Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kawin, Beranak, dan Menghilang

Dalam pelarian, Noor Din Mohammad Top beberapa kali menikah dan punya anak. Meninggalkan keluarga begitu saja.

3 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU pagi akhir November 2005. Seorang perempuan muda menggandeng bocah lelaki enam tahun memasuki halaman Sekolah Dasar Negeri 021, Dusun Pendekar Bahan, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Keduanya menemui Rosiani, salah satu staf pengajar, untuk mendaftar sekolah.

Si ibu, sekitar 25 tahun dan berlogat Melayu, memperkenalkan diri sebagai Rahma. Sang anak kita sebut saja namanya Mamat. Keduanya warga baru yang menetap di rumah Rusdi, orang tua Rahma, di dusun itu.

Di buku induk sekolah, Mamat tercatat lahir di Kota Dumai, Riau, 27 Januari 1999. Sebelumnya ia sempat terdaftar sebagai murid di Sekolah Dasar Negeri 036 Kabupaten Kampar, Riau. Ayahnya tertulis bernama Hasan, sarjana dan berprofesi swasta. Sedangkan Rahma, sang ibu, ibu rumah tangga lulusan SMP. Selesai urusan administratif, Mamat diantar ke kelas I A tempatnya belajar. Rosiani menjadi wali kelas.

Ini sekolah satu-satunya di Dusun Pendekar Bahan, Desa Pematang Ibul, Kecamatan Bangko Pusaka, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Jaraknya sekitar 375 kilometer utara Pekanbaru. Dusun terpencil dikelilingi kebun karet dan sawit tempat mayoritas penduduk bekerja sebagai petani.

Menurut Rosiani, 45 tahun, Mamat siswa yang cerdas, sopan, dan pandai mengaji. ”Dia ranking dua di kelas,” kata Rusli, kepala sekolah. Pakaian Mamat selalu bersih dan rambutnya tersisir rapi. Lebaran 2006, setelah Mamat tak lagi sekolah di situ, Rosiani menerima kartu pos. ”Selamat Hari Raya Ibu Guru yang Baik,” kata Mamat, sang pengirim kartu. Rosiani tak lagi ingat di mana kartu pos itu kini berada.

l l l

BELAKANGAN, saat ngobrol dengan Rosiani, Rahma keceplosan bahwa suaminya adalah Noor Din Mohammad Top, buron yang kini dicari polisi. Saat itu Rahma sedang menjemput Mamat pulang sekolah. Rosiani bercerita tentang Mamat yang cerdas. Rahma yang sehari-hari bercadar mengaku sedih. ”Ayahnya Mamat itu sebenarnya orang yang bernama Noor Din M. Top,” kata Rosiani mengutip Rahma. Ibu tiga anak itu meminta Rosiani tidak menceritakan hal ini kepada orang lain. Ia juga mengaku telah lama tidak bertemu sang suami.

Menurut Nasir Abas, bekas aktivis Jamaah Islamiyah, pernikahan Noor Din dan Rahma terjadi di Johor, Malaysia. Rusdi, ayah Rahma, adalah anggota Jamaah Islamiyah. Saudara kandung Rahma, M. Rais, tersangkut kasus peledakan bom mobil di Hotel JW Marriott pada 2003, yang diduga diotaki Noor Din. Rais kini telah bebas setelah divonis tujuh tahun penjara.

Saat menikah, Noor Din belum dikenal sebagai pelarian dan baru merintis karier sebagai aktivis dalam organisasi itu. Pola pernikahan menggunakan mak- comblang seperti ini, kata Nasir, lumrah dilakukan dan dianggap ibadah.

Sejak Noor Din dicari-cari polisi karena ditengarai mengotaki pengeboman Bali pada 2002, ia semakin jarang menghubungi keluarga. Belakangan, pada 2004, Noor Din menikahi Munfiatun, sarjana pertanian Universitas Brawijaya, Malang. ”Rahma dan anaknya ditinggal, tidak ditengok-tengok. Dia malahan menikah lagi,” kata Nasir. ”Noor Din itu orangnya tega.”

l l l

PADA mulanya adalah sebuah pertanyaan, ”Apakah kamu bersedia menjadi istri saya?” Yang bertanya adalah seorang lelaki yang mengaku bernama Abdurrachman. Yang ditanya, perempuan lugu bercadar bernama Munfiatun, menjawab bahwa ia butuh waktu satu pekan untuk berkonsultasi dengan keluarga.

Keduanya baru berjumpa satu jam di rumah Hasan, perantara pertemuan, di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Hasan adalah suami Yati, teman Munfiatun.

Dalam pertemuan itu, Abdurrachman yang putih, rambut ikal seleher, dengan tinggi badan sekitar 170 sentimeter, mengaku sebagai mujahid, pejuang di jalan Tuhan. Ia sempat mendekatkan wajahnya agar tampak lebih jelas oleh calon istrinya. ”Wajah saya sama dengan yang di koran-koran ya?” kata lelaki berlogat Melayu ini. Kepada calon suaminya, Munfiatun mengatakan tak percaya kepada koran. Sumber Tempo bercerita, guru taman kanak-kanak kelahiran Jepara itu mengaku bahwa media dan polisi bisa saja keliru.

Singkat cerita, Munfiatun dan Abdurrachman menikah di Surabaya pada 22 Juni 2004. Bertindak sebagai penghulu Ustad Adung, yang kini ditahan polisi karena menjadi bagian dari gerakan Jamaah Islamiyah. Dari pihak Munfiatun hadir sang ibu, Harojum, 56 tahun, serta Yati dan Hasan.

Sehari menikah, Abdurrachman mengajak sang istri ke Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, menggunakan mobil Kijang tua milik Hasan. Keduanya lalu menginap di sebuah penginapan di daerah Tretes. Saat inilah Abdurrachman membuka kedok bahwa dirinya sudah menikah dengan Rahma dan memiliki tiga anak di Johor, Malaysia. Tiga hari kemudian, Noor Din menghilang dan menitipkan istri keduanya di rumah seorang teman. Sebelumnya, ia membelikan sang istri telepon genggam Nokia 3310.

Keduanya kembali bertemu sebulan kemudian untuk berangkat ke Cikampek, Jawa Barat. Di sana mereka menginap di rumah seseorang. Tak berapa lama, Abdurrachman kembali menghilang. Saat suaminya raib, Munfiatun sempat berkirim pesan singkat menyatakan ingin menelepon. Abdurrachman menjawab, ”Boleh tapi teleponnya dibuka jam 13.00 sampai 17.00.”

Dua hari kemudian, Munfiatun mendapat kiriman surat plus uang Rp 400 ribu. Dalam surat itu, sang suami mengatakan kondisi belum memungkinkan mereka bertemu. Di akhir surat, Abdurrachman menulis namanya Abu Hafs al-Muhajir alias Noor Din M. Top. Keduanya sempat berkirim surat dua kali lagi sebelum polisi menahan Munfiatun pada 22 September 2004. Ia didakwa memberikan bantuan terhadap teroris dan divonis pengadilan tiga tahun penjara. Saat itulah Munfiatun memutuskan cerai dari Abdurrachman.

Kini Munfiatun tinggal di rumah ibunya, Harojum, di Desa Pecangaan Kulon, Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Sehari-hari ia memberikan les mata pelajaran sekolah kepada anak-anak tetangga. Ia juga belajar menjahit bordir. Kepada Bandelan Amarudin dari Tempo, yang mengunjunginya pekan lalu, Munfiatun mengaku tidak trauma dengan masa lalunya. Namun ia enggan menceritakan kisah asmaranya dengan Abdurrachman. ”Maaf, Mas, biarlah itu menjadi bagian dari pengalaman hidup kami.”

l l l

ARINA Rahma, 26 tahun, berhenti sekolah bahasa Arab di Ma’had Ali, Yogyakarta, ketika ayahnya memintanya pulang ke Cilacap. Padahal saat itu, pertengahan 2005, kuliahnya hampir rampung, tinggal menyusun skripsi.

Sang ayah, Bahrudin Latif, 60 tahun, tengah menyiapkan rencana lain: mengawinkan putrinya dengan Ade Abdul Halim, lelaki Makassar yang mengaku bekerja sebagai staf hubungan masyarakat di sebuah pesantren.

Warga desa mengetahui pernikahan keduanya dari pengumuman Bahrudin di masjid desa seusai Jumatan. ”Hari ini ada syukuran pernikahan anak saya,” kata Mahfud, Direktur Pondok Pesantren Al-Muaddib, menirukan ucapan Bahrudin. Di pesantren itu, Bahrudin tercatat sebagai ketua yayasan. Warga desa sempat menanyakan asal Ade. Bahrudin menjawab pendek: dari Sulawesi.

Satu yang meresahkan Arina adalah suaminya kerap pergi dalam waktu lama. Suatu ketika, ia meminta pertimbangan orang tuanya ikut Ade bepergian. ”Orang tuanya menyerahkan keputusannya kepada Arina karena sudah menikah,” kata Achmad Michdan, pengacara dari Tim Pembela Muslim. Arina juga telah berkali-kali meminta suaminya agar dikenalkan dengan mertuanya di Makassar. Tapi permintaan itu tak dituruti. Menikah dengan Ade, Arina dikaruniai dua anak.

Dua pekan lalu, polisi menggerebek rumah Bahrudin. Ia tak ada. Sang menantu, Ade Abdul Halim, yang diyakini polisi sebagai Noor Din, telah raib sejak lima bulan sebelumnya. Menghilang, kawin, dan beranak memang keahlian Noor Din.

Budi Riza, Martha Warta Silaban (Jakarta), Jupernalis S. (Riau), Aris Ardianto, Muhammad Taufik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus