PORKAS berakhir, Desember ini. Tapi jangan khawatir, sudah tersedia gantinya. Namanya Kupon Sumbangan Olah Raga Berhadiah atau lebih "ngetop" dengan SOB. Meski sering dikecam, Pemerintah tetap menganggap undian olah raga itu banyak mendatangkan manfaat. Antara lain, andil Porkas atas sukses kontingen Indonesia merebut kembali gelar juara umum SEA Games 1987 Berkat Porkas juga TVRI mampu menayangkan siaran langsung perebutan Piala Super Dubai dan Piala Toyota pekan lalu. Kendati begitu, Pemerintah rupanya tak menutup mata atas berbagai ekses yang terjadi. Artinya, akan ada berbagai perubahan. Ini ditegaskan Presiden Soeharto ketika menerima Menteri Sosial Ny. Nani Soedarsono, Rabu pekan lalu. "Upaya pengumpulan sumbangan olah raga ini dilanjutkan sambil dilakukan perbaikan dan penyempurnaan secara terus-menerus," ujar Ny. Nani Soedarsono menegaskan amanat Kepala Negara. Maka awal Januari 1988 nanti, SOB tampil dengan "lebih realistis" ketimbang Porkas. Hadiah utama tak lagi Rp 100 juta. "Paling hanya berkisar jutaan rupiah saja," tutur Dirjen Bantuan Sosial (Bansos) Yusuf Thalib, S.H. Angka yang tepat memang masih dicari. Jumlah hadiah yang kelewat besar, "Secara psikologis kurang menguntungkan," ujar Yusuf. Memang benar. Guna meraih Rp 100 juta itu, banyak pecandu Porkas yang terangsang pergi ke dukun, makam keramat, atau bahkan mendatangi orang gila, minta huruf. Bahkan mencuri atau merampok. Ini agaknya yang ingin dihindari. Dengan mengurangi jumlah hadiah, sifat "iming-iming" dari undian diharapkan berkurang juga. Selain itu, hadiah akan dikaitkan langsung dengan pertandingan sepak bola. Namun seperti juga Porkas, pada SOB juga akan ada dua macam kupon. Kupon yang pertama hanya berisi tebakan sepak bola. Yang ditebak pada kupon ini tak lagi menang seri atau kalah saja seperti pada Porkas. Tapi juga sampai skor pertandingan. Bahkan skor babak pertama dan babak kedua. Kupon SOB yang lain berisi tebakan sepak bola dan tebakan huruf. Pada Porkas, kupon pertama berisi tebakan huruf dan sepak bola. Sedang kupon kedua hanya berisi tebakan huruf -- bisa menebak empat, tiga, atau dua huruf dari 14 huruf yang diundi. Itu bedanya. "Kalau Porkas yang dominan adalah tebak huruf, kali ini yang dominan pertandingannya," ujar Yusuf lagi. Maksudnya, kini orang benar-benar mengukur prestasi kesebelasan yang bertanding untuk blsa menebak tepat. Maksud yang lain, mungkin, untuk mencegah adanya pertandingan fiktif. Beberapa waktu yang lalu, beberapa pertandingan dengan alasan hujan atau berita hasil pertandingan tak sampai di Jakarta -- terpaksa diundi hasilnya. Padahal, dalam pelacakan TEMPO beberapa waktu lalu, terungkap bahwa kesebelasan yang tertera di kupon mengaku tak pernah dihubungi atau malah sudah bertanding. Toh hasil pertandingan tetap diundi. Di masa depan, dengan menjalin kerja sama lebih erat dengan PSSI, agaknya berbagai penyimpangan itu ingin dihindari. Namun, pihak Bansos rupanya masih menjaga kemungkinan batanya pertandingan. "Kalau toh ada, karena sebab-sebab khusus, hasil pertandingan dianggap seri," ujar Yusuf lagi. Masih ada "angin segar" lain dari SOB. Ada 45-60 persen dana yang masuk akan kembali pada pembeli dalam bentuk hadiah. Sedang pada Porkas, setelah dihitung cuma 28 persen. Artinya, dengan SOB makin banyak orang yang meraih hadiah. Dengan peluang mendapat hadiah makin besar, peminat diharapkan makin banyak. Dan, "Dana yang kembali ke masyarakat juga makin banyak," kata Yusuf Thalib. Agar masyarakat kecil tak ikut pasang, harga kupon SOB ditetapkan menjadi Rp 600 -- Porkas hanya Rp 300. Selama dua tahun ini Porkas sudah mengumpulkan dana hampir Rp 29 milyar. Untuk SEA Games 1987 lalu, Porkas menyumbang Rp 11,4 milyar. Menurut rencana, Porkas juga akan membantu persiapan kontingen Indonesia ke Olimpiade Seoul 1988. Dari sisi pengumpulan dana ini, cukup banyak juga manfaat Porkas -- atau juga nanti SOB. Mungkin itu sebabnya Prof. K.H. Ibrahim Hosein, pengajar IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, secara pribadi menyatakan Porkas bukanlah maisyir atau judi. Yang diharamkan, menurut kiai yang juga Ketua Komisi Fatwa MUI ini, adalah perbuatannya dan bukan benda (uang) hasil perjudian itu. Artinya, bisa saja uang hasil menang Porkas dipakai menunaikan ibadat, misalnya pergi haji. Kesimpulan itu diperoleh Ibrahim Hosein setelah membaca berbagai kitab tafsir. "Berhaji dan berporkas harus dibedakan, meski sama-sama perbuatan," katanya. Yang ditentang para ulama, menurut dia adalah permusuhan yang timbul akibat perjudian itu. "Kalau tak ada permusuhan, ya, tidak apa-apa," katanya. Pendapat pribadi Ibrahim Hosein memang agak lain dengan fatwa MUI Pusat sendiri. Dua tahun silam fatwa MUI menyatakan dampak negatif Porkas lebih besar ketimbang manfaatnya. Dihubungi TEMPO, Kamis pekan lalu, Ketua MUI Pusat K.H. Hasan Basri hanya menyatakan, fatwa MUI tentang Porkas -- juga perpanjangannya -- sudah final, jelas, dan selesai. Sikap MUI itu dinilai tidak tegas oleh K.H. Syansuri Badawi, anggota DPR RI yang juga pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Kepada Surabaya Post, ia mengatakan tegas bahwa Porkas atau SOB itu judi. K.H. Misbach, Ketua MUI Ja-Tim, juga berpendapat bahwa Porkas adalah maisyir (judi). "Konsekuensinya, uang hasil Porkas adalah haram." Menimbang bahwa berbagai mudarat seperti pelajar ikut memasang dan suami-istri bercerai gara-gara Porkas, Misbach menilai, "Haramnya makin meningkat." Pendapat senada juga dikemukakan Jaumid Sugianto, Ketua DPD SPSI Ja-Tim, "Perjuangan kami meningkatkan kesejahteraan buruh jadi percuma. Tetap akan habis untuk Porkas." Ia mengharap Porkas dihentikan. Bagaimana dengan SOB yang lebih realistis? "Hanya ganti baju, apa sih bedanya? Porkas atau SOB, ya, sama saja," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini