FESTIVAL Film Indonesia bukan pesta orang film. Tapi pesta para koruptor. Dicky Zulkarnaen, aktor pembantu terbaik dalam film Pemberang dalam FFI 1973, dua pekan lalu melemparkan "bom" itu. "Pernyataan itu saya kutip dari koran daerah," katanya kepada TEMPO. Yang dimaksudkan Dicky tentu saja FFI 1985, 3-10 Agustus di Bandung. Sehabis pesta pora itulah, ia memperoleh informasi dari wartawan daerah bahwa sebenarnya dana FFI tersebut Rp 2 milyar. "Nah, kalau benar begitu, padahal menurut panitia biaya seluruhnya hanya Rp 823 juta, jadi ke mana kelebihannya?" kata suami Aktris Mieke Widjaja ini. Dari Bandung memang ada reaksi. Kata H. Karna Suwanda, sekwilda Provinsi Jawa Barat, yang ditunjuk sebagai ketua Pelaksana Daerah FFI 1985: "Saya ambil hikmahnya saja, bahwa kritik itu baik, dan saya bersyukur kerja kami diawasi masyarakat." Pihak panitia bukannya mau cuci tangan. Penjelasan atau pertanggungjawaban Panitia Daerah direncanakan diberikan di depan DPRD Provinsi Jawa Barat, Rabu pekan ini. Adapun tentang jumlah dana, kata Suwanda, "Kalau jumlah itu benar, datangnya dari mana?" Menurut sekwilda itu, pemungutan dana FFI Bandung sudah dijalankan sejak tahun lalu. Yakni berupa pungutan lewat karcis bioskop, penjualan stiker, serta jasa giro dan deposito. "Uang itu kami masukkan ke Bank Pembangunan Daerah, daripada menganggur," tambahnya. Sabtu pekan lalu panita mengecek jumlah pemasukandana FFI ke BPD, di peroleh angka Rp 960 juta. Menurut Suwanda, "Memang masih berlangsung pemasukan dana dari sektor lain-lain tapi jumlah akhirnya tak akan mungkin mencapai Rp 2 milyar." Sementara itu, uang Rp 960 juta sudah klop untuk pembiayaan pesta para bintang itu. Perinciannya, Rp 136 juta untuk biaya persiapan. Lalu Rp 200 juta disediakan untuk membangun sanggar seni. Sisanya, Rp 624 juta, inilah seluruh ongkos pesta itu. Yakni dari biaya perbaikan gedung PWI Bandung Rp 3,5 juta (karena dipinjam untuk pusat informasi FFI), hingga ongkos pembuatan panggung Rp 75 juta, dan biaya sekretariat Rp 85 juta. Di kertas, perhitungan itu memang klop. Tapi Dicky berpendapat, perincian itu berlebihan. Biaya sekretariat yang Rp 85 juta itu misalnya, "Kok, sebesar itu, padahal panitia FFI 'kan bersifat sementara," katanya. Memang, besarnya biaya tiap acara itulah yang perlu dijelaskan. Umpamanya, biaya pawai artis yang hanya beberapa jam itu, tercantum Rp 32,3 juta. Yang lebih membuat Dicky jengkel, uang itu sebenarnya dikumpulkan dari dana masyarakat. "Mestinya, FFI sudah bisa berdiri sendiri," katanya. Soal dana dari masyarakat, "Penjualan stiker itu, misalnya bukan paksaan," kata Suwanda. Adapun pungutan lewat karcis bioskop, "Saya kira wajar karena masyarakat jugalah yang menikmati karya orang film." Tapi, bila dibandingkan misalnya dengan pungutan untuk Pekan Olah Raga Nasional, pungutan untuk FFI terasa sumbang. FFI, boleh dikata, merupakan arena promosi, untuk produk (film itu), yang bisa dikategorikan komersial. Maka, ada atau tak ada korupsi, menjadi tak adil apabila pesta pora ini memungut biaya dari masyarakat. Sebab, para bintang film itu ketika main sudah dibayar, dan filmnya dijual kepada masyarakat - bukan dltontonkan dengan gratis. Sementara itu, para atlet yang bertanding di PON tak dibayar. Maka, ada suara, antara lain dari Rachmat Hidayat, ketua Parfi Jawa Barat, agar FFI dikembalikan lagi kepada orang film itu sendiri. "Sudah saatnya FFI ditangani langsung oleh Yayasan Nasional Festival Film Indonesia seperti dulu lagi, dengan sederhana, tak melibatkan banyak panitia." Yayasan Nasional Festival Film Indonesia (YFI) ketika dibentuk, 1972, memang dimaksudkan sebagai penyelenggara tetap festival film. Tahun berikutnya FFI hasil kerja pertama YFI terselenggarakan. Tapi ini bukan satu-satunya kegiatan untuk memilih film dan bintang film terbaik. Pihak Persatuan Wartawan Indonesia cabang Jakarta (PWI Jaya) pun menyelenggara-kan milihan sendiri. Mungkin karena dianggap menyaingi FFI 1976, inisiatif PWI Jaya dibekukan, digabungkan dengan FFI. FFI makin menjadi setengah resmi, ketika 1982 YFI, dengan sebab yang tak jelas. dibekukan. Lalu, penyelenggaraan FFI diserahkan kepada Dewan Film Nasional (DFN), lembaga yang didirikan pada 1968 dan bernaung di bawah Deppen. Karena itu, kepanitiaan lantas melibatkan banyak pihak: dari gubernur hingga aparat pemerintah daerah lainnya. Tentu saja, ini bukan semata kesalahan orang film. Seperti kata Soemardjono, ketua Komisi Bidang Idiil DFN, "FFI mewah atau sederhana merupakan naluri estetika daerah penyelenggara. Bandung tak mau kalah dengan Yogyakarta, Yogya tak mau kalah dengan Medan." Apa boleh buat, bila kemudian panitia FFI cenderung jor-joran. Bagi Subrata, Dirjen RTF, ribut-ribut ini "wajar saja". Sebab, "Semua kegiatan pasti ada catatan tercecernya." Soalnya kemudian, festival yang lebih merupakan arena promosi ini, tapi yang membebani masyarakat dengan pungutan, masihkah bisa dianggap wajar. Bambang Bujono Laporan Hasan Syukur (Bandung) & Yusroni Henridewanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini