Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKRETARIAT Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Papua luput memasukkan insiden pemerkosaan terhadap dua perempuan di Nabire, Papua Tengah, pada 5 April 2024 ke dalam laporan lembaganya yang dirilis pada dua hari lalu. Padahal pemerkosaan yang disertai kekerasan di Papua Tengah itu menjadi sorotan publik dan Komnas HAM sempat menyatakan insiden tersebut masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Peristiwa itu luput dimasukkan ke dalam catatan kami yang dirilis kemarin,” kata Kepala Kantor Sekretariat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Papua, Frits B. Ramandey, Rabu, 5 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Frits mengatakan bisa jadi banyak insiden lain di pelosok wilayah Papua yang luput dalam pemantauan Sekretariat Komnas HAM Papua. “Bisa saja ada kejadian lagi di wilayah pedalaman yang tidak terekspos atau mereka tidak sempat beri tahu ke kami.”
Pemerkosaan terhadap dua perempuan, yang berinisial A, 24 tahun, dan RD, 27 tahun, itu terjadi ketika keduanya melintas di lokasi demonstrasi masyarakat di Nabire pada 5 April lalu. Massa yang berunjuk rasa menamakan diri Front Rakyat Peduli HAM Papua.
Awalnya kedua korban itu dengan menggunakan sepeda motor berusaha menghindari kerumunan massa. Mereka memilih Jalan Jayanti di Nabire atau jalan alternatif untuk menghindari massa. Tapi keduanya tetap bertemu dengan massa di jalan. Massa yang berunjuk rasa lantas menghalau kedua korban itu. Kedua korban lantas berusaha melarikan diri, tapi massa terus mengejarnya. Sekelompok orang dari massa itu lebih dulu menganiaya korban, lalu memperkosanya.
Enam hari setelah kejadian itu, Sekretariat Komnas HAM Papua sempat mengirim rilis ke berbagai media, yang isinya lembaga ini akan mengusut kasus pemerkosaan tersebut. Komnas HAM juga meyakini insiden itu sudah masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia.
Meski demikian, kasus kekerasan ini luput dimasukkan ke laporan Komnas HAM Papua. Komnas HAM Papua melaporkan sebanyak 41 kasus kekerasan di Papua yang mengarah ke pelanggaran HAM selama semester pertama tahun ini.
Anggota TNI-Polri memantau pergerakan KKB di Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah. ANTARA/HO/Satgas Damai Cartenz
Angka kekerasan ini hampir serupa dengan jumlah total kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua pada tahun lalu. Sesuai dengan data Gugus Tugas Papua di Universitas Gadjah Mada, jumlah korban meninggal akibat kekerasan di Papua sejak Januari 2010 hingga Maret 2022 mencapai 464 jiwa. Jumlah riil korban jiwa diprediksi jauh lebih besar daripada data yang tercatat.
Tindak kekerasan pada tahun ini didominasi peristiwa kontak senjata dan penembakan sebanyak 25 kasus. Kemudian sepuluh kasus berupa penganiayaan dan tujuh kasus perusakan. Frits mengatakan kekerasan bersenjata yang dipantau mayoritas menggunakan senjata otomatis. Korban meninggal akibat berbagai insiden ini mencapai 32 orang dan 21 orang mengalami luka-luka.
Lokasi kekerasan tersebar di 13 kabupaten di Papua, yaitu Intan Jaya, Paniai, Yahukimo, Puncak, Pegunungan Bintang, Nabire, Puncak Jaya, Keerom, Jayawijaya, Dogiyai, Jayapura, Mimika, dan Maybrat. Insiden terbanyak terjadi di Intan Jaya.
Menurut Frits, tindak kekerasan ini terjadi akibat respons terhadap peristiwa sosial-ekonomi maupun kebijakan politik. Perubahan istilah penyebutan terhadap kelompok bersenjata di Papua, dari kelompok separatis teroris menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM), juga mempengaruhi eskalasi konflik di Papua.
Sebutan OPM dapat memberi keleluasaan kepada TNI untuk menyerang kelompok bersenjata di Papua. Indikasinya semakin kuat setelah TNI membentuk Komando Operasi TNI Habema, Februari 2024. Komando operasi di bawah kendali Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III ini bertugas menangani konflik di Papua. Padahal, kata Frits, Papua bukanlah daerah operasi militer. Di samping itu, penegakan hukum sebetulnya sudah dilakukan oleh kepolisian lewat Satuan Tugas Damai Cartenz.
“TNI bisa saja menggunakan istilah OPM supaya menganggap mereka kombatan dan mereka bisa kapan saja melakukan operasi tanpa harus berkoordinasi dengan polisi. Itu yang kemudian memperburuk keadaan,” ujar Frits.
Baca Juga:
Ia menilai pendekatan keamanan justru akan menimbulkan aksi saling balas dendam. OPM akan melakukan aksi balasan berdasarkan hukum adat Papua apabila ada anggotanya yang tewas. Balas dendam ini bukan hanya akan menyasar aparat, tapi juga masyarakat sipil non-Papua.
Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits Ramandey (kiri), memberikan keterangan di Jayapura, Papua, 3 Juni 2024. ANTARA/Ardiles Leloltery
Komnas HAM Papua, kata dia, mendorong pemerintah berinisiatif melakukan dialog kemanusiaan. Lembaganya bersedia memediasi dialog tersebut.
Juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sambom, belum merespons upaya konfirmasi Tempo soal ini. Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Mathius Derek Fakhiri mengatakan kekerasan yang meningkat di Papua akibat aparat berfokus pada Pemilihan Umum 2024.
"Bukan kami tidak bekerja, memang kemarin itu ada longgar karena kita semua mempersiapkan pengamanan pemilu presiden di tanah Papua," kata Fakhiri, Selasa lalu. Ia mengklaim tingkat kekerasan di wilayah yurisdiksinya menurun dibanding tahun lalu.
Konflik di Papua ini sesungguhnya sudah berlangsung sangat lama ketika Papua bergabung ke Indonesia. Dalam menangani konflik di Papua, pemerintah menggunakan berbagai cara, di antaranya berkali-kali mengganti sebutan nama kelompok bersenjata di sana.
Awalnya mereka dinamai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sebutan untuk mereka berubah menjadi Tentara Pembebasan Nasional Papua Merdeka-OPM (TPNPB-OPM) dan kelompok separatis teroris. Belakangan, TNI mengubah lagi istilah mereka dengan OPM.
Baca Juga:
Meski begitu, Kepala Pusat Penerangan TNI Brigadir Jenderal Nugraha Gumilar mengatakan TNI tetap mengedepankan operasi teritorial dengan jalan mengajak masyarakat membangun Papua. Ia memastikan TNI akan mengambil tindakan tegas sesuai dengan hukum humaniter jika OPM bertindak brutal.
Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, mengatakan tren kekerasan di Papua selaras dengan peningkatan angka kasus dalam lima tahun terakhir. Sesuai dengan pemantauan Human Rights Monitor dan Aliansi Demokrasi untuk Papua, konflik bersenjata di Papua meningkat sejak 2018.
Ia mengatakan pendekatan keamanan di Papua tidak berkorelasi positif dengan upaya penyelesaian konflik. Sebaliknya, kata Cahyo, tren kekerasan justru berlanjut.
“Kemudian konflik juga terjadi di ruang publik, seperti kantor pemerintahan hingga pasar. Konflik menyasar ke kehidupan warga sipil,” kata Cahyo.
Cahyo mengatakan kekerasan di Papua tidak akan berhenti jika tak ada jeda kemanusiaan atau pemerintah tidak mengubah pendekatan keamanan di Papua. Pemerintah, kata Cahyo, seharusnya menggunakan pendekatan dialogis dalam penyelesaian konflik di Papua. “Jadi, selama ini pemerintah tidak berusaha untuk mengevaluasi pendekatan keamanan dan mengajak kelompok yang berkonflik untuk dialog,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Daniel A. Fajrie dan Yohane Yoharso Joharsoyo berkontribusi dalam penulisan artikel ini.