Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Eks pemimpin KPK mengkritik rencana KPK menggandeng koruptor dalam gerakan pendidikan antikorupsi.
Langkah pelibatan narapidana korupsi dianggap sangat konyol lantaran para koruptor itu masih menjalani masa pemidanaan.
Menjadikan koruptor sebagai agen antikorupsi dianggap ironi karena selama ini KPK justru berusaha menyingkirkan 75 pegawainya.
JAKARTA – Berbagai kalangan ramai-ramai mengkritik rencana Komisi Pemberantasan Korupsi yang hendak menggandeng para koruptor dalam gerakan pendidikan antikorupsi. Mereka menganggap agenda itu justru bertentangan dengan fungsi KPK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas, berpendapat bahwa KPK saat ini abai terhadap pendidikan pemberantasan korupsi yang berbasis pada paradigma ideologis dan metodologi secara akademis tentang bahaya korupsi. Di antaranya, kata dia, kerangka berpikir bahwa korupsi merupakan kejahatan yang lekat pada mafia peradilan, mafia bisnis, mafia politik, dan mafia calo di tingkat penyelenggara negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Secara singkat, korupsi itu produk-produk politik yang lebih oligarki, tertutup, ugal-ugalan, dan tidak jujur," kata Busyro kepada Tempo, kemarin.
Busyro menegaskan, keputusan komisi antikorupsi yang hendak memberi panggung kepada koruptor dalam gerakan pemberantasan korupsi merupakan bagian dari disfungsi pimpinan KPK. Semestinya KPK berfokus pada pendidikan antikorupsi berbasis data yang mereka miliki mengenai dampak korupsi bagi korban.
Ia mencontohkan, kejahatan korupsi di sektor sumber daya alam, seperti izin tambang batu bara dan perkebunan sawit, telah merugikan banyak orang. Masyarakat menjadi korban dari kejahatan yang terstruktur, sistematis, dan masif dari korupsi tersebut.
Saat ini KPK tengah menjaring para koruptor untuk dilibatkan dalam agenda pendidikan antikorupsi. Dari 50 narapidana korupsi yang sempat terjaring, saat ini mengerucut menjadi tujuh orang.
Sesuai dengan rencana, KPK akan merekam testimoni para narapidana korupsi itu. Testimoni mereka nantinya dijadikan materi penyuluhan antikorupsi kepada penyelenggara negara dan masyarakat.
Lobi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 5 Agustus 2021. TEMPO/Imam Sukamto
Menurut Busyro, program pendidikan antikorupsi semacam ini belum pernah tercetus di era kepemimpinannya. Ia menganggap pelibatan koruptor justru seolah-olah menimbulkan kesan bahwa mereka sebagai korban. Padahal mereka bagian dari kejahatan elite yang didominasi oleh mafia peradilan, mafia politik, hingga produk dari demokrasi yang transaksional.
Pengurus Pusat Muhammadiyah itu menilai pelibatan koruptor ini merupakan bagian dari kemunduran kerja-kerja KPK. Rentetan kemunduran kerja-kerja KPK itu dimulai dari revisi Undang-Undang KPK pada 2019, alih status pegawai aparat sipil negara, penyingkiran pegawai KPK yang berintegritas, hingga rencana memberi panggung kepada narapidana korupsi.
Senada, Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang, berpendapat bahwa keputusan memberi panggung kepada terpidana korupsi berpotensi menghambat pengembangan kasus yang sedang ditelusuri oleh penyelidik. "Jangan lupa 18 tahun kedaluwarsa. Pas yang bersangkutan lagi story telling, kasusnya masuk penyidikan baru, bubar itu story telling," kata Saut.
Saut menilai keputusan tersebut merupakan bentuk salah kaprah KPK dalam memahami tugas pokok sebagai pemberantas korupsi. Padahal tugas KPK bukan membagikan pengalaman pahit narapidana korupsi. Pengalaman masing-masing koruptor itu biarlah menjadi milik masyarakat lewat pemberitaan di media massa. “Pengalaman koruptor juga tidak dapat menjamin perilaku korup di Indonesia dapat teratasi.”
Saut mengingatkan bahwa program testimoni koruptor tersebut bisa menjadi ajang pembenaran mereka. Ia menceritakan pengalamannya menghadiri sebuah forum yang dihadiri oleh kepala daerah bekas terpidana korupsi. Forum tersebut justru menjadi ajang pembenaran bahwa kepala daerah tersebut tidak bersalah.
Guru besar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menyebutkan pelibatan koruptor dalam gerakan antikorupsi justru hendak mengkerdilkan definisi kejahatan korupsi yang luar biasa menjadi biasa saja. Ini ditambah dengan rentetan pemberian remisi kepada koruptor yang diberikan oleh pemerintah.
"Logikanya berantakan, karena kalau mereka menjadi penyuluh, untuk bagian apanya? Kalau testimoni kejahatan korupsi, justru ngajari namanya," kata Zainal.
Menurut Zainal, konteks penyuluh dan penyintas bisa digunakan untuk kejahatan seperti penyalahgunaan narkoba. Karena pengguna narkoba bisa ditempatkan sebagai korban. Tapi berbeda dengan koruptor, mereka tidak bisa masuk kategori sebagai korban atau penyintas. Sebab, koruptor merupakan pelaku aktif yang melakukan kegiatan penyelewengan uang dan kekuasaan negara.
Zainal juga menyebutkan bahwa program tersebut sangat ironis karena KPK selama ini memperlakukan pegawainya tidak semestinya. Ia mencontohkan nasib 75 pegawai KPK yang disingkirkan melalui tes wawasan kebangsaan. "Di mana logikanya, ketika pegawai KPK dianggap seperti iblis yang tidak mungkin diperbaiki, tapi koruptor bisa diperbaiki," kata Zainal.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, menguatkan pendapat Zainal dan Busyro. Asfinawati mengatakan persoalan korupsi terjadi di ranah struktural negara, sehingga pendekatan psikologis melalui testimoni koruptor sangat tidak masuk akal. "Jangan-jangan ini hanya menjadi salah satu alasan pemberian remisi bahwa narapidana tersebut telah berubah dan berbuat baik," kata Asfinawati.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan banyak kejanggalan dari gerakan ini, dimulai dari kedatangan KPK di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, dan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang. Ia mengatakan semestinya pencegahan korupsi mengarah ke masyarakat agar tidak melakukan praktik korupsi.
"Bukan kepada orang yang sedang menjalani masa pemidanaan," kata Kurnia.
Kurnia menilai program tersebut menjadi tanda kemunduran kerja-kerja KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. Apalagi adanya pelabelan koruptor sebagai agen antikorupsi atau penyintas antikorupsi. Ia menyebut langkah pelibatan narapidana korupsi itu sangat konyol lantaran para koruptor tersebut masih menjalani masa pemidanaan. "Ketika KPK dulu banyak menggunakan tuntutan pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi, itu menandakan KPK tidak memberi tempat bagi pelaku setelah menjalani pemidanaan. Tapi justru hari ini, yang masih menjalani pemidanaan, akan diberi label agen antikorupsi," ujar Kurnia.
AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo