KNPI Pekalongan membuat kejutan. Itu terjadi tatkala pawai memeriahkan Hari Kemerdekaan RI ke-40, yang diselenggarakan pemerintah daerah Pekalongan, Senin 19 Agustus lalu. Dari peserta pawai, mendadak muncul barisan sekitar seratus anggota KNPI, berkaus kuning dan putih, menggotong sebuah gambar wali kota Pekalongan, Djoko Prawoto, yang dibuat di papan tripleks berukuran 160 X 240 cm. Di depan gambar terentang spanduk merah bertuliskan "Bung Djoko Prawoto, Bapak Pembangunan Pekalongan". Tatkala melewati panggung upacara yang terletak di Jalan Hayam Wuruk, barisan KNPI itu meneriakkan yel-yel "Hidup Bung Djoko Prawoto". Menurut penuturan Chaeroni, 34, ketua KNPI Pekalongan, waktu itu Djoko sangat antusias menyambut barisan KNPI. "Kami melihat Pak Djoko dengan penuh semangat meneriakkan 'Hidup KNPI' berulang kali. Kami sungguh bangga mendapat sambutan begitu," katanya. Lewat pawai itu, kata Chaeroni, KNPI bermaksud "mengusik" kalangan DPRD Pekalongan, untuk mengajukan usul agar Djoko Prawoto dinobatkan sebagai Bapak Pembangunan Kota Madya Pekalongan. "Kami juga ingin menerjemahkan aspirasi masyarakat terhadap Pak Wali yang mereka cintai itu," tutur Chaeroni, yang menjadi anggota KNPI sejak 1974. "Dan ternyata apa yang kami perbuat mendapat sambutan masyarakat." Chaeroni pun menyebut prestasi Djoko sejak menjadi wali kota pada November 1979. Dalam lima tahun terakhir ini Pekalongan sering meraih predikat juara, baik tingkat provinsi maupun nasional, misalnya di bidang perkoperasian. Namun, menurut Chaeroni, prestasi Djoko yang tak bakal dilupakan rakyat Pekalongan adalah tatkala sang wali kota membuka wilayah Slamaran, di pinggir pantai Pekalongan, pada 1980. Wilayah seluas hampir 300 hektar itu tadinya merupakan daerah angker yang tak terusik selama berabad-abad. "Tapi buat Pak Djoko tak ada istilah angker. Wilayah itu dibukanya, dan ternyata bermanfaat buat masyarakat luas," kata Chaeroni, yang juga ketua Komisi B DPRD Pekalongan dari fraksi F-KP. Di Slamaran kini telah, dibangun kompleks perumahan, sekolah, juga kampus Universitas Pekalongan. Fraksi-fraksi di DPRD Pekalongan ternyata terkejut dengan langkah Chaeroni. "Mengusulkan gelar Bapak Pembangunan Kota Madya untuk Pak Djoko akan menambah beban mental. Selain keberhasilan yang telah dicapai, sebagai manusia tentu ada kekurangannya. Jika itu disadari, tentu Pak Djoko tidak akan begitu gampang menerima gelar itu," kata Setyadji Lawi, ketua fraksi PDI. Abdul Azis Salim, dari F-PP, menanggapi lebih keras. "Mengusulkan Pak Djoko untuk diberi gelar Bapak Pembangunan lewat pawai yang begitu demonstratif sungguh tradisi buruk," ujarnya. "Saya khawatir itu cuma sekadar hura-hura. Bukannya tidak mungkin malah mendiskreditkan Pak Djoko." Azis juga mempertanyakan apakah usul itu datang dari DPD KNPI Pekalongan atau hanya dari segelintir orang. Chaeroni mengakui, usul itu belum pernah dibahas dalam forum DPDKNPI, dan hanya timbul secara spontan. Dijelaskannya, ia tidak bermaksud mendiskreditkan Djoko. Djoko Prawoto sendiri mengaku kaget dan tidak bisa tidur karena adanya usul itu. Setelah berpikir panjang, ia memutuskan untuk menolaknya. "Saya tidak pantas menerima gelar itu. Saya ini cuma abdi masyarakat. Saya sama sekali tidak pernah diajak bicara oleh KNPI tentang usul itu lebih dahulu," katanya. Ia telah mengirim surat kepada gubernur Jawa Tengah Ismail tentang penolakannya itu. Chaeroni tampaknya tak tersinggung dengan penolakan Djoko. "Itu hak Pak Wali untuk menolak, kami menghormatinya." Kini ia merencanakan menyempurnakan gambar Djoko, lalu menyerahkannya sebagai kenang-kenangan. "Masa Pak Djoko mau menolaknya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini