterai, kabel, pipa, sakelar, papan sirkuit, solder, lem, belerang, juga Tupperware. Total keperluan pembuatan ini tak lebih dari Rp 350 ribu. Ani Sugandi, Abdurrahman, Fajar Taslim, dan Sugiarto ditangkap tahun lalu. Dari pengakuan mereka, polisi bisa melacak Saefudin Zuhri dan menangkapnya, tiga pekan sebelum bom meledak di Marriott dan Ritz-Carlton.
Noor Din juga memiliki kurir bernama Reno alias Tedi. Ia antara lain merekrut Salik Firdaus dan Misno untuk proyek pengeboman di Jimbaran, Bali, Oktober 2005. Noor Din dan Reno menyiapkan keduanya sejak Mei di Semarang. Caranya, terus menyampaikan serangkaian dalil tentang jihad. Menjelang serangan, Reno merekam ”orasi” Noor Din, juga pesan-pesan terakhir Salik dan Misno. Video ini ditemukan polisi ketika menggerebek sebuah rumah makan padang di Semarang, tempat rekaman dibuat.
Noor Din pantang menggunakan telepon seluler dalam berkomunikasi. Bisa jadi, ia khawatir jejak sinyalnya diendus polisi. Ia biasa menggunakan kurir buat mengirim pesan. Tapi ia tak mengharamkan surat elektronik. Pada 2003, setelah pengeboman Hotel JW Marriott yang pertama, ia bertemu Abu Dujana. Kepada komandan sayap militer Jamaah Islamiyah yang ditangkap pada 2007 itu, ia memberikan alamat e-mail: [email protected].
Dari pengakuan beberapa terpidana, Noor Din tampaknya lebih sering berada di bagian selatan Jawa. Segera setelah peledakan di Jimbaran yang dirancangnya dari Semarang, ia bergerak ke daerah Temanggung, Wonosobo, Purwokerto, dan Cilacap. Di kota terakhir, ia tinggal tak jauh dari tempat tinggal Saefudin Zuhri, Misno, juga Abu Dujana.
Di dunia sempit seperti itulah Noor Din merencanakan serangan. Seorang terpidana yang bergabung dengannya pada 2005 menuturkan kepada polisi, lulusan Universiti Teknologi Malaysia itu bertekad melancarkan serangan minimal setahun sekali. Sempat lowong pada 2006-2008, ia melancarkan teror pada 17 Juli lalu di dua tempat sekaligus: Marriott dan Ritz-Carlton.
Nasir Abas, mantan petinggi Jamaah Islamiyah yang kini banyak bekerja untuk polisi, yakin dua bom itu merupakan aksi Noor Din. Menurut dia, setidaknya ada tujuh kesamaan serangan itu dengan ciri khas Noor Din. Di antaranya, sasarannya kepentingan Barat dan menggunakan bom bunuh diri. ”Begitu saya datang ke lokasi kejadian pada siang hari setelah ledakan, saya langsung mengatakan, ini Noor Din,” ujarnya.
Polisi menduga, Ibrohim, seorang penata bunga di Hotel Ritz, ikut membantu serangan itu. Ia memandu pelaku pengeboman masuk hotel. Berdasarkan keterangan saksi dan hasil rekaman kamera keamanan, Ibrohim bersama pelaku masuk hotel hanya beberapa menit sebelum ledakan. Ia menghilang segera setelah ledakan yang membunuh sembilan orang itu.
Jika benar terlibat, Ibrohim merupakan pemain baru di ”bisnis” ini. Namanya tak pernah terdeteksi oleh polisi, yang pada tahun-tahun terakhir menggalang hubungan dengan para lulusan Afganistan dan mantan aktivis Jamaah Islamiyah, baik yang terlibat kasus hukum maupun tidak. Nasir Abas yang banyak dilibatkan dalam pendekatan khusus buat meredam kemungkinan teror ini pun tak mengenal Ibrohim.
Ini modus baru serangan sang buron: merekrut orang dalam dan melancarkan serangan dari dalam sasaran.
Budi Setyarso, Akbar Tri Kurniawan (Jakarta), Aris Ardianto (Cilacap)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo