BUKU berjudul panjang itu mulai beredar di Belanda sejak Kamis pekan lalu. Tebalnya 400 halaman. Edisi pertama Kartini -- Brieven Aan Mevrouw R.M. Abendanon Mandri en Haar Echgenoot met Andere Documenten (Kartini -- Surat-Surat kepada R.M. Abendanon Mandri dan Suaminya dengan Dokumen-Dokumen lain) itu dicetak 2.000 eksemplar. Jumlah itu terhitung kecil. Namun, bagi penerbitnya, Koninklijk Instituut voor Taal, Land-en Volkenkunde (KITLV) di Leiden, Belanda, oplah itu sangat besar. Maklum, selama ini lembaga penelitian bahasa dan antropologi yang sudah berdiri sejak 1851 itu hanya menerbitkan publikasi untuk kepentingan ilmu pengetahuan dengan oplah 300 sampai 700 eksemplar. Buku terlaris selama ini, menurut Harry A. Poeze, ketua redaksi penerbitan KITLV, adalah karya Profesor J.C. Breman, tentang kuli perkebunan di Sumatera Timur. Buku itu dicetak 1.500 eksemplar pada 1986, dan terjual habis Edisi kedua diterbitkan dalam oplah yang sama tapi sampai kini masih tersisa. "Karena itu, kalau tidak mendapat subsidi dari pemerintah, kami yang bekerja di sini bia mati," ujar Poeze. Pemasaran buku dokumentasi Kartini itu diserahkan kepada Foris Publication di Belanda, yang juga punya cabang di Amerika Serikat. Harganya 35 gulden per eks, atau sekitar Rp 30.000,00. Selain itU, KITLV juga mengedarkannya untuk para anggotanya di Belanda, Amerika Serikat, Prancis, dan Ingris. Dengan membayar iuran 65 gulden setahun, para anggota dapat memesan publikasi-publikasi KITLV dengan potongan harga 40%. Di Jakarta, perwakilan KITLV yang berkantor di gedung LIPI juga sudah mendapat pesanan. Antara lain dari Roeslan Abdulgani dan Prof. Soenario. Tapi, seperti dikatakan Jaap Erkelens dari perwakilan KITLV, mereka mengedarkan buku Kartini hanya untuk kalangan terbatas. Pekan lalu, misalnya, dua eksemplar telah mereka serahkan kepada keluarga Raden Ajeng Kartini di Jakarta. Selain itu, buku itu juga akan mereka serahkan kepada sejumlah menteri dan kepada Presiden Soeharto, melalui Menmud Sekkab. Soalnya, KITLV tak mau mengganggu penerbit Djambatan yang akan menerbitkan terjemahan buku itu dalam bahasa Indonesia. Semula, diharapkan penerbitan itu bisa dilakukan pada April 1988, untuk menyongsong peringatan hari lahir Kartini, 21 April. Tapi tampaknya rencana itu bisa tergeser. Profesor Sulastin Sutrisno, ahli filologi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, yang ditunjuk Djambatan sebagai penerjemah, memperkirakan baru akan bisa menyelesaikan naskahnya, Agustus tahun depan. Sulastin pernah menerjemahkan surat-surat Kartini dari Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang), pada 1979 dengan judul, Surat-Surat Kartini -- Renungan tentang dan untuk Bangsanya. Ia merasa gembira sekarang mendapat kesempatan lagi untuk menerjemahkan surat-surat Kartini yang baru itu. "Kalau surat untuk keluarga Abendanon terdahulu kena sensor, sekarang bisa kita baca utuh," katanya. Tentu saja diharapkan terjemahan baru ini nantinya, seperti dikatakan oleh Nyonya R. Pamoentjak Singgih, Direktur PT Penerbit Djambatan, "Akan menampilkan Kartini apa adanya. Bagaimana pola pikirannya pada waktu itu." Surat-surat Kartini yang baru terungkap ini ternyata memang menampilkan sosok Kartini yang lain, yang lebih berani, yang lebih keras mengecam Belanda. Tersingkap juga bahwa derita yang dihadapi Kartini jauh lebih berat (TEMPO, 12 Desember 1987). Mungkin, Kartini sendiri tidak membayangkan bahwa surat-suratnya, yang ditulis di meja kecil, yang sesekali ditinggalkannya untuk berbaring di tikar di samping meja itu, akan dibaca oleh bangsanya sekitar 80 tahun kemudian. Mungkin pula, ia tidak menduga, semangat jiwanya yang dituangkannya dalam surat-surat itu akan tetap bergema di hati berjuta bangsanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini